La Mudu tersenyum dan manggut-manggut pelan. Pikirannya bermain. Ia harus mengayuh sampan mulai dari sini. Warga desa ini adalah bagian dari negeri yang tengah menanti kehadiran dirinya. Kehadiran sang pembebas. Ia harus memulai tindakannya di sini. Karena itu ia pun berniat untuk memberikan sedikit bekal ilmu kesaktian kepada La Kalimone. Mungkin juga beberapa pemuda lagi agar lebih kuat. Kemudian ia bertanya, "Biasanya berapa orang anak buahnya La Afi Sangia yang mengambil jatah mereka di desa ini, Sahe?"
"Ya rata-rata sekitar dua puluhan orang, Jawara Mudu. Tapi untuk menghadapi seorang anak buah La Afi Sangia pun kami tidak mungkin berani dan mampu. Mereka rata-rata memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.”
"Hmm, begitu. Lantas mereka lewat mana? Sebab sepengatahuan saya, Pulau Sangiang itu be
La Mudu dan seluruh murid dadakannya akan melakukan serangan pertama mereka dengan menggunakan tombak. Mereka adalah pemuda-pemuda yang memang memiliki ketrampilan alami dalam hal menggunakan senjata yang satu ini, karena mereka adalah pemburu-pemburu kijang yang sangat mahir. Kemungkinan para gerombolan anak buah la Afi Sangia sangat tak mengira akan mendapat serangan yang berani seperti itu. Karena selama ini belum ada sejarahnya masyarakat desa di seantero negeri Babuju yang merani menentang kebesaran la Afi Sangia secara langsung. Jadi La Mudu memperhitungkan, para gerombolan perampok jahat itu dengan mudah dibasmi, bahkan dengan tombak. Malam itu
La Mudu alias Pendekar Dewa Api mengambil tempat duduk di bangku yang paling pojok. Saat melihatnya, si gadis yang bernama Meili mendatanginya dan bertanya, “Tuan mau makan apa?” “Iya, siapkan saya makanan dengan lauk yang ada untuk saya sendiri,” jawab La Mudu sambil mengangguk pelan. “Lalu Tuan mau minum apa? Di sini ada arak, yang agak keras, tapi juga ada air tuak. Kebetulan air tuaknya masih baru.” “Ya air tuak saja,”sekali lagi La Mudu mengangguk pelan seraya tersenyum. Ia sudah paham dengan kedua jenis minuman itu. Arak adalah minuman kesukaan gurunya, Dato Hongli. Ia tak pernah tahu entah dari mana
Belum sempat menyadari apa yang baru saja menimpanya, tiba-tiba La Goba kembali merasakan cekikan yang kuat pada jakun lehernya lalu disusul dengan tendangan keras lagi di dada. Kembali tubuh laki-laki itiu terlempar ke belakang dan jatuh di depan kaki-kaki keenam kawanannya. Ia mengerang kesakitan yang sangat, dan berkali-kali batuk-batuk yang menyemburkan darah segar dari mulutnya. Mendapati kenyataan yang d
La Mudu tersenyum dan menyadari apa yang menjadi keheranan Baojia. Dia melangkah masuk ke dalam warung, melewati Meilin, dan duduk kembali di meja makannya tadi, membasuh kerongkongannya dengan air nira. Baojia dan istrinya mengikuti dari belakang.Kepada kedua orang tuanya Meilin itu, La Mudu menceritakan sekedarnya tentang siapa dirinya, terutama tentang dirinya yang dibesarkan lalu diangkat murid oleh seorang pendekar besar dari Negeri Tiongkok, yang namanya tak ia sebutkan kepada Baojia dan istrinya.“Jadi jawara muda ini dibesarkan dan diangkat murid oleh seorang pendekar pelarian dari Tiongkok? Siapakah nama pendekar itu, Jawara Mudu?” bertanya Ba
Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik kelompok Teratai Merah. "Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.” "Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?” bertanya La Mudu kepada Baojia. *Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja La Pabise dan teman-temanny
Kepada kedua orang tua Meilin, Baojia dan Fang Yin, La Mudu tak lupa untuk meminta ijin untuk menajak jalan-jalan putrinya. “Iya, silakan, tapi kalian yang hati-hati, ya?”ucap Baojia. Laki-laki hampir baya itu berdiri berdampingan dengamn istrinya, mamandang punggung putrinya Meilin dan Jawara Mudu yang melangkah menjauh dari mereka. Di wajah mereka menampakkan senyum, karena merasa senang putri mereka akhirnya bisa jalan-jalan dengan seorang pemuda. Mereka yakin, Jawara Mudu mampu menjaga Meilin dengan baik. Seperti kata Meilin, pantai itu tak jauh, berada di belakang desa. Pantain
Bulan purnama menerangi jagat malam. Di sana sini terdengar suara para anak-anak desa yang sedang menikmatan keindahan malam dengan melakoni segala macam permainan seperti kikolo(petak umpet), atau permainan anak-anak lainnya. Lalu para pemuda atau orang-orang tua duduk berkumpul di sana sini untuk mengobrolkan banyak hal. Terang bulan seperti itu memang membuat denyut kehidupan masyarakat desa lebih panjang dibandingkan dengan jika malam tanpa terang bulan, di mana penduduk desa biasanya lebih cepat untuk merehatkan penat tubuh mereka di peraduan. La Turangga, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Pabise, pun tak melewatkan malam terang bulan itu untuk menikmatinya. Keempat pemuda bakal calon pajuri La Afi Sangia itu menikmati keindahan malam di desa yang berada di pesisir timur Pulau Sumbawa dengan membuat api unggun di halam sa
“Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangia itu ya?”ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun. Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.” “Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut. Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja,Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.” &