Share

PART 04

      MARI KITA kembali dulu ke enam belas tahun yang silam...

      Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah berlaut. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu. Dan teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu disuplay di pasar-pasar di kota raja. Ya, kedamaian dan kemakmuran benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan galara (kepala desa) mereka, Jara Tawera alias Ompu Mpore, yang sangat bijak dan cerdas.

      Galara Jara Tawera alias Ompu Mpore baru-baru ini dikaruniai sepasang anak kembar dampit. Kembar laki-laki dan perempuan. Ini adalah kelahiran pertama istrinya, La Mbinta Wura alias Wa'i Canggo, setelah mereka membangun biduk rumah tangganya sudah hampir sepuluh tahun. Dengan demikian, kelahiran anak kembar dampitnya ini merupakan suatu karunia yang amat besar dan membahagiakan bagi mereka. Juga, merupakan kebahagiaan bagi seluruh penduduk Desa Tanaru. Karena dengan demikian, sang pewaris tahta, calon pemimpin mereka telah lahir. Kelahiran yang paling ditunggu-tunggu dalam waktu yang cukup lama.

       Maka untuk menyambut kelahiran sang pewaris tersebut, Jara Tawera alias Ompu Mpore mengadakan acara syukuran dan pesta yang sangat meriah, yang disambut gempita oleh segenap rakyatnya, juga oleh segenap kepala desa-kepala desa lain yang ada di kerajaan Babuju. Bahkan Ndai Rato (Baginda Raja) sendiri mengirimkan utusan khususnya untuk memenuhi undangan sang galara yang terdiri dari beberapa Dato dan Ncuhi. Karena demikian, ada berpuluh-puluh kerbau dan kambing yang dipotong, serta beragam atraksi pesta yang digelar. Dan atraksi yang paling menyita perhatian seluruh yang hadir adalah atraksi Gantao dan Lanca, dua atraksi adu fisik yang diiringi dengan gendang, kenong, suling, dan serunai. Berbagai jawara gantao dan lanca di seantero Babuju diundang. Pesta itu rencananya akan diadakan selama tujuh hari tujuh malam.

   .     Namun, pada malam kedua acara pesta itu digelar, kemeriahan dalam suasana bahagia itu berubah menjadi petaka yang amat mengenaskan. Tanpa gelagat dan hawa sedikit pun, tiba-tiba La Afi Sangia menyerbu desa yang sedang berpesta bahagia itu bersama anak buahnya dalam jumlah yang besar. Setiap siapa pun yang mereka yang ada di desa dan dalam pesta itu, dibabat tanpa belas kasihan sedikit pun oleh La Afi Sangia dan anak-anak buahnya. Jerit-jerit kematian menyayat hati menembus langit malam. Nyawa-nyawa melayang sia-sia, mayat-mayat pun bergelimpangan tumpang-tindih satu sama lain dalam kondisi yang mengenaskan.

       "Habisi juga galara dan keluarganya! Jangan ada yang tersisa seorang pun...!" teriak La Afi Sangia dengan suara lantang dan lalim kepada para anak buahnya, sembari terus menebaskan pedangnya ke tubuh-tubuh rakyat desa yang tak berdosa. Dan perintah itu dipatuhi oleh seluruh anak buahnya dengan baik dan tanpa perikemanusiaan. Mereka benar-benar tak ubahnya laksana para iblis yang amat ganas. Para manusia berseragam kebesaran merah-merah itu laksana segerombolan harimau yang sedang memangsa habis para kucing-kucing lemah. Karena tak ada perlawanan sama sekali, walhasil, Desa Tanaru pun telah mereka ubah menjadi sebuah medan pembantaian, menjadi desa yang benar-benar mati dan punah!

         Setelah aksi kebiadaban tersebut rampung terlaksana, La Afi Sangia dan seluruh anak buahnya setelah itu pun bergelak tawa yang paling pongah dan riuh-rimpah, seolah-olah mereka sedang menghadiri pertunjukan gelak-tawa! Namun sontak mereka menghentikan gelak tawanya, karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh tangis seorang bayi. Seperti dikomando pula, semuanya serentak memalingkan pandangannya ke asal suara tangisan.

       "Oeeekk...oeeeek...oeeek..."

       Salah seorang anak buah La Afi Sangia, yang bernama La Mbere Mbuda, melangkah ke arah bayi yang menangis. Bayi itu tak lain adalah bayi yang perempuan dari mendiang Galara Tanaru. Ia tergeletak di samping mayat ibunya, di samping tubuh saudara kembar laki-lakinya yang naga-naganya sudah ikut tewas.

      "Ini salah satu dari anak kembarnya kepala desa, Dato!" berkata La Mbere Mbuda kepada La Afi Sangia dengan tanpa menoleh.

       "Hmm! Satu-satunya yang tersisa! Hua ha ha ha ha..! Kita biarkan bayi itu hidup, kita bawa pulang dia ke Pulau Sangia," berkata La Afi Sangia. "Apa kembarannya juga masih hidup?"

       La Mbere Mbuda mencoba membolak-balikkan tubuh bayi laki-laki Ompu Mpore dengan ujung jari kaki kanannya. "Tampaknya sudah lewat, Dato!”

      "Baiklah! Bawa bayi perempuan itu. Sebelum kembali ke Pulau, kalian bumi hanguskan dulu desa ini..!" perintah La Afi Sangia.

        Perintah dilaksanakan segera. Dengan hanya masing-masing mengiblatkan serangkum pukulan api, seluruh rumah penduduk pun porak-poranda dan dilalap api yang ganas. Hanya butuh beberapa waktu kemudian, Desa Tanaru benar-benar telah rata dengan tanah, punah dengan menyisakan asap dan nyala di sana sini. Sudah tak adalagi kehidupan di situ. Tak ada lagi cengkerama, gelak tawa, dan denyut kehidupan. Semuanya lenyap ditelan angkara. Kebahagiaan menjadi tragedi, telah tercipta di penghujung timur Pulau Sumbawa malam itu!

       Perlu diketahui, La Afi Sangia adalah seorang tokoh dunia persilatan yang beraliran hitam yang sangat ditakuti kala itu, baik oleh para jawara sealiran dengannya maupun oleh para jawara persilatan yang beraliran putih. Ditakuti, tentu karena ia memiliki tingkat keilmuan yang amat sulit diukur ketinggiannya, di samping karena kebengisannya. Dia dunia persilatan, ia masyhur dengan julukan Dewa Api dari Tenggara. Demikian hebat dan bengisnya manusia ini, sehingga mendengar atau menyebut namanya saja orang-orang di kepulauan tenggara kala itu sudah merinding duluan. Tiada kawan bagi Dewa Api dari Tenggara dan seluruh anak buahnya, yang ada hanyalah lawan. Setiap yang bertentangan dengan mereka, wajib dihukum dan dimusnahkan. Dan pemusnahan terhadap Desa Tanaru, naga-naganya hanya kecewa karena ia tidak diundang dalam acara syukuran dan pesta tersebut oleh sang galara. Hal yang sepele. Tapi merupakan penistaan menurut pikiran La Afi Sangia beserta seluruh kekuasaannya.

       Sebenarnaya, La Afi Sangia pernah dibuat tekuk lutut oleh seorang pendekar asing bermata sipit dalam suatu perang tanding yang sangat dahsyat. Sang pendekar yang bermata sipit yang tak lain adalah Dato Hongli itu bisa memaafkannya, karena La Afi berkali-kali menyembah-nyembah mohon ampunan dan berjanji untuk bertobat. Ternyata hanyalah sekedar sandiwara untuk meloloskan diri dari maut. Karena setelah sang Pendekar Besar memutuskan diri untuk mundur dari urusan duniawi dan menyepi di suatu tempat yang tak siapa pun mampu melacaknya, La Afi Sangia lantas kembali ke wataknya semua. Bahkan wataknya lebih durjana dari sebelumnya.

        Tak lama kemudian, La Afi Sangia mengumumkan diri sebagai sangaji (raja) dari segala pendekar dan aliran, dengan gelar La Dewa Afi, serta menjadikan Pulau Sangiang sebagai pusat kekuasaannya. Pulau Sangiang kala itu benar-benar telah ia ubah menjadi sebuah pulau yang paling angker. Ia juga memerintahkan para anak buahnya untuk melakukan perompakan terhadap setiap kapal yang melintasi laut di sekitar pulau tersebut. Kekayaan haram ia tumpuk di pulau bergunung tunggal itu. Untuk mempertangguh kekuasaannya, La Afi Sangia pun merekrut sangat banyak pemuda-pemuda tangguh untuk dididik menjadi jawara-jawara tangguh dan kemudian dijadikan anak buahnya. Benteng pertahanan di sekeliling pulau dibangun setangguh mungkin. Sehingga pasukan penumpas dari kerajaan Babuju pun selalu gagal. Jangankan mencapai pulau dan menembus benteng, justru mereka sudah ditumpas duluan di tengah laut. Hal tersebut bukan hanya sekali dua kali dilakukan oleh Kerajaan Mbojo, tapi sangat sering, dan bahkan Sangaji Mbojo beberapa kali meminta dukungan pasukan dari kerajaan-kerajaan tetangga dan menggempur dari segala penjuru, namun selalu dapat digagalkan oleh La Afi Sangia bersama pasukannya! Demikianlah.

                           * * *  

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nangka ganteng
pulau sumbawa ga ada kelinci zaman dahulu bro😀😁
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status