Untuk sesaat Emma terlena dengan pemandangan sehingga membuatnya begitu tersentuh lantas memeluk Ethand. Ia segera mendorong tubuh lelaki itu. “Ma-maafkan saya, Pak.” Wajah Emma langsung memerah dan terasa panas. Begitu pula Ethand yang langsung memperbaiki dasinya. Ia sedikit membatuk sekadar untuk melegakan isi hatinya.
“It’s okay,” jawab Ethand sembari menormalkan debaran jantunganya yang tak karuan. “Kamu sudah menghilangkan batasan di antara kita jadi anggap saja saya adalah sahabatmu,” ucap Ethand berusaha memperbaiki suasana yang kian canggung itu.
Emma mengutuk dirinya dalam hati. Mengapa bisa lose control saat ini? Tangan kanannya refleks memukul kepalanya. Hal itu tidak luput dari perhatian Ethand. Ia ingin menepis tangan itu namun sekarang bukanlah saat yang tepat.
“Air di sini segar dan alami. Apakah kamu mau mencobanya?” Ethand berusaha mencairkan suasana. Walaupun di dalam hatinya juga sed
Debaran hati yang bergejolak dan perasaan lega membuat Ethand tidak bisa berhenti tersenyum. Koyakan dan luka di dalam hati seakan telah di jahit dan meyatu kembali kepingan-kepingannya. ‘Dimples’ sebuah panggilan yang diciptakan Emma membuatnya bahagia. Ia tahu apa artinya itu. Sudah lama ia tidak sebahagia ini. Bahkan lembah Sanis dengan hamparan Daisy ini bahkan ikut berbahagia bersamanya.“Baiklah. Aku suka panggilan itu,” ucap Ethand dan menatap tulus Emma.“Jika menyukainya, segeralah jawab pertanyaanku,” pinta Emma.“Apakah kamu ingin mengetahuinya?” tanya Ethand sontak membuat bibir wanita di sampingnya mengerucut.“Tentu saja, Pak- eh salah, Dimples.” Emma langsung menggigit bibir bawahnya karena lupa nama panggilan baru untuk atasan yang sekarang sudah menjadi kekasihnya itu.Ethand dengan raut wajah pura-pura marah ketika Emma melupakan nama panggilan barunya. “Baiklah aku akan menj
Sudah sekian lama Emma akhirnya bisa merasakan bahagia sesungguhnya. Diperhatikan dan disayangi oleh lelaki yang menjadi kekasihnya sejak dua jam yang lalu. Setelah menikmati lembah surga Sanis, mereka akhirnya kembali ke kota Sanis. Sepanjang perjalanan tangannya senantiasa di genggam oleh lelaki tersebut. Senyum bahagia juga terukir di wajah mereka berdua.“Apakah kamu bahagia hari ini?” tanya Ethand seraya mengusap lembut tangan Emma.Emma mengangguk dan tersenyum. “Bahagia sekali,” jawabnya dan membiarkan tangannya diusap oleh Ethand. “Kita mau ke mana?” tanya Emma ketika melihat mobil yang dikendarai Ethand berbelok ke arah yang berlawanan dengan kota Vunia.“Ada sesuatu yang harus dibeli, Emma,” jawab Ethand dan memainkan sebelah matanya pada Emma. Wanita itu langsung tertawa karena pertama kalinya melihat Ethand berbuat demikian.“Ternyata kamu orangnya lucu,” ujar Emma.“Ha
“A-apa? Me-nikah?” Emma terkejut dengan pertanyaan itu. Baru beberapa jam ia menjalin kasih dengan Ethand namun sekarang sudah di tanya kapan menikah. Joyce dan Jian saling menatap.“Kami belum lama menjalin hubungan. Jadi butuh waktu untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya,” ujar Ethand. Ia juga terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Joyce.“Kami tunggu kabar baik secepatnya, Ethand,” balas Joyce.“Jangan lama-lama malu sama umur,” ucap Arnold. Ethand lagi-lagi menggaruk tengkuknya.“Amin,” ucap Ethand kemudian. Ia sudah memikirkan tentang masa depan hubungannya dengan Emma. Namun ia juga harus memberi waktu pada wanita itu.Emma hanya bisa memberikan senyum pada keluarga itu. Sungguh pertanyaan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Namun, ketika mendengar harap dari Ethand, hati Emma menghangat. Jadi, atasannya itu sungguh menjalin hubungan yang serius dengannya.
PRAKK!!Sebuah berkas dilempar begitu saja dan mengenai dinding yang perlahan kusam. Ruangan yang semula gelap karena minim penerangan, kini sebuah cahaya masuk mengenai wajah seorang lelaki berwajah pucat dan mulai keriput. Sebuah kacamata berlensa besar bertengger di hidungnya.“Apakah tidak bisa menembus database Alves Corp lagi?” Suara Prima menggelegar di ruangan itu. Lelaki yang duduk di sebuah kursi hanya bisa mengangguk. Prima semakin naik pitam dan mengusap wajahnya kasar. “Saya tidak mau tahu, secepatnya harus bisa menembus database Alves Corp.”“Mereka memiliki seorang ahli. Pertahanannya sulit ditembus,” jawab lelaki tersebut seraya melepaskan kacamata dan menaruhnya di meja.“Sejarah baru bagimu, Melissa. Belum pernah ada yang mampu menyaingimu. Dan kini... “ Prima menatap wajahnya lekat. Lelaki itu membalas tatapan Prima. Matanya sedikit menyipit akibat silau cahaya yang masuk.“Saya t
Kota Vunia masih ramai seperti biasanya. Ethand masih saja menggenggam tangan Emma, seakan tidak ingin melepaskannya. Begitu pula Emma, genggaman tangan hangat lelaki itu membuatnya begitu nyaman.“Baru jam 4, mau langsung pulang atau ke mana dulu?” tanya Ethand.Emma berpikir sejenak. “Bagaimana kalau ke kafe Janasess,” jawab Emma.“Baiklah.”Buggati Chiron milik Ethand langsung berbelok pada simpang empat pusat kota Vunia. Emma menyandarkan kepalanya pada kursi mobil dengan mata tertuju pada jalanan. Matanya menyipit ketika melihat sebuah sepeda motor yang tidak asing. Ia mencoba mengingatnya. Beberapa saat kemudian, Emma akhirnya ingat siapa pemilik sepeda motor tersebut. Dia adalah Jenaver, putra Prima.“Mengapa dia selalu melewati jalan ini? Apakah rumahnya di sekitar sini?” tanya Emma dalam hati.“Apakah kamu mengenali sepeda motor itu?” tanya Ethand. Lelaki ini be
“Apakah mereka benar-benar sudah berpacaran?” tanya Ryan pada Jane.“Apakah matamu sudah buram? Tidak mungkin mereka hanya sekedar akting,” balas Jane.“Aku hanya belum percaya jika pria kulkas itu mampu menaklukan hati Emma,” ujar Ryan. Jane yang sedang menyusun kotak tisu langsung menatapnya.“Sudah lama atasan kamu itu mendekati sahabatku. Bahkan malam hari masih menghubunginya.”“Aku pun tahu hal itu, Jane.”“Lalu kenapa masih bertanya lagi?”“Kenapa bisa berbarengan dengan kita?”Jane menatap penuh selidik pada lelaki di sampingnya. “Apakah kalian berdua sudah merencanakannya?” tanya Jane.“Apa? Merencanakannya?” sergah Ryan seraya tertawa. “Yang aku tahu hari ini Ethand pergi ke kota Sanis. Biasanya dia membawaku namun tadi pagi dia berangkat sendiri. Aku curiga jika dia mengajak Emma ke sana karena hari ini
“Tidak ada yang berani menyentuhmu, Emma,” ucap Ethand. Nada suaranya terdengar berbeda. Seperti ada tekanan dan tajam di telinga Emma.“Aku bisa jaga diri. Kamu tenang saja,” balas Emma. Lelaki di sampingnya tidak lagi berkata. Tatapan matanya tajam dan sulit diartikan.Sepuluh menit kemudian mereka memasuki area parkir Alves Corp. Terlihat Ruby dan Linux juga baru sampai. Mereka langsung menghampiri mobil Ethand.“Kok Emma semobil sama pak Ethand?” tanya Ruby pada Linux. Lelaki di sampingnya hanya mengangkat kedua bahunya.“Selamat sore, Pak,” sapa Ruby dan Linux. Ethand menganggukan kepalanya dan terus melangkah menuju lift. Emma hanya melayangkan senyum pada mereka berdua. Ruby dan Linux mengerutkan keningnya kala melihat Emma yang begitu dekat dengan atasan mereka tersebut.“Apakah sudah ada percikan asmara di antara mereka?” tanya Linux penasaran.“Tidak mung
Kematian kakek Alves bukan hanya sekedar pembunuhan dari Prima tetapi juga telah mengambil beberapa dokumen penting dari Alves Corp. Ethand terdiam dan memikirkan bagaimana melepaskan diri dari gangguan Prima.“Aku ke ruangan dulu,” ucap Ethand lalu berjalan keluar dari ruangan IT. Emma mengetahui beban yang dipikul oleh kekasihnya itu. Ia membiarkannya sendiri dulu.“Prima Corp benar-benar keterlaluan,” ucap Ryan. Ia juga kembali tersulut emosi ketika mengetahui perbuatan Prima Corp di masa silam. “Kamu di sini dulu. Saya harus menemani Ethand,” bisik Ryan di telinga Jane.“Pergilah,” balas Jane.“Emma, aku titip Jane yah,” ucap Ryan sebelum beranjak pergi.“Aman, Pak,” balas Emma. Ia menarik sebuah kursi di sebelah Sobig lalu menaruhnya di samping kursinya.“Duduklah, Bestie,” ujar Emma. Jane langsung mendaratkan bokongnya di kursi tersebut.“A