Share

PART 05

     Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini.

       Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu.

      "Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutnya yang panjang sedada.

      Sejauh mata memandang hanya pemandangan yang mengenaskan yang tersaji. Berkali-kali Dato Hongli menggertakkan giginya sehingga tulang rahangnya menonjol di pipi tuannya yang masih tampak kokoh itu. Kulitnya yang putih berubah merah saga akibat menahan amarah di hatinya. Rupanya dirinya adalah manusia pertama yang hadir di medan pembantaian itu, karena tiada seorang pun warga dari desa-desa sekitar yang tampak di situ.

       Keadaan demikian lengang. Entah karena belum tau peristiwa itu, atau mereka merasa ketakutan terhadap La Afi Sangia, sehingga mereka tidak berani untuk datang ke situ. "Tapi bagaimana pun, mayat-mayat ini harus dikuburkan," berguman  Hongli seolah-olah kepada dirinya sendiri. Untaian semacam tasbih yang berukuran cukup besar tak berhenti berputar di tangan kanannya. Kakinya terus melangkah pelan dan hati-hati, sembari matanya mengamati hati-hati setiap mayat, mengharapkan kemungkinan masih adanya yang masih hidup. "Hmm, tampaknya semuanya telah tewas. La Afi Sangia benar-benar manusia yang sangat biadab!" gumannya lagi. Kepalanya tak henti-hentinya menggeleng pelan demi menyaksikan bekas aksi kebiadaban manusia yang bernama La Afi Sangia dan para anak buahnya itu.

       Pada saat Dato Hongli berjongkok, hendak memeriksa sesosok mayat yang nampaknya masih utuh, tiba-tiba telingannya menangkap suara grekk yang pelan. Seperti suara nafas lemah bayi yang hendak menangis. Serta merta ia memasang telinganya baik-baik dan menoleh.

        Naga-naganya Jasman suara kecil itu berasal dari sebelah kanan, arah barat. Maka dengan segera ia mendatangi asal suara itu, dan berharap itu adalah suara kehidupan. Di situ Dato Hongli mendapati begitu banyak mayat yang bergelimpangan. Tapi rata-rata mayat-mayat itu dalam kondisi nyaris tak berbentuk karena terbakar dan gosong. Namun ada suatu keajaiban.

       Di antara mayat-mayat yang gosong kaku itu tergolek sesosok bayi laki-laki yang masih sangat utuh, kontras dengan mayat-mayat lain di sekelilingnya yang sudah pada menghitam gosong. Mungkin bayi itu asal suara barusan. Tapi bayi itu tidak nampak bergerak dan bernafas sama sekali. Tubuh bayi itu tergolek polos, telanjang, karena seluruh pakaiannya telah menjadi abu, terbakar. Yang tersisa hanya semacam kalung berleontinkan separuh koin dari selaka (perak) yang melingkar di leher si bayi.

       Maka tanpa membuang-buang waktu, Dato Hongli melangkah dan berjongkok di samping tubuh bayi itu. Setelah mengalungi tali tasbih yg dari tadi dipegangnya di lehernya sendiri, orang tua bermata sipit pun lalu memeriksa nadi di leher bayi itu dengan sentuhan jari tengah tangan kanannya. Kulit wajah tuanya mendadak berubah sedikit cerah, dengan sinar mata sipitnya yang terbuka melebar.

       "Luar biasa! Bayi ini masih hidup…!" gumamnya dengan nada senang. Dan tanpa membuang-buang waktu, Dato Hongli pun mengusap lembut seluruh tubuh bayi mungil itu, mengalirkan hawa murni secukupnya. Pelan tapi pasti, bayi di hadapannya pun menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu disusul oleh suara tangisnya yang cukup nyaring.

      "Ohhh…kau titisan para Dewa…!" berucap Dato Hongli, seraya mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dadanya dengan penuh kasih-sayang. "Aku berjanji akan membesarkanmu, dan akan kuwariskan seluruh ilemuku. Kelak kau akan menebus semua kebiadaban ini, Sayang. Kau kuberi nama La Mudu. Ya, La Mudu, yang artinya Si yang Terbakar!"

      Setelah berkata demikian, Dato Hongli bangkit, lalu melangkan  ke arah timur. Di pinggiran pantai, ia berdiri tegap, wajah diangkat dengan keangkuhan sebagai seorang laki-laki besar. Sorot matanya yang sipit mengarah tajam ke Pulau Sangiang di hadapannya. Urat-urat di lehernya menonjol karena amarah yang teramat sangat.

        Dan sembari mengangkat tinggi tubuh bayi dengan kedua belah tangannya, Dato Hongli bersuara dengan lantang membahana, "Wahai, Afi Sangiaaa..! Ini adalah bayi yang tersisa dari kebiadabanmu. Demi segala Dewa yang menitisnya, aku bersumpah untuk membesarkan dan mendidiknya, hingga menjadi pendekar hebat. Kelak ia akan datang untuk menuntut balaaass!!"

       Seakan-akan langit mendengar ucapan Dato Hongli  tersebut. Mendadak cakrawala mengumpulkan mendung tebal berwarna kelabu di atas Bumi Wera. Kilat sahut-bersahut, gemuruh susul-menyusul, seakan-akan hendak membelah langit. Dan tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatnya. Dato Hongli membalikkan tubuhnya ke arah barat, lalu meninggalkan tempat itu dengan gerakan lari yang demikian cepatnya. Kecepatan yang nyaris sulit ditangkap mata.

       Di suatu gua tersembunyi yang berada di suatu tebing batu yang curam yang berada di rimba Pegunungan Sorowua, di mana selama ini ia mengansingkan diri, Dato Hongli membesarkan dan mendidik bayi La Mudu. Ia benar-benar bertekad untuk menjadikannya murid, pewaris segala ilmunya, sehingga kelak menjadi seorang pendekar besar!

                .           * * *

       Dato Hongli adalah pelarian dari negeri Tiongkok. Dua puluh lima tahun yang silam ia terdampar di suatu pantai di pesisir utara Pulau Sumbawa. Kapal kecil yang dipakainya untuk pelarian hancur akibat dihantam badai laut, dan ia selamat berkat menumpangi sisa papan kapalnya yang pecah.

      Dalam riwayatnya, Hongli sebenarnya adalah salah seorang jenderal yang sangat dihormati dalam angkatan perang  Kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao). Kebesaran dan kejayaan kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao)  tak lepas dari jasa-jasa orang besarnya seperti Jenderal Hongli. Banyak kekaisaran yang berhasil taklukan. Kepiawaian Jenderal Hongli dalam mengatur urusan perang, di samping kedigdayaannya yang sangat tinggi yang dimilikinya. Ia berhasil membangun pasukan yang sangat besar yang dibekalinya dengan kepandaian ilmu bela diri yang mumpuni. Sehingga ia dan pasukannya sangat disegani dan ditakuti oleh kekaisaran-kekaisaran lain. Dalam setiap gelombang penyerbuan penaklukan, Jenderal Hongli dan pasukannya selalu membawa kemenangan yang gemilang.

         Pada dasarnya, jauh sebelum masuk ke kalangan istana kekaisaran, Jenderal Hongli adalah seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ia adalah seorang pendekar besar yang sangat dihormati dan ditakuti oleh semua pendekar di seantero daratan Tiongkok kala itu. Dihormati oleh kawan sealiran, dan ditakuti oleh lawan-lawannya dari aliran hitam. Ia masyur dengan julukan Wu Ying Jianke  (Pendekar Tanpa Bayangan) dari Nanjing. Kemudian setelah diangkat menjadi ketua dunia persilatan di seantero daratan Tiongkok. Kemasyhuran namanya itu, ia diminta oleh kekaisaran untuk mengabdi dalam angkatan perang kekaisaran, dengan pangkat dasar sebagai pejabat kepercayaan dari panglima perang. Beberapa tahun kemudian, kariernya demikian moncer dan ia masuk dalam jajaran perwira tempur dalam kekaisaran. Namun saat puncak kariernya justru ia mengundurkan diri lalu memutuskan untuk melanglang buana.

      Maka di suatu malam Jenderal Hongli pun meninggalkan daratan Tiongkok dan keluarganya dengan menggunakan sebuah layar layar yang tidak besar. Ia sendiri tidak tahu hendak menuju ke negeri mana. Yang dia pikirkan ketika itu adalah pergi dari negeri Tiongkok, meninggalkan segala kebesaran yang ia sandang. Berminggu-minggu ia mengarungi samudera yang luas. Ia hanya mengikuti saja ke mana kehendak angin mengarahkan layar perahunya.

        Sampai suatu malam, mendadak badai laut terjadi. Jenderal Hongli tak mampu mengatasi kekuatan alam yang dahsyat itu. Badai itu menghempas dan menghancurkan perahunya. Untung masih dapat ia raih. Sebilah papan yang cukup lebar dan panjang dari pecahan kapalnya telah menjadi alat penyelamatan hidupnya.   Dengan kekuatannya yang tersisa, ia mengayuh papan itu dengan tangan, kaki, dan sisa kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi lagi-lagi ia tak mampu mengalahkan kekuatan waktu dan alam. Dan entah berapa lama ia berikhtiar demikian, ia pun tak tahu. Karena kepayahan, ia pun tak sadarkan diri di atas papan tersebut. Dan entah berapa lama dunia hilang dalam ingatannya, ia tak tahu. Namun ketika siuman, ia mendapatkan dirinya telah berbaring lemah di atas tempat tidur sederhana dalam sebuah rumah yang juga sederhana.

                                                       

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status