PRAKK!!
Sebuah berkas dilempar begitu saja dan mengenai dinding yang perlahan kusam. Ruangan yang semula gelap karena minim penerangan, kini sebuah cahaya masuk mengenai wajah seorang lelaki berwajah pucat dan mulai keriput. Sebuah kacamata berlensa besar bertengger di hidungnya.“Apakah tidak bisa menembus database Alves Corp lagi?” Suara Prima menggelegar di ruangan itu. Lelaki yang duduk di sebuah kursi hanya bisa mengangguk. Prima semakin naik pitam dan mengusap wajahnya kasar. “Saya tidak mau tahu, secepatnya harus bisa menembus database Alves Corp.” “Mereka memiliki seorang ahli. Pertahanannya sulit ditembus,” jawab lelaki tersebut seraya melepaskan kacamata dan menaruhnya di meja.“Sejarah baru bagimu, Melissa. Belum pernah ada yang mampu menyaingimu. Dan kini... “ Prima menatap wajahnya lekat. Lelaki itu membalas tatapan Prima. Matanya sedikit menyipit akibat silau cahaya yang masuk.“Saya tKota Vunia masih ramai seperti biasanya. Ethand masih saja menggenggam tangan Emma, seakan tidak ingin melepaskannya. Begitu pula Emma, genggaman tangan hangat lelaki itu membuatnya begitu nyaman.“Baru jam 4, mau langsung pulang atau ke mana dulu?” tanya Ethand.Emma berpikir sejenak. “Bagaimana kalau ke kafe Janasess,” jawab Emma.“Baiklah.”Buggati Chiron milik Ethand langsung berbelok pada simpang empat pusat kota Vunia. Emma menyandarkan kepalanya pada kursi mobil dengan mata tertuju pada jalanan. Matanya menyipit ketika melihat sebuah sepeda motor yang tidak asing. Ia mencoba mengingatnya. Beberapa saat kemudian, Emma akhirnya ingat siapa pemilik sepeda motor tersebut. Dia adalah Jenaver, putra Prima.“Mengapa dia selalu melewati jalan ini? Apakah rumahnya di sekitar sini?” tanya Emma dalam hati.“Apakah kamu mengenali sepeda motor itu?” tanya Ethand. Lelaki ini be
“Apakah mereka benar-benar sudah berpacaran?” tanya Ryan pada Jane.“Apakah matamu sudah buram? Tidak mungkin mereka hanya sekedar akting,” balas Jane.“Aku hanya belum percaya jika pria kulkas itu mampu menaklukan hati Emma,” ujar Ryan. Jane yang sedang menyusun kotak tisu langsung menatapnya.“Sudah lama atasan kamu itu mendekati sahabatku. Bahkan malam hari masih menghubunginya.”“Aku pun tahu hal itu, Jane.”“Lalu kenapa masih bertanya lagi?”“Kenapa bisa berbarengan dengan kita?”Jane menatap penuh selidik pada lelaki di sampingnya. “Apakah kalian berdua sudah merencanakannya?” tanya Jane.“Apa? Merencanakannya?” sergah Ryan seraya tertawa. “Yang aku tahu hari ini Ethand pergi ke kota Sanis. Biasanya dia membawaku namun tadi pagi dia berangkat sendiri. Aku curiga jika dia mengajak Emma ke sana karena hari ini
“Tidak ada yang berani menyentuhmu, Emma,” ucap Ethand. Nada suaranya terdengar berbeda. Seperti ada tekanan dan tajam di telinga Emma.“Aku bisa jaga diri. Kamu tenang saja,” balas Emma. Lelaki di sampingnya tidak lagi berkata. Tatapan matanya tajam dan sulit diartikan.Sepuluh menit kemudian mereka memasuki area parkir Alves Corp. Terlihat Ruby dan Linux juga baru sampai. Mereka langsung menghampiri mobil Ethand.“Kok Emma semobil sama pak Ethand?” tanya Ruby pada Linux. Lelaki di sampingnya hanya mengangkat kedua bahunya.“Selamat sore, Pak,” sapa Ruby dan Linux. Ethand menganggukan kepalanya dan terus melangkah menuju lift. Emma hanya melayangkan senyum pada mereka berdua. Ruby dan Linux mengerutkan keningnya kala melihat Emma yang begitu dekat dengan atasan mereka tersebut.“Apakah sudah ada percikan asmara di antara mereka?” tanya Linux penasaran.“Tidak mung
Kematian kakek Alves bukan hanya sekedar pembunuhan dari Prima tetapi juga telah mengambil beberapa dokumen penting dari Alves Corp. Ethand terdiam dan memikirkan bagaimana melepaskan diri dari gangguan Prima.“Aku ke ruangan dulu,” ucap Ethand lalu berjalan keluar dari ruangan IT. Emma mengetahui beban yang dipikul oleh kekasihnya itu. Ia membiarkannya sendiri dulu.“Prima Corp benar-benar keterlaluan,” ucap Ryan. Ia juga kembali tersulut emosi ketika mengetahui perbuatan Prima Corp di masa silam. “Kamu di sini dulu. Saya harus menemani Ethand,” bisik Ryan di telinga Jane.“Pergilah,” balas Jane.“Emma, aku titip Jane yah,” ucap Ryan sebelum beranjak pergi.“Aman, Pak,” balas Emma. Ia menarik sebuah kursi di sebelah Sobig lalu menaruhnya di samping kursinya.“Duduklah, Bestie,” ujar Emma. Jane langsung mendaratkan bokongnya di kursi tersebut.“A
Ruangan dengan minim penerangan terlihat berantakan. Komputer yang baru saja di banting terlihat retak di bagian layarnya. Kursi dan beberpa buku terlempar begitu saja. CPU dan alat elektronik lainnya sudah tidak berbentuk lagi. Di antara semua barang berantakan itu tergeletak seorang lelaki dengan kepala berlumuran darah. Di depan pintu berdiri Prima dengan wajah merah padam.“Jangan salahkan diriku jika terjadi sesuatu pada anak dan istrimu,” ucap Prima dengan suara tegas lalu meninggalkan ruangan itu.Lelaki dengan kepala penuh darah itu perlahan bangkit dari lantai. Pandangannya terlihat buram dan kepalanya terasa sakit. Ia berjalan menuju dinding dan duduk bersandar di sana. Sudah bertahun-tahun ia terkurung di sini dan Prima senantiasa mengancamnya. Lelaki itu melihat USB yang di pegangnya. Seketika ia tersenyum melihat USB tersebut.Otaknya sudah tidak mampu lagi bersaing dengan peretas Alves Corp. Ia memutuskan untuk pensiun namun Prima menol
Ethand mengambil tas Emma dan memegangnya. Wanita yang hendak mengambil tasnya itu menatap kekasihnya heran. “Apakah kamu akan membawanya?” tanya Emma dengan tatapan tidak percaya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Emma seketika berdiri dan berjinjit di depan lelaki itu. “Malu tahu dilihat orang,” bisik wanita itu dengan wajah bersemu merah. Pertama kalinya ia memberanikan diri mendekati wajah Ethand.Ethand seketika membeku. Ia tidak menyangka wanita yang dicintainya tiba-tiba mendekati wajahnya. Aroma lavender kembali masuk dalam rongga hidungnya. Menenangkan.Wajah Emma semakin bersemu merah kala melihat mata lelaki itu terus menatapnya. Bahkan diiringi senyum lembut yang mampu membuat jantung wanita itu berdetak tak karuan.“Kamu telah melakukan kesalah, Emma,” bisik lelaki itu di telinganya. Emma mengulum bibirnya. Dalam hati ia mengutuk dirinya karena telah berani mendekati wajah lelaki itu. Wanita itu menyeringai leb
Seiring dengan pintu toko roti dibuka, Emma dan Ethand langsung di sambut aroma kue yang lezat. Berbagai macam kue tertata di etalase dengan tampilan yang menggiurkan.“Apakah ibumu pecinta cokelat seperti dirimu?” tanya Ethand dengan mata tertuju pada kue di dalam etalase.Emma nampak terkejut. “Apakah kue ini untuk ibuku?” tanya Emma. Ethand menganggukan kepalanya. “Jangan repot-repot, Dimples,” ucap Emma.Tangan Ethand masih menggenggam tangan Emma. “Sudah beberapa kali aku ke rumahmu namun belum membawakan apa pun.”Emma hanya bisa terdiam. “Baiklah. Ibuku tidak menyukai cokelat. Dia lebih menyukai keju atau rasa mocca.”Ethand segera berbicara dengan pelayan toko. Tidak menunggu waktu lama kue pesanan mereka sudah di bungkus. Emma ingin membawa kue itu namun Ethand tidak mengijinkannya.“Bukankah itu untuk ibuku?” tanya Emma ketika Ethand tidak memberikan kue padany
“Jangan memanjakannya, Dimples,” ucap Emma setelah kesepakatan di antara kekasih dan adiknya disepakati.“Untuk adik iparku,” jawab Ethand. Ia segera mengambil cangkir teh dan menyeruputnya.“Dia akan menjadi seseorang yang gila belajar.” Emma mengambil kue dan memberikannya pada lelaki itu.“Bukankah itu hal yang baik?”Emma mengulum bibirnya. Sangat tidak mudah bertemu ketujuh member BTS namun mengingat siapa Ethand, Emma hanya bisa menghembuskan napas pelan. “Apakah kamu sudah siap untuk berbicara dengan ibuku?” tanya Emma.Ethand meletakkan cangkir teh di atas meja. “Untuk keselamatan dan kebaikan kalian, aku harus segera berbicara dengan ibumu,” jawab Ethand.“Apa yang mau dibicarakan Nak Ethand?” tanya Ester. Ia datang mengantarkan sepiring kue yang dibawa Ethand untuknya.“Ibu duduk saja dulu,” ucap Emma seraya bergeser ke kiri