"Bunyi deru suara motor membangunkan Mala dari tidur nyenyak nya. Rasanya malas sekali untuk meninggalkan kenyamanan ini. Dua malam kemaren menginap di hotel dia sama sekali tak bisa tidur nyenyak. Kali ini tempat tidur yang ditempatinya mampu memberi kenyamanan sehingga tidurnya pulas.Sepertinya dia telat bangun, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Buru-buru dia bangun dan berlari kekamar mandi. Lima belas menit setelahnya, dengan jilbab yang sudah rapi dan wajah yang sudah bersih ia membuka pintu kamar.Pintu disebelahnya ikut terbuka dan Bian keluar dari sana dengan pakaian yang sudah rapi."Mala, pagi ini aku harus kembali ke hotel, acaraku masih berlanjut." Bian menatapnya yang masih berdiri didepan pintu.Mala tak tahu harus bicara apa. Pagi ini harusnya dia sudah masuk kantor.Seperti mengerti kegalauan wanita didepannya, Bian tersenyum."Kamu tenang saja! Aku akan mengantarmu ke kota B nanti siang, setelah acaraku selesai. Mungkin nanti, aku akan
Mobil melaju dijalan raya dengan kecepatan sedang. Dua orang anak manusia yang ada didalamnya hanya diam, setelah pembicaraan terakhir mereka mengenai hutang-hutang Mala mereka tak lagi banyak bicara. Hanya bicara seperlunya saja.Banyak hal yang ingin ditanyakan pada lelaki di sampingnya itu, namun Mala berusaha untuk menahan diri. Sepertinya lelaki itu sangat serius menyetir mobil, mungkin jika diajak bicara akan sangat mengganggu. Makanya Mala memilih diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.Suara ponsel Mala menghentikan keheningan diantara mereka. Ada panggilan dari Retno. Mungkin karena tidak mengabari, makanya temannya itu menghubungi."Mala, kamu kemana saja?” teriak Retno begitu panggilan tersambung. “Aku kira kamu sedang menambah liburan bersama pak Radit. Mungkin juga sedang bersenang-senang. Tapi barusan dia datang ke kantor dengan tampang kacau, lalu menanyakan keberadaanmu pada kami. Jelas saja kami tidak tahu." Lanjut Retno lagi panjang lebar. Suaranya yang keras dan
"Ayolah Bunda, jangan paksa Mala menerima lelaki yang sama sekali tidak Mala kenal. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi, kan?" rengek Mala, saat dia sudah ada dirumah dan bermanja-manja dengan bundanya.Kepala gadis itu disandarkan di atas paha bundanya sambil tangannya yang halus itu memijid-mijid betis wanita saparuh baya yang masih kelihatan cantik itu. Emang begitulah Mala, dia suka sekali bermanja pada kedua orang tuanya, meskipun sekarang sudah dewasa."Kamu itu ya, masih saja manja dan suka merengek begini, nggak sadar usia. Teman-teman sebayamu sudah ada yang anaknya kelas satu es-de. Kamu masih saja seperti anak kecil." canda ibunya sambil membelai lembut rambut panjang anak gadisnya itu.Mala menampilkan senyum manis, lalu segera bangkit dan memeluk erat ibunya yang masih duduk di pinggir ranjang."Bunda pasti paham dan lebih paham dari Mala, bahwa cinta yang dipaksakan itu takkan berhasil. Apalagi kalau sebelumnya tidak saling mengenal. Jadi Mala mohon, bunda bujuk ayah. Sela
Mala menatap nanar pada bayangan wajahnya di cermin rias. Ada mata yang kelihatan sedikit sembab disana. Matanya itu tak bisa diajak bekerjasama agar tidak menangis, sehingga sekarang ia harus menerima tamu yang datang kerumah dengan mata sembab."Mala, tamunya sudah datang. Segeralah keluar, Nak!" suara ibunya memanggil dari luar."Iya, Bunda. Mala segera kesana." Setelah memastikan penampilannya tidak terlalu kacau lagi, ia mulai melangkah.Samar-samar terdengar suara orang yang sedang berbicara di ruang depan. Walau ragu-ragu, ia terus melangkah hingga suara itu semakin terdengar jelas."Nah, itu Mala. Dia sudah datang." ujar ayahnya sambil tersenyum begitu melihat putrinya sudah datang dan bergabung dengan mereka.Mala mengambil tempat duduk tepat di sebelah ibunya. Kepalanya masih tertunduk karena tak ada keinginan untuk menatap siapa tamu yang datang. Akan sangat memalukan jika mereka melihat matanya sembab."Jadi kapan rencana akad akan dilangsungkan?" terdengar suara ayahnya y
"Saya terima menikahi putri kandung Bapak, Nirmala Althafunnisa dengan maharnya seperangkat alat shalat dibayar tunai."Masih terngiang di telinganya lafaz ijab Qabul yang diucapkan Bian sore tadi. Lelaki itu tampak mengucapkannya dengan sangat hikmat, menerima lafaz penyerahan dari ayah Mala yang mengucapkan dengan mata berkaca-kaca. Mala juga mendengar dengan rasa haru yang membuncah, hingga tak sadar menimbulkan embun di sudut matanya. Rasanya masih mimpi, bahwa yang melafazkannya adalah sosok yang selama ini tak pernah bisa pergi dari hatinya. Rasa masih belum percaya bahwa sekarang dia telah menjadi istri dari Bian. Lelaki yang selama ini hanya dimiliki di dalam mimpinya. Tapi ini adalah ketentuan dari Sang Maha Pencipta, yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Tidak ada yang tahu, entah siapa jodoh yang disiapkan untuk kita. Tidak ada yang bisa menerka, bahwa kapan doa-doa kita terjawab dan semua keinginan terkabul dengan begitu indah.Mala masih duduk di pinggir kas
Mala kebingungan di kamar mandi, pasalnya tadi dia hanya membawa handuk, sama sekali tak membawa pakaian ganti barang selembar pun. Sekarang, saat dia selesai mandi, dan hanya handuk yang menutupi tubuhnya, dia mulai bingung bagaimana cara mengambil pakaiannya."Mala, aman kan?" Terdengar suara Bian bersamaan dengan ketukan di pintu."I...Iya Bi. Aman." jawab Mala setengah berteriak."Ada apa, Mala? Kenapa suaramu berbeda?" tanya Bian lagi."Anu...aku...aku..."Mala tak tahu harus mengatakan apa.Merasa ada yang tak beres, Bian langsung mendorong pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Dan pemandangan selanjutnya membuat Bian terpaku ditempat dengan nafas seakan tercekat di tenggorokan."Bian.....!" teriak Mala sambil menutupi tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Wajahnya memerah. Bisa-bisanya lupa mengunci pintu, hingga Bian harus melihatnya dalam kondisi seperti ini.Bian yang tersadar segera berbalik dan berusaha menetralkan detak jantung yang memburu. Pemandangan yang dilihat bar
Mala menatap tak berkedip Bian yang sedang fokus menyetir mobil. Tak sungkan-sungkan lagi ia menunjukkan rasa kagum dan cinta yang menggila pada sosok itu. Dan lihatlah sekarang, ia tak henti-hentinya memandangi suaminya yang sedang fokus disampingnya.Setelah melaksanakan akad nikah hari Jum'at sore kemaren, maka sekarang hari Minggu pagi mereka memutuskan untuk kembali kekota B. Tempat Mala bekerja. Selama mempersiapkan resepsi pernikahan dikampung mereka memutuskan untuk tetap masuk kantor masing-masing. Walau sebenarnya tujuan Mala hanya untuk menyelesaikan tugasnya sekalian memberikan surat pengunduran diri, tetapi tetap saja ia merasa takut masuk kantor karena trauma setiap mengingat nama Raditya. Berkat dukungan dari Bian Mala membulatkan tekad untuk menghadapi semua dengan berani.Bian yang sedang menyetir tersenyum lebar lalu dengan gemas mengacak puncak kepala istrinya."Ternyata memandangi orang tampan itu sungguh menyenangkan ya?" godanya sambil menoleh sekilas lalu kembal
Mobil berwarna putih itu memasuki pekarangan rumah minimalis yang dihalamannya dipenuhi aneka ragam bunga. Didepannya juga ada sebatang pohon mangga yang saat ini sedang berbuah lebat. Dekat pohon itu tampak ada sepasang manusia setengah baya yang sedang duduk berdua, menikmati teh dari gelas masing-masing.Bian menoleh ke istrinya yang juga sedang menoleh padanya. Diangkatnya dagu sebagai isyarat menanyakan sesuatu."Mereka pemilik kontrakan. Sama-sama guru disekolah dekat sini. Si bapak merupakan seorang guru matematika di SMA dan si Ibu merupakan guru matematika di SMP. Jarang sekali mereka bisa menghabiskan waktu bersama karena biasanya selepas mengajar di sekolah, bapak lebih memilih menghabiskan waktu dimushalla dekat rumah. Namun, Jika hari libur begini, mereka memang lebih suka bercengkrama di depan rumah, menikmati udara yang sejuk, menghabiskan waktu bersama." Jelas Mala.Bian mengangguk, "lihatlah! Bahkan meski diusia senja sekalipun, cinta mereka begitu indah. Mereka punya