Share

PART 06

    Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya.

      "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk.

       "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, sembari membantu memperbaiki kembali posisi baring Hongli. "Tuan sedang berada di ibukota Kerajaan Tambora. Nama saya La Mbila, pemilik gubuk ini. Dan ini La Hiri, isteri saya. Saya seorang nelayan. Dua hari yang lalu saya menemukan Tuan terombang-ambing tak sadarkan diri di tengah laut."

      Jenderal Hongli memejamkan matanya sesaat, mengingat kembali kejadian yang dialaminya, lalu berkata dengan suara agak parau. "Oh, iya. Perahu saya memang mengalami kehancuran akibat dihantam badai laut. Saya menyelamatkan diri dengan menggunakan papan pecahan perahu. Kemudian saya tak sadarkan diri akibat kelelahan. Ooh, rupanya Dewata Agung masih memberi saya kesempatan untuk hidup. Dan saya sangat berterima kasih kepada Ama dan Ina berdua, karena telah menyelamatkan saya..."

      "Maaf, sebenarnya dewa ini berasal dari negeri mana...?" bertanya La Mbila dengan nada sungkan."

       "Ooh, iya. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Hongli. Saya berasal dari negeri Tiongkok. Saya…saya juga seorang…nelayan seperti Tuan," menyahut Jenderal Hongli. Namun ia harus menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya. Ia telah mengambil keputusan untuk meninggalkan negeri dan segala derajat dirinya. Jadi ia harus merahasiakan tentang siapa dirinya sesungguhnya. Ia bertekad untuk memendam dalam-dalam masa lalunya itu. Cukup dirinya sendiri saja yang tahu.

   * * *

 .     Dalam tempo beberapa hari saja kondisi Jenderal Hongli telah pulih. Ia sangat berterima kasih kepada  La Mbila dan La Hiri. Berkat jasa mereka, sehingga ia mampu menatap kembali dunia dan kehidupannya. Selama di pembaringan, pasangan suami-isteri itu demikian sabar dan tulus merawatnya. Bagi Jenderal Hongli, mereka bagai keluarganya yang lama dicari. Demikian juga bagi La Mbila dan La Hiri, Hongli bagaikan salah seorang keluarganya yang baru kembali setelah lama menghilang. Antara mereka benar-benar tercipta hubungan yang demikian erat, tanpa melihat bentuk fisik yang sangat nyata di antara mereka. Dan, kasta, bagi Jenderal Hongli adalah kisah lalu yang akan dia lupakan. Karena kenyataannya, kini dia tidak lagi berada di negerinya, Tiongkok, tapi berada di sini, di negeri nan jauh dan asing. Hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana, dan sudah menjadi bagian dari keluarga itu. Pun, bagi La Mbila dan La Hiri, tidaklah keberatan jika Hongli akan terus bersama mereka di rumah panggung sederhananya. Bila perlu buat selamanya. Untuk keperluan Hongli, sementara mereka penuhi.

       Demikianlah. Setelah hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan beberapa bulan pun tergenapi, Hongli sudah merasa kerasan tinggal bersama keluarga sederhana, La Mbila dan La Hiri. Suasana negeri yang demikian tenang dan damai, membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan negeri dan masa lalunya. Demi membalas kebaikan dan membantu perekonomian keluarga barunya itu, Hongli tak sungkan-sungkan membantu pekerjaan apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga barunya. Bahkan hampir setiap hari, jika kondisi laut sedang tenang, Hongli ikut melaut bersama La Mbila  melaut. Ia sangat menikmati pekerjaan barunya ini. Bahkan Jenderal Hongli sudah mulai mahir menggunakan bahasa setempat.

        Sebenarnya La Mbila  dan La Hiri memiliki seorang anak laki-laki tunggal yang sudah beranjak remaja. Tapi menurut La Mbila, putranya yang bernama La Gunta Marunta itu ditarik oleh pihak kerajaan untuk digembleng menjadi calon tamtama kerajaan.

      "Enam bulan sekali putra mada pulang ke rumah, " ucap La Mbila kepada Hongli, ketika sore itu keduanya sedang memperbaiki perahu mereka yang bocor di pantai dekat rumah. "Saat ini Kerajaan Tambora sedang bersitegang dengan kerajaan tetangga. Jadi mewajibkan setiap pemuda untuk bergabung dalam pasukan kerajaan. Ya, semoga Dewata Agung melindungi La Gunta, kerajaan, serta Paduka Sangaji dan keluarganya..!" (Paduka Sangaji = Paduka Raja).

       Jenderal Hongli mendengarkan dengan seksama penuturan laki-laki setengah baya di sampingnya. Ia teringat kembali akan kisah silam dirinya. Ia adalah mantan pemimpin pasukan yang sangat besar di suatu kemaharajaan. Mendengar cerita itu, tergugah juga hati kecilnya untuk ikut mengabdikan diri kepada kerajaan barunya sekarang. Bagaimanapun, saat ini ia sedang menikmati hidup di dalam negeri tersebut, di mana ia pun pernah diselamatkan oleh La Mbila dan La Hiri yang merupakan rakyat daripada kerajaan Sanggar dengan segala keikhlasan. Lantas apakah ia akan menutup mata dan tidak tergerak secara ikhlas juga untuk membantu kerajaan barunya dalam menghalau musuh-musuhnya?

       "Apakah hanya pemuda saja yang dibutuhkan oleh kerajaan? Maksud saya, apakah seusia mada, misalnya, tidak diwajibkan untuk bergabung menjadi tamtama kerajaan,,,?" Hongli seolah-olah tanpa sadar mengungkapkan kata-kata itu.

       La Mbila menghentikan kesibukan tangannya, dan dengan tersenyum ia memalingkan wajah kepada Hongli. "Tentu, jika memiliki keahlian silat yang mumpuni. Apakah Tuan berminat juga untuk bergabung,,,?"

      "Hmm, memang perlu untuk dipikirkan,,," sahut Hongli.

       La Mbila manggut-manggut. "Menurut kabar yang beredar, saat ini pihak istana sedang mencari seorang pendekar hebat yang akan menggantikan sementara panglima perangnya. Karena panglima perang, yang merupakan jenateke sedang terbaring sakit akibat terkena panah musuh dalam pertempuran beberapa bulan yang lalu." (Jenateke = putra mahkota).

       Hongli kembali manggut-manggut mendengar kabar itu. "Mungkin ini kesempatan aku untuk bisa membalas jasa kepada kerajaan baruku!" ucapnya dalam hati.

       "Dulu kerajaan pernah menyewa seorang pendekar dari negeri Tiongkok untuk menggembleng para calon tamtama kerajaan. Wajahnya mirip Tuan Hongli juga," La Mbila melanjutkan penuturannya.

       "Oh ya?" Jenderal Hongli memandang wajah La Mbila lekat-lekat. "Siapa namanya? Masih ingat?"

      La Mbila mengernyitkan dahinya. "Kalau tidak salah namanya…Poo Ling Pong Ah. Iya, itu namanya. Tapi kami di sini memanggilnya Paliponga. Dia orang yang sangat baik..."

      "Poo Ling Pong Ah...," Hongli tak sadar mengucapkan lagi nama itu. Tampaknya ia ingat nama dan wajah pendekar itu. Sewaktu dirinya masih menghuni dunia persilatan, nama itu cukup terkenal. Ia adalah pendekar beraliran putih yang masyhur dengan julukan Maling Putih Dari Nanking. Namun setelah dirinya masuk mengabdikan dirinya kepada kekaisaran, ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang pendekar yang memang terkenal dermawan itu. Dijuluki sebagai 'Maling' karena Poo Ling Pong Ah suka merampok harta orang-orang kaya pelit, lalu hasilnya ia bagi-bagikan kepada rakyat miskin.

      "Dewa mengenal Dewa Paliponga?" bertanya aLa Mbila.

       Jenderal Hongli seolah terkaget dengan pertanyaan itu, dan dengan cepat ia berkata, "Oh, ah tidak...! Mana mungkinlah saya cuman seorang nelayan mengenal orang-orang dunia persilatan, Marunta..."

      La Mbila tertawa agak terbahak-bahak. "Iya juga ya, Tuan..!"

      Ketika keduanya mau merapikan perkakas untuk memperbaiki perahu, tiba-tiba seorang pemuda yang bertubuh gempal dan tegap menghampiri.

     "Eh, kapan kau pulang, Anak?" bertanya La Mbila.

     "Baru saja, Ama," menjawab pemuda itu seraya setengah membungkuk menyalami tangan La Gunta Marunta dan menciumnya.

     "Oh ya, Tuan Hongli, " La Mbila berpaling kepada Hongli, "Inilah La Gunta Marunta, anak saya yang saya ceritakan barusan. Gunta, kenalkan, ini Tuan Hongli."ke

     "Hei, Gunta. Bagaimana kabarmu?" menyapa Hongli, sembari menyambut uluran tangan si pemuda yang berusia dua puluhan tahun di depannya.

     "Baik, Tuan, " jawab La Gunta dengan sikap santunnya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status