Share

IMAM UNTUK NIRMALA
IMAM UNTUK NIRMALA
Penulis: Faziharin

1. HANYA SEBAGAI TAMENG

“Nirmala,…..”

Teriakan seorang gadis berambut panjang memenuhi ruangan kost yang dari tadi sunyi. Gadis itu berteriak memanggil teman sekamarnya yang masih saja sibuk mendengarkan program kesukaan dari frekwensi radio kesayangannya. Cewek imut berambut panjang itu menatap Nirmala dengan tatapan jengkel di depan pintu kamar kost. Wajahnya yang biasa ramah dan lembut sekarang menatap dengan garang. Tidak seperti biasanya.

Lusi, begitu akrabnya dia dipanggil. Seorang gadis yang sangat penyabar, baik hati, dan selalu bertindak dengan penuh pertimbangan yang matang. Beda banget dengan Nirmala yang kadang selalu bertindak gegabah  tanpa memikirkan dampak dari perbuatan itu. Selama enam bulan mengenalnya, tinggal di bawah atap yang sama, begitu banyak hal yang bisa dipelajari darinya.

Nirmala kembali mengingat-ingat awal pertemuannya dengan Lusi.

Beberapa bulan lalu...

Siang itu, di aula kampus, Nirmala bersama  lima orang teman dari jurusannya sudah mengambil posisi duduk di barisan shaf paling depan untuk melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Nirmala duduk di tengah-tengah. Mereka berlima berteman cukup akrab. Kemana-mana selalu bersama. Tidak hanya di dalam  perkuliahan mereka duduk berdekatan, di luar pun mereka selalu bersama.

“Mala, liat tuh, Bima masuk. ” temannya yang bernama Via berbisik di telinga Nirmala.

“Ehem" semua teman-teman jurusannya yang kebetulan duduk tidak jauh dari Mala serentak menjadi ribut saat melihat sosok yang bernama Bima itu memasuki aula dan mengambil posisi duduk di shaf paling belakang. Persis di depan Nirmala.

“Mulai lagi deh, ” gerutu Nirmala dengan kesal dan rasa malu.

“Cek dulu lah denyut jantungnya. Mana tau sekarang dah copot tuh. Pujaan hati kan berada di depan mata.” Lagi-lagi Via menggoda Nirmala.

“Kak Bima.” Nila yang posisi duduknya lurus di belakang Bima menyeru nama itu. Dan ternyata hasilnya lumayan. Dari tempat duduknya Bima menoleh kebelakang dan menatap Nila. Nila pun tersenyum jail dan mengarahkan tatapannya pada Nirmala.

Bima menoleh dan menatap tajam.

Tidak ada perasaan apa-apa saat tatapan tajam itu  menembus tatapannya. Biasa saja. Hanya saja Nirmala gemetaran karena takut dengan tatapan itu  dan menahan rasa malu yang mendera. Teman-temannya benar-benar sukses memojokkannya di depan senior yang angkuh itu. Tanpa bereaksi apa-apa, Bima kembali pada posisi awalnya. Gemetar itu  pun berangsur hilang. Hal itu benar-benar sangat memalukan. Tapi Nirmala tak bisa berbuat apa-apa.

Selama shalat berjamaah, konsentrasinya buyar, sehingga tidak bisa menunaikan shalat dengan khusyuk. Pikirannya selalu tertuju pada kejadian barusan. Teman-teman itu sudah sangat keterlaluan. Tidakkah cukup mereka membuatnya malu di depan cowok itu dengan apa yang selama ini sudah mereka lakukan? Tiap pagi, saat Bima muncul di kampus, dan berjalan menuju ruangan perkuliahan dan harus melewati kelas Nirmala mereka semua akan berteriak histeris.

Benar-benar memalukan.

Tanpa terasa air mata Nirmala mengalir saat membaca doa seusai shalat. Rasanya berat banget. Rasa malu itu benar-benar menyesak dada. Dan sayangnya tidak ada yang memahami hatinya. Para sahabatnya mengira bahwa yang mereka lakukan itu adalah hal yang benar dengan menjadi mak comblang bagi Nirmala. Tapi bagi Nirmala hal itu sungguh memalukan.

"Mala, kok nangis? Sakit?” Via menghampiri dengan raut muka cemas.

“Enggak, aku nggak sakit. Aku baik-baik aja. Kangen sama kampung, makanya nangis.” Jawabnya asal.

“Syukurlah kalo Kamu nggak kenapa-napa. Kita tunggu di kantin ya, mo beli minuman dulu.” Via tersenyum manis dan mengusap kepala Nirmala.

Nirmala mengangguk lemah, lalu berdiri dan merapikan perlengkapan shalatnya. Melepas kepergian mereka dengan senyuman simpul. Mereka sahabat-sahabat yang diberikan Allah pada Nirmala. Mengisi kesepian di kota yang masih asing baginya. Selalu menemani hari-harinya dengan canda tawa. Membuatnya merasa tak sendirian di kota tempat ia menuntut ilmu.

Usai kuliah, mereka akan menghabiskan hari-hari di kamar kost Nirmala. Sore hari setelah shalat Ashar barulah mereka meninggalkannya. Tujuannya biar Nirmala tidak kesepian di kost yang tidak ada siapa-siapa selain empunya kost.

Di lain waktu, dengan suka rela Via mengajaknya jalan-jalan ke luar. Jalan ke pasar, ke toko-toko buku, ke perpustakaan daerah, ke pusat-pusat hiburan, supermarket, dan tempat-tempat lainnya. Dengan senang hati diperkenalkannya kota itu pada Nirmala. Kota yang sewaktu usia Nirmala masih enam tahun, masih ada dalam mimpi. Kota yang rasanya tak kan pernah dipijaki. Tapi sekarang, dengan sahabat-sahabat yang dimilikinya telah mengenali setiap sudut kota ini.

Nirmala tersenyum, mengenang kisah manis bersama sahabat-sahabatnya itu. Dengan segera diselesaikan lipatan mukenanya.

“Mereka sangat baik dan perhatian, tapi sayang, kurang peka dengan perasaanku.” Nirmala berbisik  dalam hati.

Usai melipat mukena dan menaruh dalam kotaknya, Nirmala melangkah meninggalkan aula.

“Nirmala,” sebuah suara menghentikan langkahnya

Di sebelah kanannya, tepatnya di atas pentas aula, di kursi yang berjajar rapi, duduk beberapa orang seniornya. Beberapa dari mereka langsung dikenalinya sebagai teman seangkatan Bima.

Mau apa lagi mereka.

“Bima nungguin tuh di belakang aula. Temui gih sana. Jarang-jarang ada kesempatan gini lho Dek.” salah seorang dari mereka menghampiri Mala.

"Kamu pake ilmu apa sih hingga bisa menggoda Bima. Aku heran deh, aku saja yang sudah dari awal bertemu mendekatinya tidak bisa, tidak ada tanggapan sama sekali dari dia." wanita itu berbicara sambil menarik ujung jilbab Nimala.

"Kakak salah. Aku tidak pernah menggodanya. Itu hanya candaan teman-teman saja."

"Candaan katamu? Bisa-bisanya kamu berkata itu candaan. Satu fakultas kita ini hampir tau kalau Bima yang dipuja banyak wanita itu ada hubungan denganmu. Tidak mungkin Bima akan menerimamu begitu saja, kalau kamu tidak menggodanya."

"Iya nih. Mana sok alim lagi dengan jilbab ini, eh tau-taunya lebih mahir menggodanya." seorang mahasiswi lagi muncul dan berdiri berkacak pinggang di depan Mala.

"Terserah Kakak."

Tanpa mempedulikan dua wanita itu, Mala segera berlalu dan melangkah keluar aula dengan perasaan kesal luar biasa.Lagi-lagi Bima.

Karena terlalu buru-buru dan sibuk dengan kekesalannya, Mala sama sekali tidak menyadari seseorang yang memanggil-manggilnya. Dia cuek.  Dipikirnya, itu pasti soal Bima lagi.

Tapi kemudian suara itu makin dekat.

“Nirmala, tunggu! ”

Mala pun berhenti.

“Nirmala?”

Pemilik suara itu berdiri di depannya. Seorang gadis seumurannya. Kecil, kurus, dan pendek. Wajahnya bulat. Tatapan matanya begitu hangat pada Mala. Dengan pasti dan mata berbinar-binar bahagia diulurkan tangannya. 

“Kenalkan, namaku Lusi, dari jurusan Ekonomi Pembangunan”

Dengan enggan Nirmala menerima uluran tangan itu. Dan, sepertinya Mala tak perlu memperkenalkan diri. Toh dia sudah mengenalinya.

“Ada apa ya? Maaf banget tadi aku tidak mengubris panggilanmu.”

“Tidak masalah Mala.” Lusi mengamati Mala sesaat. “ Mala di sini kost kan? Kalo Mala nggak keberatan, bolehkah aku bergabung satu kost denganmu? Tempat tinggalku lumayan jauh juga, sama sepertimu. Di sini aku juga merantau. Apa kamu keberatan?”

Rasanya Mala tidak percaya mendengar permintaan gadis kecil di depannya itu. Baru tadi Nirmala meminta pada Allah, untuk memberikan seorang sahabat yang bisa mendengar keluh kesahnya. Sekarang, gadis ini berdiri penuh harap di depannya. Apa ini jawaban dari Allah? Mala tersenyum dan menggenggam tangan Lusi erat.

“Dengan senang hati Lusi. Aku akan menunggu kedatanganmu.”

***

“Nirmala!” Lagi-lagi teriakan Lusi membuyarkan lamunannya.

Mala bangkit dari tempat tidurnya, mematikan radio, dan menghampiri Lusi. Mala tersenyum manis dan menatapnya lembut.

“Ada apa Lusi sayang? Kamu tuh bikin aku takut dan bergidik ngeri. Kalo melotot kayak gini, kamu tuh keliatan jelek banget tau” Mala menghampiri Lusi dan memeluk gadis itu.

"Lusi, makasi ya, karena kamu sudah menjadi sahabat sekaligus kakak bagiku. Aku banyak belajar dari kamu."

Lusi hanya bengong dengan ulah sahabatnya sore itu, entah ada apa. Kenapa dia jadi ikut-ikutkan melow.

"Kalau kamu ingin berterimakasih sama aku, harusnya kamu bantu aku menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Aku benar-benar pusing dengan mata kuliah itu. Kalau dulu aku kuliahnya di tata boga mungkin tidak akan sulit begini." Lusi menghempaskan tubuhnya di kasur.

Nirmala tersenyum manis. 

“Jadi, apa yang membuatmu berteriak dan berdiri di pintu seperti orang yang siap melumatku? Aku  kira tadi ada apa gitu? Aku  berpikir mungkin ku melakukan kesalahan lagi." Nirmala kembali duduk. 

"Apa aku berbuat salah? Apa Aku telah menyakiti hatimu tanpa kusadari? Apa Aku membuatmu jengkel lagi? Aku kan sudah nyapu kamar, dah bersihin kamar mandi, dah nyuci piring kotor, dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan tugasku hari ini. Apa masih ada yang kurang?”

“Aku sengaja aja berteriak dan belagak marah untuk menarik perhatianmu. Sejak di kampus  tadi kamu kelihatan murung dan banyak diam. Nyampe kos langsung tidur dan nggak mau makan. Aku  takut kamu sampe  nekad Mala,”

“Nekad? Nekad apaan? Emang ada apa?” Mala menatap Lusi kebingungan, dan sekarang wajah di depannya itu yang kebingungan.

“Lusi? Gimana kondisi Mala?”

Rena, salah seorang  warga kost yang bersebelahan kamar dengan mereka muncul dengan nafas terengah-engah. Rena menatap Nirmala dengan penuh simpati. Lalu mendekat dan duduk di sebelah Mala.

"Mala, aku turut bersedih untuk kesedihan yang sekarang kamu alami. Walaupun aku tidak pernah berpacaran dan jatuh cinta, tapi aku bisa merasakan bagaimana hancurnya hatimu dengan pengkhianatan ini."

Mala menatap Rena bingung.

Lusi mendekat dan memeluk Mala dengan penuh kasih sayang. Rena pun ikut merangkulnya  sambil mengusap-usap rambut panjangnya. Nirmala semakin kebingungan.

“Kami  tahu, kamu berusaha tegar di depan kita semua. Kamu tegar walau seluruh dunia sekarang turut bersedih untukmu. Kamu tegar, walau Bima mengkhinatimu. Kamu tegar walau hatimu sekarang hancur banget. Kamu,….” Ucapan Lusi terhenti karena tiba-tiba Nirmala tertawa lirih. Lusi dan Rena menatapnya heran.

“Jadi ini soal Bima lagi?” Nirmala menatap Lusi dan Rena bergantian.

“Kalian kenapa sih? Emang kenapa dengan Bima?"Nirmala menarik nafas berat.

“Emang kamu nggak kenapa-kenapa sekarang Mala? Kamu tahu kan Bima sedang menjalin hubungan dengan anak jurusan lain dibelakangmu?. Mereka udah jadian. Kamu,…. Kamu nggak sedih?”

“Bersedih untuk apa?”

“Karena kamu mencintainya. Sudah sekian lama kamu mencintainya. Aku kira selama ini Bima juga menyukaimu, karena setiap kali kulihat teman-teman dari jurusanmu menyorakinya, dia seakan menikmati juga. Ternyata, ini yang dilakukannya. Harusnya Bima membuka matanya untuk melihat keberadaanmu.” Lusi menatap Mala dengan iba.

 "Apa sih kelebihan gadis itu? Dia nggak cantik-cantik amat." Rena diam menunggu reaksi Mala.

"Lusi, Rena, sudah! Berhenti menebak-nebak segala sesuatu dari sudut pandang kalian saja. Kadang tidak semua yang kalian lihat dari sudut pandang itu benar adanya. Dan aku, sama sekali tidak mencintainya. Tidak pernah terbersit sedikitpun rasa suka pada si Bima itu. Semua cerita itu dan rasa suka itu hanya tercipta melalui cerita-cerita yang entah darimana sumbernya."

Tanpa terasa mata Mala berkaca-kaca. Emosinya tiba-tiba tersulut.

“Apa kalian pernah peduli dengan perasaanku? Kalian hanya bisa memojokkanku.” Kali ini air matanya benar-benar jatuh. Diraihnya guling dan membenamkan wajah disana. Rasa sakit itu muncul lagi. Rasa malu yang selama ini menjadi beban itu muncul lagi.

Rena memegang bahu  yang naik turun itu . Sedangkan Mala masih terisak dan membenamkan wajahnya diguling. Secara samar muncul kenangan pertama kali Mala bertemu Bima.

Bima, salah seorang senior di jurusan Akuntansi. Sosok lelaki yang membuat para mahasiwi diam-diam mengagumi semua yang ada pada sosok yang sangat sempurna itu. Wajah tampan dan tubuh atletis menjadi daya pikat utamanya. Sikap yang cuek dan angkuh membuat para wanita semakin tergila-gila untuk menarik perhatiannya.  Tapi tidak bagi Nirmala. Baginya Bima itu biasa-biasa saja. Tak ada istimewanya. Tidak ada menariknya. Karena baginya yang menarik itu hanyalah Bian. Teman sedari kecil hingga mereka menyelesaikan SMA selalu bersama dengannya.

Dan siang itu, Nirmala sedang berlari di koridor kampus menuju ruangan tata usaha. Ada surat untuknya. Surat dari Ibundanya tercinta di kampung halaman.  Dengan semangat empat lima dia berlari sekencang-kencangnya, dan,……

BRUKKKK...

“Punya mata nggak sih?”

Seorang cowok menatapnya tajam. Matanya menusuk kedua bola mata Nirmala dengan garang. Wajahnya memerah menahan emosi.

Menerima tatapan itu spontan Mala jadi gemetaran. Tatapan itu membuat keringat dingin membasahi tengkuknya. Di kota asing ini dia tak ingin punya musuh, tapi sekarang cowok ini telah menjadi musuh pertamanya. Dengan kepala terntunduk diperhatikannya satu persatu buku yang berserakan di lantai. Inilah kesalahannya. Dia telah menabrak lelaki itu dan  menyebabkan buku-buku itu berjatuhan dari pangkuannya.

“Maaf Kak, Aku akan kumpulin buku-buku ini.”

”Emang seharusnya kamu kumpulin tuh buku, lalu bawa sana keruang dosen.”

Tanpa banyak bicara, ia segera memungut buku-buku dan mengikuti langkah cowok itu menuju ruangan dosen. Saat berjalan dibelakangnya dalam jarak yang begitu dekat, tampak puluhan pasang mata yang memandangnya dengan tatapan iri. Ah, kalau tidak ingat pesan ayah dan Ibu, mungkin sudah dilemparkan buku-buku itu kewajah angkuh itu. Enak saja dia menghukumnya. Inikan bukan suasana  orientasi lagi. Tapi karena pesan kedua orang tuanya,  ia rela merendahkan harga diri dihadapan cowok itu. Dia santai dan cuek menerima tatapan-tatapan yang membuatnya risih.

”Hati-hati hidup di negeri orang Nak! Jaga sikap. Tidak apa-apa kita banyak mengalah. Mengalah itu bukan berarti kita takut, tapi karena kita berusaha untuk sabar. Jangan mencari musuh dimana pun kamu berada. Apalagi sebagai wanita, harus bisa menjaga sikap dan tingkah laku. Jangan sampai terlontar kata-kata kasar dari mulutmu. Jangan sampai kelepasan dalam bicara. Pikir dulu baik dan buruknya dari segala tindakanmu, Nak.” Potongan nasehat ayahnya terlintas di pikirannya. Menjelang keberangkatannya untuk kuliah, setiap kali ada kesempatan ayah dan ibu selalu memberi pesan-pesan yang menjadi mutiara dalam kehidupannya.

“Sini bukunya!” Cowok itu meraih buku di pangkuan Mala dengan kasar saat  mereka sudah berada di depan ruangan. Dengan tenang diserahkannya buku-buku itu dan tanpa pamit segera kembali menuju ruangan kuliahnya.

Hatinya bahagia tak terkira mendapat surat dari kedua orang tuanya. Walaupun zaman ini orang-orang sudah memiliki telpon dan handphone, namun karena keluarganya merupakan orang yang kurang berada, hingga mereka tidak mampu memiliki itu. Dengan senyum bahagia yang mengambang di wajah, dilipatnya kembali surat itu rapi-rapi dan disimpan ke dalam tas. Nirmala benar-benar bahagia.

"Duh, bahagia banget kayaknya bisa jalen bareng cowok paling keren di jurusan kita. Gimana bisa sih, kamu jalan bareng Kak Bima?" Via muncul dengan senyuman usil.

Bima?????

Ingatannya kembali pada peristiwa barusan. Dan dengan lancar, tanpa ada titik koma, Mala pun bercerita dengan menggebu-gebu kepada Via.

“Tatapannya itu, tajam banget. Aku  jadi gemetaran dan rasanya jantungku mau copot.”

“Ehem, itu namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.” Via berdiri dan memandang Mala dengan tatapan berbinar-binar. “Oh, dunia,  Nirmala jatuh cinta pada Bima.”

Beberapa orang teman sekelasnya yang mendengar keusilan via tersenyum nakal pada Mala, membuatnya melongo kaget.  Dan, sebelum ia sempat mengklarifikasi dugaan Via, cewek itu sudah melangkah ke luar kelas.

Semuanya berawal dari sana.

Setelah itu, gosip pun menyebar dengan sangat cepat. Hanya dalam waktu kurang dari satu minggu, hampir semua mahasiswa jurusan Akuntansi mengetahui gosip itu. NIRMALA MENCINTAI BIMA. Dan semenjak saat itu pula, Nirmala menjadi objek tatapan iri dari mahasiswi lain yang lagi mengincar Bima. Semenjak hari itu, tanpa ampun teman-temannya pun berusaha mencomblangkannya  dengan cowok itu.

Hal itu pun terus berlangsung sampai Nirmala duduk ditahun kedua. Tidak hanya dikalangan mahasiswa, tapi ada beberapa orang  dosen  yang juga mengetahui gosip ini. Tiada hari yang dilewati dikampus, tanpa nama Bima. Bahkan sampai detik ini, nama itu masih menjadi objek utama dalam kesehariannya dikampus. Sampai saat ini, saat Nirmala menangis tersedu-sedu di gulingnya.

“Mala, udahlah, jangan nangis lagi!” Lusi berusaha membujuknya. Sepertinya dia merasa bersalah banget karena udah bikin gadis cantik itu menangis.

Nirmala bangkit dan menghapus air matanya.

“Aku tidak mencintai Bima. Tidak ada ada perasaan apa-apa di hatiku untuknya. Bahkan aku tidak pernah terpikir sedikit pun, untuk sekedar menyukainya. Apalagi sampai mencintainya. Semua ini terjadi, karena tidak satu pun diantara kalian yang mau mendengarku.”

“Tidak menyukainya? Apa kamu serius? Kenapa Kamu nggak ngomong? Kenapa kamu biarkan orang-orang mengira kamu betul-betul jatuh cinta pada pesona Bima. Kenapa Kamu diam saja saat kamu dipermalukan tiap kali berhadapan dengannya?”

“Sudah Kukatakan. Tidak satu pun yang mendengarku. Tidak satu pun yang tahu bagaimana perasaanku. Kalian tidak tau, bagaimana malunya aku saat bertemu dengan Bima itu dia menatapku dengan tatapan mengejek? Kadang tak jarang aku bertemu para penggemarnya, lalu aku dibulli. Tapi karena aku tidak merasa menyukai orang yang sedang mereka perebutkan, makanya aku bisa santai."

"Mulai hari ini, berhentilah membahas Bima. Ok!” Mala tersenyum. Sisa tangis tadi udah hilang dari hati dan wajahnhya.

“Biarkan dia tenang dan bahagia bersama Fani. Kan nggak mungkin juga mereka harus backstreet selamanya. Dunia juga berhak tahu soal mereka.”

“Backstreet? Maksudnya?"Rena menatap Mala kebingungan.

“Jujur ya, Aku sudah tahu lama soal mereka. Tanpa sengaja aku pernah memergoki mereka sedang bermesraan di perpustakaan. Dan sejak itu Aku tahu mengenai hubungan mereka. Tapi sayangnya, mereka nggak cukup berani untuk terang-terangan.

Mungkin Bima tidak tega melihat Fani yang tentunya akan banyak dibulli oleh penggemarnya sehingga dia merasa aman dengan gosip yang mengorbankan namaku. Setidaknya, aku bisa menjadi tameng bagi kekasihnya. Buktinya, mereka yang menjalin hubungan dengan aman dan tenang, aku yang tidak nyaman karena gosip disana-sini tentang aku."

Lusi dan Rena terdiam.

“Makasih ya Lusi, Rena, kalian begitu mencemaskanku. Sekali lagi makasi banget. Aku bahagia punya sahabat seperti kalian. Tapi Ku mohon, mulai hari ini, nggak ada lagi cerita soal Bima. Masih banyak hal lain yang lebih penting dari sekedar membahas soal Bima."

Mereka berpelukan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status