Sepasang kekasih tentu akan mengerti ketika kata tak lagi terucap. Ia mengerti lewat sorotan mata sang kekasih. Entah sedih atau pun senang tentu ia akan mengetahuinya. Ethand menatap lekat wajah kekasihnya itu. Butuh waktu yang tidak mudah untuk mendapatkan hatinya. Dipertemukan dengan waktu yang tak terduga.
“Fokus menyetir, Dimple,” ucap Emma ketika mendapat tatapan penuh kasih dari lelaki berwajah rupawan itu. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Alin yang duduk di kursi belakang memilih untuk mendengarkan musik dan sudah memakai earphone. Gadis itu seakan enggan melihat Ethand dan Emma. Entah umurnya yang masih muda atau belum terbiasa dengan situasi tersebut.
“Katakan apa yang sedang kamu pikirkan, Emma?” tanya Ethand. Ia tidak ingin wanitanya itu terbeban dengan pikirannya sendiri.
“Tapi, apakah kamu akan menerimanya?” tanya Emma ragu-ragu.
“Kamu belum mengatakannya, Sayang. Bagaimana saya memutuskan untuk
Eves The Hill Vunia masih asri dan indah. Alin segera membuka earphone-nya ketika mobil yang dikendarai Ethand memasuki kawasan apartemen elit itu. Ia berdecak kagum sekaligus memuji keindahan tata letak Eves The Hill Vunia.“Kita akan tinggal di kawasan indah ini, Kak?” tanya Alin masih tidak percaya. Ia seperti mimpi dan tidak ingin bangun dari mimpi indah ini.“Tentu saja, Alin.” Ethand yang menjawab. Karena Emma juga sedang menikmati keindahan komplek apartemen itu. Ada taman bermain untuk anak-anak. Lapangan basket. Taman bunga dengan rumput halus di bawahnya.Menyadari jika Ethand selama ini hidup di tengah kemewahan, Emma menyadari jika jarak keduanya sungguh jauh. Bagaikan langit dan bumi.“Don’t be insecure, Darling,” imbuh Ethand ketika melihat raut wajah Emma yang diam-diam menoleh ke arahnya.“Kamu cenayang yah? Kok bisa tahu apa yang ada di dalam pikiranku?” Emma yang tidak menduga
Rumah baru bagi keluarga Jones sungguh membuat Ester berkaca. Alin yang sibuk memilih kamarnya dan Emma masih bingung memilih kamar dengan view kota Vunia atau ke arah matahari terbenam.“Kamu lebih menyukai ketenangan atau sebaliknya?” tanya Ethand yang menemani Emma melihat isi rumah baru mereka.“Ketenangan, Dimple,” jawab Emma.“Aku sarankan yang view-nya menuju laut lepas dengan sunsetnya.” Ethand juga menyukai ketenangan. Jadi hal seperti matahari terbenam, nuansa monokrom dan musik yang lembut membuatnya nyaman.“Aku juga pikirnya begitu.” Raut wajah Emma seketika cerah. “Kamar ini aku gunakan sebagai ruangan kerja saja,” imbuh wanita itu dengan senyum di wajahnya.“Pilihan yang bagus.” Puji Ethand pada kekasihnya.“Hari ini langsung masukkan barang-barang dari rumah lama. Sehingga malam ini sudah bisa tidur di kamar masing-masing.”Ethand mengu
Los Angeles tahun 2014Ethand dengan celana kargo, berkaos putih dan topi hitam. Di punggungnya terdapat ransel berukuran sedang. Dari perempatan Los Felizh Boulevard, lelaki itu menaikki shuttle DASH. Ketika bus baru beberapa menit meninggalkan Los Feliz, terlihat beberapa orang yang berpakaian seperti yang dikenakan Ethand. Lelaki itu berniat untuk hiking namun telepon dari kekasihnya membuat Ethand harus membatalkannya.Griffith Park dengan luas mencapai 1.740 hektar meliputi perbukitan, gua, hutan, ranch, lembah dan ngarai, serta danau-danau alami. Berdiri juga belasan museum dan bagunan bersejarah serta area piknik tempat anak-anak bisa naik kuda poni dan komidi putar. Plus lereng bukit tempat berdirinya tanda Hollywood yang sangat terkenal itu.Setelah turun dari bus, Ethand berjalan menuju observatorium di mana kekasihnya sedang menunggu. Dari kejauhan seorang wanita sedang bersama seorang lelaki berdiri dan bercengkerama dengan mesranya. Ethand mempercep
Ryan membawa Ethand ke sebuah sudut Wilobi mall. Raut wajah sekretarisnya membuat Ethand mengernyit heran. Sepertinya ada hal penting yang ingin dikatakan Ryan padanya.“Kamu tulus mencintai Emma?” tanya Ryan tiba-tiba. Kernyitan di dahi Ethand semakin jelas.“Ada apa, Ryan?” Ethand tidak mengerti maksud perkataan sekretarisnya itu.“Aku melihat Caroline tadi.”Mendegar nama wanita yang pernah hadir dalam hidupnya membuat kepala Ethand berputar. Segala kenangan indah dan sedih mulai bermunculan di kepalanya. Los Angeles menjadi saksi kisah cinta sekaligus perpisahan mereka berdua. Tidak ada kata perpisahan di antara mereka. Menjadikan Ethand lelaki dingin dan tidak ingin lagi mengenal cinta.“Aku melihat kamu sampai menoleh berkali-kali padanya tadi.” Lanjut Ryan seraya menghembuskan napasnya kasar.“Jadi tadi benar-benar dia?” tanya Ethand tidak percaya.“Jika hatimu m
Setelah berpamit pada ibunya dan Alin, Emma dan Jane berjalan bersama keluar dari apartemennya. Terlihat Jane membantu sahabatnya membawa sebuah paperbag berukuran besar di dalamnya berisi beberapa snack yang dibelinya beberapa hari yang lalu.“Ryan juga tidak meneleponku. Apakah para lelaki itu sedang PMS?” Jane dengan nada kesal.“Sejak kapan dia tidak menghubungimu?” tanya Emma.“Pagi ini.”Emma mengangkat kedua alisnya seraya menghembuskan napas kesal. “Mungkin saja dia sedang dalam perjalanan menuju perusahaan, Bestie.” Emma merasa heran dengan ke-bucinan sahabatnya ini. Padahal umurnya sudah tidak muda lagi.“Tapi biasanya dia bangun tidur sudah say hallo padaku.”Emma kembali menghela napasnya kesal. Apa jadinya jika Ryan tidak menghubunginya seminggu? “Kan hari ini kita ke puncak, kamu pahami keadaannya, Bestie.”“Tetap saja aku marah. Dia menomordua
Ethand menyadari jika sikapnya beberapa hari ini telah membuat wanita itu menjauh. Namun yang membuatnya resah adalah Emma tetap tersenyum padanya. Entah kenapa ia merasa jika Emma adalah karyawannya dan bukan kekasihnya.“Kamu berhasil membuatku terpojok, Emma,” gumam Ethand yang masih berdiri dan enggan kembali ke dalam mobilnya. Ia menoleh ke arah Ryan yang sedang berpelukan dengan Jane. Ethand hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Kisahnya tidak semulus sekretarisnya.Tangan Ethand sudah memegang handle pintu mobilnya namun kepalanya masih menoleh ke arah bus. Ia berpikir sejenak lalu kembali melihat Ryan yang sedang melambaikan tangannya pada mobil Jane yang perlahan melesat pergi.“Emma mana?” tanya Ryan ketika ia melihat Ethand saja yang berdiri di samping monil.“Kamu yang bawa mobil.” Ethand berbalik dan berjalan menuju bus dan tidak menghiraukan Ryan yang memanggilnya.“CEO naik bus?” Rya
Sudah satu jam perjalanan. Bus yang ditumpangi tim IT sudah memasuki kawasan pegunungan. Pohon yang menjulang tinggi dan padat mulai terlihat dengan suasananya yang asri. Emma menggeliat setelah mendengar suara burung dan udara yang sejuk mengenai wajahnya. Namun kenyamanan yang dirasakan wanita itu membuatnya ingin memejamkan matanya kembali.“Aroma ini?” batin Emma lalu perlahan membuka matanya.Betapa terkejutnya Emma ketika melihat kepalanya tepat di dada Ethand. Ia menengadah menatap lelaki itu.“Sudah bangun?” tanya Ethand yang juga menyadari wanita di dadanya sudah bangun. Emma mengulum bibirnya dan menunduk.“Iya,” jawabnya dengan suara pelan.“Maafkan aku,” ucap Ethand tiba-tiba. Emma seketika mengernyit.“Mengapa tiba-tiba minta maaf?” tanya Emma.“Beberapa hari ini aku tidak memedulikanmu. Mengabaikanmu bahkan tidak mendengarkanmu.” Ethand dengan serius
Hutan pinus mengelilingi Gircharon Vila. Berada di dataran yang sejuk dan jauh dari keramaian kota membuat Emma menutup matanya dan menghirup napas dalam udara yang sejuk itu. Sudah lama ia tidak menimati udara sesejuk ini. Terakhir kali dirinya bersama Ethand pegi ke lembah surga Sanis dan sekarang dia mendapatkan kesejukan yang berbeda ditemani dengan kicauan burung yang terbang ke sana kemari dari pohon yang satu ke pohon lainnya.“Kamu menyukainya?” Emma seketika membuka matanya. Ia tidak mendengar langkah kaki lelaki itu. Entah dengan apa ia bisa berdiri di sisi Emma.Emma mengulum senyumnya lalu menengadah menatap wajah kekasihnya itu. “Terima kasih selalu membawaku ke tempat yang indah,” ucap Emma dengan nada tulus.Emma menoleh dan manik hitamnya langsung bertemu dengan hodeed eyes milik Emma. “Aku hanya berusaha membuatmu bahagia,” balas lelaki itu. Emma langsung mencolek lengan Ethand. Suara ringisan pelan Ethand mem