La Mudu alias Pendekar Dewa Api mengambil tempat duduk di bangku yang paling pojok. Saat melihatnya, si gadis yang bernama Meili mendatanginya dan bertanya, “Tuan mau makan apa?”
“Iya, siapkan saya makanan dengan lauk yang ada untuk saya sendiri,” jawab La Mudu sambil mengangguk pelan.
“Lalu Tuan mau minum apa? Di sini ada arak, yang agak keras, tapi juga ada air tuak. Kebetulan air tuaknya masih baru.”
“Ya air tuak saja,”sekali lagi La Mudu mengangguk pelan seraya tersenyum. Ia sudah paham dengan kedua jenis minuman itu. Arak adalah minuman kesukaan gurunya, Dato Hongli. Ia tak pernah tahu entah dari mana
Belum sempat menyadari apa yang baru saja menimpanya, tiba-tiba La Goba kembali merasakan cekikan yang kuat pada jakun lehernya lalu disusul dengan tendangan keras lagi di dada. Kembali tubuh laki-laki itiu terlempar ke belakang dan jatuh di depan kaki-kaki keenam kawanannya. Ia mengerang kesakitan yang sangat, dan berkali-kali batuk-batuk yang menyemburkan darah segar dari mulutnya. Mendapati kenyataan yang d
La Mudu tersenyum dan menyadari apa yang menjadi keheranan Baojia. Dia melangkah masuk ke dalam warung, melewati Meilin, dan duduk kembali di meja makannya tadi, membasuh kerongkongannya dengan air nira. Baojia dan istrinya mengikuti dari belakang.Kepada kedua orang tuanya Meilin itu, La Mudu menceritakan sekedarnya tentang siapa dirinya, terutama tentang dirinya yang dibesarkan lalu diangkat murid oleh seorang pendekar besar dari Negeri Tiongkok, yang namanya tak ia sebutkan kepada Baojia dan istrinya.“Jadi jawara muda ini dibesarkan dan diangkat murid oleh seorang pendekar pelarian dari Tiongkok? Siapakah nama pendekar itu, Jawara Mudu?” bertanya Ba
Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik kelompok Teratai Merah. "Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.” "Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?” bertanya La Mudu kepada Baojia. *Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja La Pabise dan teman-temanny
Kepada kedua orang tua Meilin, Baojia dan Fang Yin, La Mudu tak lupa untuk meminta ijin untuk menajak jalan-jalan putrinya. “Iya, silakan, tapi kalian yang hati-hati, ya?”ucap Baojia. Laki-laki hampir baya itu berdiri berdampingan dengamn istrinya, mamandang punggung putrinya Meilin dan Jawara Mudu yang melangkah menjauh dari mereka. Di wajah mereka menampakkan senyum, karena merasa senang putri mereka akhirnya bisa jalan-jalan dengan seorang pemuda. Mereka yakin, Jawara Mudu mampu menjaga Meilin dengan baik. Seperti kata Meilin, pantai itu tak jauh, berada di belakang desa. Pantain
Bulan purnama menerangi jagat malam. Di sana sini terdengar suara para anak-anak desa yang sedang menikmatan keindahan malam dengan melakoni segala macam permainan seperti kikolo(petak umpet), atau permainan anak-anak lainnya. Lalu para pemuda atau orang-orang tua duduk berkumpul di sana sini untuk mengobrolkan banyak hal. Terang bulan seperti itu memang membuat denyut kehidupan masyarakat desa lebih panjang dibandingkan dengan jika malam tanpa terang bulan, di mana penduduk desa biasanya lebih cepat untuk merehatkan penat tubuh mereka di peraduan. La Turangga, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Pabise, pun tak melewatkan malam terang bulan itu untuk menikmatinya. Keempat pemuda bakal calon pajuri La Afi Sangia itu menikmati keindahan malam di desa yang berada di pesisir timur Pulau Sumbawa dengan membuat api unggun di halam sa
“Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangia itu ya?”ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun. Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.” “Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut. Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja,Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.” &
Keempat sahabat barunya serentak mengangguk. “Benar, Lenga Mudu,” sahut keempatnya hampir bersamaan. “Andaikata keadaan negeri tak seperti saat ini,” kata La Pabise, “ maka saya lebih memiliki jadi petani atau nelayan. Sekalipun mungkin penghasilan tak menentu, tetapi ketenangan hidup lebih terjamin. Tetapi karena keadaan negeri seperti saat ini, ya...pekerjaan apa pun harus dijalani, sekalipun harus melenyapkan kehidupan orang lain demi untuk melanjutkan hidup.” “Ya, ya, saya mengerti, Lenga,”ujar La Mudu. “Keadaan negeri saat ini benar-benar tak menguntungkan sedikit pun bagi kalangan rakyat. Tetapi kenapa tidak menjadi nelayan saja, mungkin masih ada harapan?”
Keesokan harinya, bila mentari sudah sepenggalan naik, La Mudu dan keempat sahabatnya telah memacu kuda tunggangannya masing-masing ke arah utara. Ia mengajak serta Meilin. Gadis cantik bermata sipit berkulit putih halus itu menunggang kudanya sendiri berdampingan dengan kuda tunggangan La Mudu. Kuda yang dipakai oleh La Mudu pun adalah seekor kuda berbulu coklat milik Baojia. Laki-laki itu memiliki beberapa ekor kuda tunggangan di kandangnya yang berada di kebun yang berada di kebun belakang rumah yang ditempati oleh La Mudu dan keempat sahabatnya. Bagi orang Pulau Sumbawa dan Dana Mbojo khususnya kala itu, kuda adalah binatang ternak yang wajib dimiliki hampir setiap keluarga karena merupakan binatang tunggangan maupun untuk kuda beban. Kuda dari negeri ini terkenal tangguh dan lincah walaupun posturnya agak kecil dibandingkan