Dato Hongli mendehem kecil sebelum berkata, “Tentu kami sangat menyambut baik keinginan dari para Sangaji. Hanya saja, tempat tinggal yang kami siapkan makin terbatas. Namun jika para Ndai Sangaji berniat untuk membangun rumah-rumah penampungan khusus untuk para calon prajurit masing-masing, kami sangat berterima kasih. Untuk lahannya, kami bisa mengusahakannya. Di sekitar Tanaru masih banyak lahan yang kosong.”
Ucapan yang sama, telah disampaikan pula oleh sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming itu terhadap para utusan kerajaan lainnya.
“Baiklah, Dato, Galara, kami akan menyampaikan hal ini kepada Paduka Sangaji kami,” sahut utusan dari Kerajaan Mbojo, yang diikuti oleh ucapan yang sama dari para utusan kerajaan lainnya.
Seperti kesepak
Apa yang diramalkan oleh Dato Hongli itu terbukti beberapa bulan kemudian. Kompeni Belanda yang berada di wilayah Celebes mengirimkan lima kapal perang menuju Tanaru. Lima kapal perang besar itu berisi lebih kurang seribu serdadu. Para nelayan dan kapal penangkap ikan dari Tanaru yang sedang melakukan kegiatannya di Selat Celebes telah memantau kedatangan kapal-kapal itu langsung mengangkat layar dan segera balik ke Tanaru untuk memberitahukan kepada Galara Tanaru, La Mudu. La Mudu pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk hal pertama yang dilakukan adalah memasang ratusan meriam di sepanjang pesisir sekitar Tanaru, yaitu mulai Pelabuhan Wadu Mbolo sampai ke Pantai Panjang. Demikian juga kapal-kapal perang bekas pampasan dari Pulau Sangiang yang di dalamnya masih terpasang meriam, pun langsung disiapkan di sekitar Selat Gilibanta dengan berpura-pura sebagai kapal nelayan. Di kap
Akan tetapi, ketika ratusan prajurit laut sudah turun ke sekoci-sekoci di kedua sisi kapal-kapal mereka, tiba-tiba dentuman meriam terdengar menggelegar dan beruntun. Peluru-peluru besar sebesar tempurung kelapa itu langsung menghantam keempat kapal secara bertubi-tubi dan membuat dinding kapal besar yang lumayan besar itu bobol bolong di mana-mana. Tetapi kapal yang tengah yang ditumpangi oleh sang perwira pemimpin tak mendapat serangan. Seluruh pasukan laut Belanda yang sama sekali tak menduga mendapat sambutan yang seolah-olah tak masuk akal itu, teramat kaget dan panik. Keadaan huru hara pun terjadi. Mereka yang belum melakukan persiapan sama sekali menjadi kalang-kabut. Lebih-lebih serangan meriam itu disusul oleh suara senapan yang bagai petasan renteng. Segenap prajurit laut langsung merunduk di perut sekoci-sekoci yang mereka tumpangi untuk melindungi diri mereka dari terjangan pelor-pelor itu. Sebagian besar langsung menerjunkan
Peristiwa tertawannya hampir seribu serdadu laut Kerajaan Belanda oleh angkatan perang Tanaru itu menjadi berita yang menggemparkan seantero Kerajaan Bima hingga ke kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. “Semua itu tentu tak lepas dari kehebatan pemimpin mereka dalam mengatur siasat. Di Tanaru terdapat dua benteng yang sangat kokoh, yaitu Ndai Galara sendiri yang merupakan panglima perangnya dan gurunya yang merupakan mantan jenderal perang sebuah kekaisaran di Dataran Sinae yang menjadi pengatur siasatnya. Latihan perang yang mereka lakukan selama ini akhirnya terlihat hasilnya,”ucap Sangaji Mbojo dengan penuh rasa bangga di hadapan para pembesar kerajaannya. “Aku harap, peristiwa itu menjadi sebuah pelajaran bagi kita selaku sebuah kerajaan untuk tetap waspada dan mempersiapkan diri. Saya ingin, latihan perang angkatan perang kita h
Galara Mudu sangat haru mendengar kesungguhan hati dari para serdadu tawanan itu, lalu kemudian berkata, “Baiklah, saya menghormati keputusan kalian, seperti saya menghormati kalian selama kalian berada di desa ini. Jika memang kalian ingin bergabung dan melatih pajuri baru, saya persilakan...!” Para wakil serdadu tawanan tak mampu menutupi rasa gembira di wajah mereka. Mereka ternyata sudah membicarakan tentang predikat pahit yang mereka terima kelak jika mereka menolak untuk kembali ke Celebes. Mereka akan akan dikutuk oleh bangsanya karena dianggap sebagai serdadu-serdadudesertie(pembangkang). Namun bagi mereka, predikat itu jauh lebih baik daripada mereka disebut sebagai penjajah dan membunuh rakyat yang tak berdosa di kemudian hari! Sepekan kemudian, datang utusan dari Sangaji Mbojo yang memberi kabar, bahwa ada hampir sepuluh kapal dari Celebes dan beberapa
Tiga hari berselang, datang laporan dari Kerajaan Mbojo bahwa ada sekitar lima kapal perang Kompeni Belanda dari arah Celebes dan dua kapal penyokong dari arah barat. Kemungkin dari wilayah komando Lombok atau Bali. Mendapat laporan itu, Galara Mudu dan Dato Hongli segera melakukan koordinasi dengan berbagai pimpinan pasukan di berbagai bagian (divisi). Tiap-tiap bagian langsung mengatur posisi mereka masing-masing. Di luar dugaan, sehari sebelum pasukan penyerbu itu mencapai dataran bagian timur Pulau Sumbawa, pasukan sukarela dari berbagai desa datang dari berbagai desa di wilayah Kerajaan Mbojo berdatangan ke wilayah Tanaru. Jumlah mereka ada ribuan dengan menunggang kuda mereka. Mereka adalah para pemuda dan laki-laki tangguh yang terbiasa dalam berburu, terlihat dengan senjata panah dan tombak yang mereka bawa.
Galara Mudu lalu menoleh kepada Kangjian, sang panglima pasukan berbedil. “Tolong panggilkan Markus, Aldert, atau Timo ke mari.” “Baik, Galara...!” Tiga nama yang disebutkan oleh Galara Mudu adalah pemimpin tiga serdadu Kompeni Belanda yang ditawan yang menyatakan diri ingin berjuang bersama rakyat Tanaru. Karena ketiga serdadu tawanan itu hanya tinggal di Uma Naru yang tak jauh dari Uma Na’e, tak lama kemudian mereka sudah muncul. “Galara memanggil kami?” “Iya, Aldert, silakan duduk. Bagaimana keadaan kalian?” “Iya, terima kasih, kami baik-baik saja, Galara,” sahut Aldert sembari meletakkan pantatnya di kursi kayu ukir nyang diikut
Subuh itu mesjid tampak sepi, karena para laki-laki telah berada di garis depan medan pertempuran dan mereka akan melaksanakan sholat subuh secara bergantian di daerah pengintaian. Sementara kaum wanitanya memang diperintahkan untuk tetap menunggu dan sholat di rumah saja. Yang ada dalam mesjid hanyalah marbot mesjid yang berusia sudah 60-an tahun yang bernama Ama La Sanggiu. Melihat kehadiran Galara Mudu, Ama La Sanggiu langsung menggelarkan tikar sembahyang yang terbuat dari daun pandan. Ia menunggu sampai sang pemimpinnya itu untuk sholat sunat tahiyatul mesjid baru ia melantunkan iqomah. Seperti biasa, yang bertindak sebagai imam sholat adalah Galara Mudu. Subuh itu pun sang galara memimpin sholat dengan hanya bermakmumkan Ama La Sanggiu. Setelah selesai sholat subuh, Galara Mudu alias Pendekar Tapak Dewa tidak langsung bangkit
Hebatnya lagi, serdadu Kompeni Belanda yang berjumlah lumayan besar itu kemudian tak dianggap sebagai tawanan oleh pemimpin Tanaru, Galara Mudu. Atas nasihat guru sekaligus mertuanya, Dato Hongli, para serdadu itu dianggap sebagai tamu dan diperlakukan sebagai tamu. Hanya saja senjata mereka berupa bedil dan pedang disita dahulu untuk sementara. Kapal-kapal mereka yang dilabuhkan di pelabuhan kecil di pesisir utara pun dipindahkan ke Pelabuhan Wadu Mbolo. Para serdadu itu sebagian ditempatkan bersama para serdadu tawanan terdahulu di kedua Uma Naru, sebagian lain ditempatkan di beberapa tenda, dan yang luka-luka yang berjumlah hampir seratus orang di rawat di beranda Uma Na’e. Pokoknya mereka seluruhnya dijamin secara baik dan beradab sebagai layaknya tamu. Hanya saja memang, Kapitan Almos dan Sergeant Ruben mendapat perlakuan agak istimewa oleh