Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini.
Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu.
"Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutnya yang panjang sedada.
Sejauh mata memandang hanya pemandangan yang mengenaskan yang tersaji. Berkali-kali Dato Hongli menggertakkan giginya sehingga tulang rahangnya menonjol di pipi tuannya yang masih tampak kokoh itu. Kulitnya yang putih berubah merah saga akibat menahan amarah di hatinya. Rupanya dirinya adalah manusia pertama yang hadir di medan pembantaian itu, karena tiada seorang pun warga dari desa-desa sekitar yang tampak di situ.
Keadaan demikian lengang. Entah karena belum tau peristiwa itu, atau mereka merasa ketakutan terhadap La Afi Sangia, sehingga mereka tidak berani untuk datang ke situ. "Tapi bagaimana pun, mayat-mayat ini harus dikuburkan," berguman Hongli seolah-olah kepada dirinya sendiri. Untaian semacam tasbih yang berukuran cukup besar tak berhenti berputar di tangan kanannya. Kakinya terus melangkah pelan dan hati-hati, sembari matanya mengamati hati-hati setiap mayat, mengharapkan kemungkinan masih adanya yang masih hidup. "Hmm, tampaknya semuanya telah tewas. La Afi Sangia benar-benar manusia yang sangat biadab!" gumannya lagi. Kepalanya tak henti-hentinya menggeleng pelan demi menyaksikan bekas aksi kebiadaban manusia yang bernama La Afi Sangia dan para anak buahnya itu.
Pada saat Dato Hongli berjongkok, hendak memeriksa sesosok mayat yang nampaknya masih utuh, tiba-tiba telingannya menangkap suara grekk yang pelan. Seperti suara nafas lemah bayi yang hendak menangis. Serta merta ia memasang telinganya baik-baik dan menoleh.
Naga-naganya Jasman suara kecil itu berasal dari sebelah kanan, arah barat. Maka dengan segera ia mendatangi asal suara itu, dan berharap itu adalah suara kehidupan. Di situ Dato Hongli mendapati begitu banyak mayat yang bergelimpangan. Tapi rata-rata mayat-mayat itu dalam kondisi nyaris tak berbentuk karena terbakar dan gosong. Namun ada suatu keajaiban.
Di antara mayat-mayat yang gosong kaku itu tergolek sesosok bayi laki-laki yang masih sangat utuh, kontras dengan mayat-mayat lain di sekelilingnya yang sudah pada menghitam gosong. Mungkin bayi itu asal suara barusan. Tapi bayi itu tidak nampak bergerak dan bernafas sama sekali. Tubuh bayi itu tergolek polos, telanjang, karena seluruh pakaiannya telah menjadi abu, terbakar. Yang tersisa hanya semacam kalung berleontinkan separuh koin dari selaka (perak) yang melingkar di leher si bayi.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Dato Hongli melangkah dan berjongkok di samping tubuh bayi itu. Setelah mengalungi tali tasbih yg dari tadi dipegangnya di lehernya sendiri, orang tua bermata sipit pun lalu memeriksa nadi di leher bayi itu dengan sentuhan jari tengah tangan kanannya. Kulit wajah tuanya mendadak berubah sedikit cerah, dengan sinar mata sipitnya yang terbuka melebar.
"Luar biasa! Bayi ini masih hidup…!" gumamnya dengan nada senang. Dan tanpa membuang-buang waktu, Dato Hongli pun mengusap lembut seluruh tubuh bayi mungil itu, mengalirkan hawa murni secukupnya. Pelan tapi pasti, bayi di hadapannya pun menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu disusul oleh suara tangisnya yang cukup nyaring.
"Ohhh…kau titisan para Dewa…!" berucap Dato Hongli, seraya mengangkat bayi itu dan meletakkannya di dadanya dengan penuh kasih-sayang. "Aku berjanji akan membesarkanmu, dan akan kuwariskan seluruh ilemuku. Kelak kau akan menebus semua kebiadaban ini, Sayang. Kau kuberi nama La Mudu. Ya, La Mudu, yang artinya Si yang Terbakar!"
Setelah berkata demikian, Dato Hongli bangkit, lalu melangkan ke arah timur. Di pinggiran pantai, ia berdiri tegap, wajah diangkat dengan keangkuhan sebagai seorang laki-laki besar. Sorot matanya yang sipit mengarah tajam ke Pulau Sangiang di hadapannya. Urat-urat di lehernya menonjol karena amarah yang teramat sangat.
Dan sembari mengangkat tinggi tubuh bayi dengan kedua belah tangannya, Dato Hongli bersuara dengan lantang membahana, "Wahai, Afi Sangiaaa..! Ini adalah bayi yang tersisa dari kebiadabanmu. Demi segala Dewa yang menitisnya, aku bersumpah untuk membesarkan dan mendidiknya, hingga menjadi pendekar hebat. Kelak ia akan datang untuk menuntut balaaass!!"
Seakan-akan langit mendengar ucapan Dato Hongli tersebut. Mendadak cakrawala mengumpulkan mendung tebal berwarna kelabu di atas Bumi Wera. Kilat sahut-bersahut, gemuruh susul-menyusul, seakan-akan hendak membelah langit. Dan tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatnya. Dato Hongli membalikkan tubuhnya ke arah barat, lalu meninggalkan tempat itu dengan gerakan lari yang demikian cepatnya. Kecepatan yang nyaris sulit ditangkap mata.
Di suatu gua tersembunyi yang berada di suatu tebing batu yang curam yang berada di rimba Pegunungan Sorowua, di mana selama ini ia mengansingkan diri, Dato Hongli membesarkan dan mendidik bayi La Mudu. Ia benar-benar bertekad untuk menjadikannya murid, pewaris segala ilmunya, sehingga kelak menjadi seorang pendekar besar!
. * * *
Dato Hongli adalah pelarian dari negeri Tiongkok. Dua puluh lima tahun yang silam ia terdampar di suatu pantai di pesisir utara Pulau Sumbawa. Kapal kecil yang dipakainya untuk pelarian hancur akibat dihantam badai laut, dan ia selamat berkat menumpangi sisa papan kapalnya yang pecah.
Dalam riwayatnya, Hongli sebenarnya adalah salah seorang jenderal yang sangat dihormati dalam angkatan perang Kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao). Kebesaran dan kejayaan kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao) tak lepas dari jasa-jasa orang besarnya seperti Jenderal Hongli. Banyak kekaisaran yang berhasil taklukan. Kepiawaian Jenderal Hongli dalam mengatur urusan perang, di samping kedigdayaannya yang sangat tinggi yang dimilikinya. Ia berhasil membangun pasukan yang sangat besar yang dibekalinya dengan kepandaian ilmu bela diri yang mumpuni. Sehingga ia dan pasukannya sangat disegani dan ditakuti oleh kekaisaran-kekaisaran lain. Dalam setiap gelombang penyerbuan penaklukan, Jenderal Hongli dan pasukannya selalu membawa kemenangan yang gemilang.
Pada dasarnya, jauh sebelum masuk ke kalangan istana kekaisaran, Jenderal Hongli adalah seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ia adalah seorang pendekar besar yang sangat dihormati dan ditakuti oleh semua pendekar di seantero daratan Tiongkok kala itu. Dihormati oleh kawan sealiran, dan ditakuti oleh lawan-lawannya dari aliran hitam. Ia masyur dengan julukan Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) dari Nanjing. Kemudian setelah diangkat menjadi ketua dunia persilatan di seantero daratan Tiongkok. Kemasyhuran namanya itu, ia diminta oleh kekaisaran untuk mengabdi dalam angkatan perang kekaisaran, dengan pangkat dasar sebagai pejabat kepercayaan dari panglima perang. Beberapa tahun kemudian, kariernya demikian moncer dan ia masuk dalam jajaran perwira tempur dalam kekaisaran. Namun saat puncak kariernya justru ia mengundurkan diri lalu memutuskan untuk melanglang buana.
Maka di suatu malam Jenderal Hongli pun meninggalkan daratan Tiongkok dan keluarganya dengan menggunakan sebuah layar layar yang tidak besar. Ia sendiri tidak tahu hendak menuju ke negeri mana. Yang dia pikirkan ketika itu adalah pergi dari negeri Tiongkok, meninggalkan segala kebesaran yang ia sandang. Berminggu-minggu ia mengarungi samudera yang luas. Ia hanya mengikuti saja ke mana kehendak angin mengarahkan layar perahunya.
Sampai suatu malam, mendadak badai laut terjadi. Jenderal Hongli tak mampu mengatasi kekuatan alam yang dahsyat itu. Badai itu menghempas dan menghancurkan perahunya. Untung masih dapat ia raih. Sebilah papan yang cukup lebar dan panjang dari pecahan kapalnya telah menjadi alat penyelamatan hidupnya. Dengan kekuatannya yang tersisa, ia mengayuh papan itu dengan tangan, kaki, dan sisa kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi lagi-lagi ia tak mampu mengalahkan kekuatan waktu dan alam. Dan entah berapa lama ia berikhtiar demikian, ia pun tak tahu. Karena kepayahan, ia pun tak sadarkan diri di atas papan tersebut. Dan entah berapa lama dunia hilang dalam ingatannya, ia tak tahu. Namun ketika siuman, ia mendapatkan dirinya telah berbaring lemah di atas tempat tidur sederhana dalam sebuah rumah yang juga sederhana.
Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya. "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk. "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, se
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini." Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama. Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?" &