Tiga hari berselang, datang laporan dari Kerajaan Mbojo bahwa ada sekitar lima kapal perang Kompeni Belanda dari arah Celebes dan dua kapal penyokong dari arah barat. Kemungkin dari wilayah komando Lombok atau Bali.
Mendapat laporan itu, Galara Mudu dan Dato Hongli segera melakukan koordinasi dengan berbagai pimpinan pasukan di berbagai bagian (divisi). Tiap-tiap bagian langsung mengatur posisi mereka masing-masing.
Di luar dugaan, sehari sebelum pasukan penyerbu itu mencapai dataran bagian timur Pulau Sumbawa, pasukan sukarela dari berbagai desa datang dari berbagai desa di wilayah Kerajaan Mbojo berdatangan ke wilayah Tanaru. Jumlah mereka ada ribuan dengan menunggang kuda mereka. Mereka adalah para pemuda dan laki-laki tangguh yang terbiasa dalam berburu, terlihat dengan senjata panah dan tombak yang mereka bawa.
Galara Mudu lalu menoleh kepada Kangjian, sang panglima pasukan berbedil. “Tolong panggilkan Markus, Aldert, atau Timo ke mari.” “Baik, Galara...!” Tiga nama yang disebutkan oleh Galara Mudu adalah pemimpin tiga serdadu Kompeni Belanda yang ditawan yang menyatakan diri ingin berjuang bersama rakyat Tanaru. Karena ketiga serdadu tawanan itu hanya tinggal di Uma Naru yang tak jauh dari Uma Na’e, tak lama kemudian mereka sudah muncul. “Galara memanggil kami?” “Iya, Aldert, silakan duduk. Bagaimana keadaan kalian?” “Iya, terima kasih, kami baik-baik saja, Galara,” sahut Aldert sembari meletakkan pantatnya di kursi kayu ukir nyang diikut
Subuh itu mesjid tampak sepi, karena para laki-laki telah berada di garis depan medan pertempuran dan mereka akan melaksanakan sholat subuh secara bergantian di daerah pengintaian. Sementara kaum wanitanya memang diperintahkan untuk tetap menunggu dan sholat di rumah saja. Yang ada dalam mesjid hanyalah marbot mesjid yang berusia sudah 60-an tahun yang bernama Ama La Sanggiu. Melihat kehadiran Galara Mudu, Ama La Sanggiu langsung menggelarkan tikar sembahyang yang terbuat dari daun pandan. Ia menunggu sampai sang pemimpinnya itu untuk sholat sunat tahiyatul mesjid baru ia melantunkan iqomah. Seperti biasa, yang bertindak sebagai imam sholat adalah Galara Mudu. Subuh itu pun sang galara memimpin sholat dengan hanya bermakmumkan Ama La Sanggiu. Setelah selesai sholat subuh, Galara Mudu alias Pendekar Tapak Dewa tidak langsung bangkit
Hebatnya lagi, serdadu Kompeni Belanda yang berjumlah lumayan besar itu kemudian tak dianggap sebagai tawanan oleh pemimpin Tanaru, Galara Mudu. Atas nasihat guru sekaligus mertuanya, Dato Hongli, para serdadu itu dianggap sebagai tamu dan diperlakukan sebagai tamu. Hanya saja senjata mereka berupa bedil dan pedang disita dahulu untuk sementara. Kapal-kapal mereka yang dilabuhkan di pelabuhan kecil di pesisir utara pun dipindahkan ke Pelabuhan Wadu Mbolo. Para serdadu itu sebagian ditempatkan bersama para serdadu tawanan terdahulu di kedua Uma Naru, sebagian lain ditempatkan di beberapa tenda, dan yang luka-luka yang berjumlah hampir seratus orang di rawat di beranda Uma Na’e. Pokoknya mereka seluruhnya dijamin secara baik dan beradab sebagai layaknya tamu. Hanya saja memang, Kapitan Almos dan Sergeant Ruben mendapat perlakuan agak istimewa oleh
Beberapa hari kemudian, seluruh pasukan penyerbu dari Celebes dan Bali dipulangkan dalam keadaan semuanya baik-baik saja. Bahkan mereka diantar beramai-ramai oleh segenap rakyat Tanaru di Pelabuhan Wadu Mbolo. Yang paling berat meninggalkan Tanaru adalah Kapitan Almos dan Sergeant Ruben. Namun mereka berjanji, suatu saat mereka akan kembali lagi ke Tanaru, dan ingin belajar banyak hal dari Galara Mudu dan Dato Hongli. Bagi kedua tokok kompeni itu, Galara Mudu sudah mereka anggap sebagai dewa penyelamat bagi hidup mereka, dan mereka harus memuliakannya. Sementara itu, serdadu tawanan yang terdahulu yang berjumlah seratusan orang, hampir separonya menolak untuk kembali ke Celebes, karena sebagian sudah merasa Tanaru dan rakyat Tanaru adalah kampung halaman dan keluarga besarnya. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah memiliki kekasihnya masing-masing, dan mereka sangat mencintai satu sama lainnya. Mereka rela jika bangsanya meng
Kehadiran mereka berdua dalam warung makan itu langsung menjadi perhatian dari semua pelanggan warung. Antara satu sama lain mendekatkan kepala mereka dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang mereka katakan. Namun dari ekspresi wajah yang tampak, mereka sedang merasa aneh. Aneh pada penampilan La Mudu dan laki-laki yang menyertainya, Satra. Satu orang berpenampilan kumal dan seorang lagi berpenampilan seperti laki-laki Jazirah Arab yang bersih dan berwibawa. Baik La Mudu dan Satra merasakan pandangan heran dari orang-orang itu, tetapi keduanya tetap bersikap tenang dan seolah-olah tak tahu saja. Keduanya mengambil sebuah meja yang agak di pojok kanan depan ruangan. Seorang laki-laki muda pelayan datang menghampiri dan menanyakan makanan yang hendak dipesan. “Apa saja lauknya?”
Rumah Satra berada di sebuah perkampungan yang terletak di pinggiran kotarajaAyutthaya yang bernama Chang Tay. Dilihat dari kondisi rumah-rumah di perkampungan tersebut yang terlihat kumuh, mayoritas penduduk di perkampungan itu tentulah hidup di bawah garis kemiskinan. Penampilan mereka pun terlihat sama kumuhnya dengan kondisi perkampungan mereka. Tak jarang La Mudu dan Satra berpapasan dengan para laki-laki kurus yang memikul air atau yang sedang beristirahat di pinggiran jalan. Menurut Satra, mereka mengambil air untuk keperluan sehari-hari cukup jauh di luar desa. Yaitu di sumur-sumur dangkal yang digali di aliran sungai yang telah mengering. “Kemarau tiga tahun yang melanda telah membuat sebagian negeri ini mengalami kekeringan parah, Syeh Mudu,” cerita Satra sambil terus melangkah. “Hanya orang-orang yang mampu saja di kota in
Setelah terlebih dahulu menyelesaikan sholat asharnya, La Mudu menuju ke rumah Kanokwan. Ia diantar beramai-ramai oleh Sarta sekeluarga. Suami dari U Nan Kanokwan kondisinya memang sangat memprihatinkan. Laki-laki yang berusia 40-an tahun itu hanya tergolek lemah di tempat tidur kayunya yang reot. Namun saat La Mudu mengajaknya jabat tangan ia masih bisa mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang kurang jelas. Suaranya serak, mungkin karena terlalu lama berdiam diri. “Mau saya obati?” Laki-laki yang kemudian diketahui bernama Kamnan langsung mengangguk dengan wajah yakin. “Baik. Semoga Allah mengangkat penyakit di tubuhmu,” ucap La Mudu sambil tersenyum untuk memberikan semangat kepada laki-laki itu. Tak ingin berl
Hingga menjelang magrib, acara pengobatan itu baru selesai. Semua menghela nafas lega dan haru, terutama Satra sekeluarga. Selesai melaksanakan sholat maghribnya, La Mudu baru ingat, bahwa mereka belum makan. Nasi dan lauk sisa tadi siang sudah tak layak lagi untuk dinikmati, karena sudah mulai basi. Lalu kepada Satra ia bertanya, “Apakah di perkampungan ini ada toko yang menjual bahan makanan?” “Tentu, Syeh. Agak sedikit jauh dari sini. Terletak di sebelah timur sana.” “Belilah bahan makanan untuk dimasak. Beli yang mampu dibawa pulang. Apakah Pak Satra bisa ke sana...?” “Kami saja yang ke sana, Tuan Syeh...!” Itu yang berkata adalah Sakda. “Oh baiklah. Sakda akan pe