Emma akhirnya mengerti mengapa Ethand menanyai tentang nick name yang digunakannya kemarin. Ternyata Melissa-lah yang meretas Alves Corp akhir-akhir ini. Emma juga belum pernah bertemu dengan peretas tersebut baik langsung maupun tidak langsung.
“Sudah berapa kali peretas itu melakukan aksinya?” tanya Melissa pada Sobig.
“Setelah tiga tahun lamanya.” Ryan yang berdiri di samping Emma berbalik menatapnya.
“Maksudnya?” tanya Emma dengan dahi berkerut. “Berarti dia pernah meretas Alves Corp sejak tiga tahun yang lalu?”
Ryan mengangguk. “Dia lah yang menyebabkan kebangkrutan Alves corp tiga tahun yang lalu.” Jelas Ryan.
Emma mencerna kalimat Ryan seraya memutar memorinya kembali pada tiga tahun yang lalu. “Bukankah waktu itu Alves Corp melakukan korupsi dan penggelapan dana?” tanya Emma ketika baru mengingat peristiwa menggemparkan Vunia tiga tahun yang lalu itu.
“Yang
Ethand menunggu dengan tidak sabar di dalam ruangannya. Ia lagi-lagi menghubungi Ryan namun tidak ada jawaban di sana. Alhasil ponsel miliknya di buang begitu saja di atas meja kerjanya. Ia berjalan ke sana ke mari karena Ryan belum juga kembali.Lima belas menit kemudian, pintu ruangan di buka dan itu adalah sekretarisnya. Ia menatap nanar Ryan yang berjalan mendekati meja kerjanya.“Apakah panggilanku tidak begitu penting bagimu?” tanyanya dengan nada dingin. Ryan dapat merasakan hawa dingin di ruangan itu. Ia sengaja tidak membalas ucapan Ethand. Ryan hanya tertunduk dan menyembunyikan rasa lucu dalam hatinya.“Apakah mulutmu juga sudah tidak berfungsi lagi?” Ethand lagi-lagi dengan suara dingin bahkan kali ini terdengar lebih dingin dan menyeramkan dari sebelumnya.“Ma-maafkan saya, Pak. Ponsel saya di silent tadi jadi tidak mengetahui jika Bapak menelepon.” Ryan sengaja mencari alasan dan dengan wajah menuju ke lan
Emma kembali ke tempat duduknya dengan perasaan heran. Apakah karena dirinya telah mengatasi peretas itu? Namun ini berlebihan. Seorang dokter memiliki banyak pasien tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja.“Apakah itu suruhan pak Ethand?” tanya Sobig ketika melihat raut wajah Emma yang muram.“Iya.” Emma bersandar pada kursi kerjanya. “Apa tidak berlebihan yah?” tanya Emma seraya menggigit bibir bawahnya.“Apakah kamu tidak sadar?” Sobig dengan tatapan ke layar komputer.“Maksud kamu?” tanya Emma seraya duduk tegak menghadap Sobig.“Kamu adalah aset berharga Alves Corp sekarang. Jadi kesehatan dan keselamatanmu adalah perhatian utama mereka.” Emma akhirnya memahami. Ia pikir ada niat lain dari atasannya tersebut. Ia mengutuk dirinya dalam hati karena telah berpikiran macam-macam.Emma pun terdiam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Mac melihat Sobig dan Emma sudah m
Ryan menendang udara begitu saja. Ia mengusap wajahnya kasar. Ethand hanya menggelengkan kepala ketika Ryan kembali menghampirinya.“Sejak kapan kamu begitu bodoh, Ryan?” Pertama kalinya, Ethand memanggil nama Ryan. Mendengar Ethand menyebut namanya Ryan hanya bisa tertunduk.“Maaf, Pak.”Ethand kembali masuk ke dalam lobi perusahaan. Ryan tidak berani mengejar dan membiarkan Ethand masuk sendiri ke dalam. Ia menyadari jika dirinya terlalu cepat emosi sehingga membuat Ethand menilainya bodoh.Dengan kesal ia menyusul atasannya. Ia harus mengetahui apa yang sudah terjadi dan siapa pemilik mobil tersebut.Mata Ryan menjelajahi seluruh lobi namun Ethand sudah tidak ada di sana. Bergegas ia menuju ke lift.Ryan berjalan terburu-buru ke ruangan Ethand, namun setelah mengetuk pintu dan membukanya, ia tidak menemukan Ethand di sana.“Ke mana perginya?” Ryan kembali menutup pintu dan duduk di meja kerjanya.
Buggati Chiron yang dikendarai Ethand melaju dengan kencangnya. Ia melampiaskan kemarahannya pada mobil yang dikendarainya. Ponselnya terus berdering dan itu adalah panggilan dari Ella dan juga Giorgino.Kota Vunia yang tampak ramai dan padat kendaraan, membuat Buggati Chiron milik Ethand harus berhenti melaju kencang. Ia memukul setir kemudinya.Tidak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Ia merasa jengah dan terganggu dengan bunyi nada dering ponselnya.“Bisa biarkan ku untuk bernapas sedikit saja?” Suara dingin Ethand mampu membekukan apa saja termasuk sang penelepon.“Ma-maaf, Pak. Ka-kalau begitu saya matikan.”Ethand melihat ponselnya. Ternyata bukan Ella ataupun Giorgino tetapi sebuah nomor baru. “Emma?”Namun panggilan itu sudah di matikan. Ethand lagi-lagi memukul setir mobilnya. Ia menepikan mobilnya ke pinggir jalanan dan mencoba menghubungi Emma. Tidak menunggu lama, pada deringan ke dua E
Sudah tiga jam Emma berkutat di depan komputer. Sudah seperempat program dibuatnya. Mac melihat jam di pergelangan tangannya dan melihat ke arah pintu masuk.“Trojan lama amat.” Mac mencoba menghubungi Trojan namun tidak di angkat. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan Trojan masuk membawa begitu banyak kantong plastik dan paper bag. Tidak lupa pula ada tiga tangkai mawar di tangan kirinya. Peluhnya mengucur di seluruh tubuh.“Ruby bantuin dong,” pintanya. Ruby langsung membantu Trojan membawa sebagian bawaannya.“Kamu belanja banyak amat, Bro.” Ruby tidak tahu jika manajer merekalah yang memerintah Trojan.“Di suruh sama pak Mac.” Trojan meletakkan bawaannya di atas meja. Ia bergegas menuju Mac yang berdiri menatapnya dengan wajah muram.“Sudah saya belanja semuanya, Pak. Nawarnya juga.” Trojan menyerahkan kartu bank pada Mac. Dengan kesal Mac langsung menerimanya.“Berapa ba
Ryan menelepon Ethand berulang kali namun tidak ada jawaban di sana. Ella dan Giorgino menunggu dengan was-was di ruangan kerja Ethand. Mereka tidak bisa menerima perlakuan Ethand yang pergi begitu saja. Padahal, perjodohan itu untuk memperbaiki hubungan Alves Corp dan Prima Corp seperti sedia kala.“Ini karena Mama selalu memanjakan dia.” Giorgino sedang menahan amarahnya. Ella hanya bisa tertunduk diam.“Kan mama sudah bilang, Pa. Dia tidak mau dijodohkan.”Giorgino membuang tatapannya jengah. “Kita seharusnya bersyukur sama pak Prima, Ma. Mereka dengan rela menikahkan putrinya dengan anak kita.”Ella lagi-lagi hanya bisa terdiam. Bagaimana pun, ia akan senantiasa di sisi putranya.“Bagaimana? Apa dia sudah bisa dihubungi?” tanya Giorgino ketika melihat Ryan masuk ke dalam ruangan.“Belum, Pak.”Melihat raut wajah penuh amarah dari Giorgino, Ryan hanya bisa kembali menelpon
Sudah pukul sepuluh malam. Emma merapikan meja kerjanya. Tidak lupa pula mawar di simpannya di tempat yang aman. Rekan kerja tim IT yang lainnya sudah bersiap untuk pulang. Tidak lama kemudian Ryan pun masuk.“Selamat malam, Pak.” Mac yang melihat kehadiran Ryan langsung menyambut kedatangannya.“Bagaimana hari ini? Lancar?” tanya Ryan.“Untuk back-end sudah selesai, Pak. Tinggal front-end besok akan diselesaikan.”Ryan nampak terkejut. Begitu cepatkah mereka mengerjakannya. “Luar biasa. Bravo.” Puji Ryan dengan senyum lebar di wajahnya.“Apakah Bapak juga lembur?” tanya Mac. Pertanyaannya mewakili rasa penasaran rekan kerja yang lainnya.“Iya. Ada yang harus diselesaikan.” Ryan menggaruk pelipisnya. “Saya di sini mau menjemput NN pulang.”Emma yang sedang menenteng tas nampak terkejut. Melihat raut wajah Emma, Ryan harus memutar otaknya untuk mencari
Seiring dengan ditutupnya pintu mobil dan mobil yang melesat pergi, Emma masih saja terdiam dan tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Genggaman tangan itu masih terasa di tangannya. Ia masih saja menatap kepergian mobil yang sudah berbelok ke jalanan umum.“Sampai kapan kamu akan berdiri di situ, Emma?” Suara Ester menyadarkan Emma dari lamunannya. Ia langsung membuka pintu pagar dan masuk ke dalamnya. Kakinya yang melangkah namun pikirannya tertuju pada kejadian beberapa menit yang lalu.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Ester ketika melihat wajah Emma sedikit memucat dan terdiam. Biasanya Emma langsung memberikan salam ketika sampai di rumah.“Aku baik-baik saja, Bu. Sedikit kecapaian karena lembur pertama bekerja.” Emma berusaha bersikap normal dan berjalan menuju kamarnya. Ester ingin memarahi putrinya yang pergi begitu saja dari rumah sakit, namun ketika melihat wajah letih Emma akhirnya Ester mengurungkan niatn