Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai.
"Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?"
"Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan."
"Guru gembleng kalian pendekar dari mana?"
La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana).
"Hmmm.." Hongli mengangguk-angguk. "Tadi Ama-mu cerita, bahwa pihak kerajaan sedang mencari pemangku panglima perang sementara?"
"Benar, Tuan. Karena panglima yang juga adalah Jenateke sedang sakit parah. Sudah satu bulan, Tuan, tetapi calon pemangku panglima yang diharapkan kayaknya belum didapatkan."
Hongli mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Bentuk pencariannya bagaimana?"
"Ya kerajaan mengundang pendekar-pendekar mumpuni dari segala penjuru, kecuali yang berasal dari wilayah kerajaan-kerajaan musuh. Pendekar itu harus mampu mengalahkan para pendekar istana secara bertingkat."
"Secara bertingkat?"
"Iya, Tuan. Pada mulanya pendekar tersebut jika mampu mengalahkan pendekar uji satu lawan satu, maka selanjutnya ia harus menghadapi lima pendekar lagi, lalu sepuluh pendekar, hingga seratus pendekar."
"Wah, berat sekali ya seleksinya, Gunta?"
"Menurut mada juga begitu, Tuan. Sangat berat!Tapi tidak mustahil. Sebab Jenateke sendiri tingkat ilmunya setingkat itu. Namun pendekar-pendekar yang ikut ambil bagian rata-rata gugur ketika baru menghadapi lima pendekar uji." La Gunta Moti tiba-tiba memandang lekat-lekat ke wajah Hongli lalu bertanya, "Mungkin Tuan juga berminat untuk ikut?"
"Hm...? Aku...?" Hongli berpura-pura kaget seraya mengarahkan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Iya, Tuan. Kenapa tidak? Dulu, guru gembleng istana juga adalah pendekar dari negeri Tuan juga."
"Apakah menurutmu aku ini ada potongan seorang pendekar?"
La Gunta memandang sesaat ke seluruh sosok Hongli, lalu menjawab. "Mada tidak tahu, potongan seorang berilmu tinggi itu persis seperti apa. Tapi menurut firasat mada, Tuan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Hm, setidaknya dari sorot matanya Tuan."
"Ha ha ha ha ha...," Hongli tertawa terbahak-bahak demi mendengar penuturan pemuda di sampingnya. Namun demikian, dalam hatinya mengakui akan ketajaman pandang dan firasat sang pemuda. Kemudian dalam nada datar ia bertutur. "Memang ketika muda, seusiamu, aku pernah menjadi murid di sebuah kuil. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah kemampuanku masih ada atau tidak. Soalnya sangat jarang terasah dengan pertarungan-pertarungan, Gunta."
"Kalau begitu, kenapa ragu, Tuan?" ucap La Gunta. Sinar matanya menyiratkan sebuah harapan. "Siapa tau nasib baik berpihak pada Tuan...?"
Hongli tersenyum sambil menganggu-angguk, lalu bertanya singkat, "Begitu..?"
"Iya, Tuan!"
Hongli mengangkat wajahnya sesaat, menampakkan rahang dan urat lehernya yang kokok. Sembari menoleh ke arah La Gunta, ia pun berkata dengan tandasnya, "Baiklah. Patut dicoba!"
Mendengar kesanggupan Hongli itu, sontak La Gunta berteriak kegirangan. Saking girangnya, pemuda itu sampai tak sadar memperagakan jurus-jurus silatnya.
"Cuiiiii...! Heaahh...heiit, heittt...!"
Hongli dibuat terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala demi menyaksikan perilaku 'kemenakan' barunya itu. Dan, setelah puas bercakap-cakap, mereka pun beranjak dari tempat itu. Sesampainya di rumah La Gunta meceritakan perihal keinginan Hongli untuk ambil bagian dalam pencarian calon pengganti sementara panglima perang kerajaan. La Mbili dan La Hiri, kedua orang tua La Gunta Marunta, merasa senang sekaligus waswas mendengar kabar itu.
Hongli tentu tidak menganggap sepele tingkat ilmu para pendekar uji Kerajaan Tambora, sekalipun dirinya adalah seorang pendekar besar. Dia sudah kenyang makan asam garam di dunia persilatan. Kendati demikian, ia perlu memperbaharui dan memantapkan kembali kedigdayaan jurus-jurusnya, sekaligus untuk mengumpulkan kembali tenaga dalamnya terasa nyaris hilang. Ia memanfaatkan suasana pantai yang sepi di malam harinya utk melakukan hal tersebut. Latihan-latihan yang dilakukan oleh Hongli ini tentu tidak dilewatkan oleh keluarga barunya, yaitu La Mbili, La Hiri, dan La Gunta Marunta. Setiap gerakan jurus yang demikian cepat dan dahsyat yang diperagakan oleh pendekar dari negeri nun jauh ini senantiasa menimbulkan decak kagum dari ketiganya. Menurut penilaian La Gunta, kedahsyatan jurus-jurus yang diperagakan oleh Hongli ini masih jauh di atas tingkatan jurus-jurus yang dimiliki para pendekar penggembleng di padepokan kerajaan. Hingga muncul keyakinan dalam hati pemuda tanggung ini, bahwa laki-laki yang sudah berusia melewati separo baya ini bukanlah manusia awam, atau seorang nelayan yang sering diceritakannya, namun sesungguhnya ia adalah seorang pendekar besar di dunia persilatan. Harapan besar akan keberuntungan masa depan yang bisa diraih oleh sang anggota keluarga barunya ini pun teryakini dalam hati La Gunta Marunta dan kedua orang tuanya.
* * *
Setelah semuanya telah dipersiapkan dengan matang, maka di suatu sore yang cukup cerah, dengan didampingi oleh La Gunta dan ayahnya, La Mbili, Hongli pun berangkat menuju alun-alun istana, di mana uji pencarian pemangku panglima perang sementara itu dilakukan. Ketiganya menunggang kuda masing-masing. Dengan mengenakaian pakaian ciri khas pendekar dari negeri Tiongkok, penampilan Hongli sore itu terlihat begitu gagah dan berwibawa, menggambarkan ia adalah seorang pendekar besar dan amat pilih tanding.
Sesampai di alun-alun, pertarungan uji sedang berlangsung dengan seru dan dahsyatnya. Telah banyak pendekar yang gagal dan berguguran. Kebanyakan para pendekar gagal itu digotong keluar kalangan oleh para juru gotong dalam kondisi sudah meregang nyawa. Pendekar-pendekar malang tersebut rata-rata gugur di pertarungan uji tahap pertama melawan para pendekar uji istana. Para pendekar peserta diperbolehkan bertarung dengan menggunakan senjata kebesarannya masing-masing. Misalnya pendekar yang masyhur dengan ilmu tongkatnya, maka dia akan maju bersama tongkatnya, dan akan disambut oleh pendekar penguji pertama dan seterusnya dengan permainan tongkat pula. Demikian juga pendekar yang masyhur dengan ilmu pedangnya.
Karena sekeliling kalangan tarung sudah sangat padat oleh para penyaksi, maka La Gunta dan La Mbili mengajak Hongli untuk mengambil tempat di pojok selatan kalangan pertarungan, di dekat jalan keluar dan masuk. Saat itu sedang berlangsung pertarungan seorang pendekar berparang kembar melawan seorang pendekar utama. Pendekar peserta itu menyerang pendekar penguji dengan gerakan jurus-jurus yang demikian cepat dan lihai. Sepasang parang kembar di kedua tangannya bergerak dan berkiblat laksana kitiran, mengejar ke mana pun tubuh pendekar penguji bergerak. Namun anehnya pendekar penguji hanya melawannya dengan tangan kosong, dan sama sekali belum berniat untuk menggunakan senjata sejenis yang tersedia di atas sebuah meja kayu yang diletakkan di sudut utara kalangan.
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini." Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama. Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?" &
Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?" Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Babuju tidak mengerti perkara londo iha? Namun si pemuda tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Artinya ya kami harus minggat. Kami sedang melakukan kawin lari. Kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis). Setelah mendapat penjelasan dari si
Desa La Kalimone dan La Alo Salaka tidaklah jauh dari kaki Gunung Sorowua. Hanya butuh waktu sepeminum kopi perjalanan ketiganya pun telah sampai. Desa itu bernama Kandunggu. Sebuah pemukiman yang cukup luas dan padat. Tentu saja kehadiran kembali La Kalimone dan La Alo Salaka menjadi perhatian hampir seluruh warga di desanya. Hal tidak lumrah sebenarnya sepasang kekasih yang baru melakukan selarian kembali lagi dalam waktu yang singkat. Namun demikian warga desa sudah bisa menerima baik, karena sudah tahu beritanya dari pihak keluarga La Alo Salaka yang pulang dari pengejaran tadi. Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi pihak keluarga si gadis adalah La Mudu benar-benar telah menepati janjinya untuk mengantar kembali kedua kekasih itu. Sebagaimana adatnya, keduanya di a