Share

2. LELAKI NARSIS

Hari ini Mala pulang kuliah agak sore, berhubung tadi ada rapat pembentukan pengurus Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Akuntansi. Langkahnya gontai memasuki gang menuju kost. Rasa kesal masih memenuhi pikirannya, pasalnya tadi sesudah rapat selesai, pembina HIMA memintanya mengantarkan buku ke sekretariat, dan lagi, dia harus bertemu Bima di sana. Entah apa yang sedang dilakukan cowok itu di sana, yang jelas pertemuan itu telah merusak suasana hatinya.

Selama ini setiap kali bertemu, Bima memang tidak pernah ramah padanya. Menurut Mala, cowok itu selalu berlagak sok jual mahal sok kegantengan, padahal jelas-jelas Mala sama sekali tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Mungkin karena mendengar gosip yang selalu beredar, makanya Bima mengira bahwa Mala benar-benar menyukainya.

"Ngapain juga cowok songong itu ada di sekretariat. Bikin sebal saja. Udah disapa baik-baik malah dipelototin. Sok kegantengan, emang dikiranya aku naksir apa sama dia." gadis itu terus mengomel sepanjang jalan. "Mmmm...aku tahu, pasti dia menungg Fani di sana. Kebetulan Fani juga pengurus HIMA dan tadi ikut rapat bareng Mala. Kok aku nggak kepikiran tadi ya? Dasar..."

Langkahnya terhenti saat tiba di depan pagar, di sana ada seorang cowok sepertinya juga anak kuliahan hendak membuka pagar dan...

"Stop!" Mala mendekat dan menatap Lelaki di depannya garang. Tampan. Satu kata yang terlintas dalam pikirannya saat lelaki itu menoleh dan menatapnya. Kulitnya putih, tinggi, tidak kurus juga tidak terlalu gendut. Lelaki itu balas menatap Mala dengan santai.

"Maaf, ada perlu apa ya? Lelaki yang tidak punya ikatan keluarga dengan warga kost di sini dilarang masuk. Jadi kalau Anda ada keperluan dengan salah satu warga kost di sini Anda bisa ketemuan di luar pagar ini saja. Ok!"

Lelaki itu masih diam dan terus menatap Mala. Cukup lama.

"Hello...! Anda mendengar saya tidak?"

Tersenyum. Lalu menoleh ke halaman kost, selanjutnya lelaki itu kembali menatap Mala.

"Kamu kost di sini?" pertanyaan itu meluncur dari mulut lelaki di depannya. Suaranya lembut.

"Iya. Aku kost di sini. Apakah ada yang bisa saya bantu. Anda sebutkan saja namanya, akan saya panggilkan." ucap Mala sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Alif" balas lelaki itu. Mala menaikkan alisnya. Bingung.

"Maaf. Tidak ada yang bernama Alif di sini."

"Namaku Alif." diulurkan tangannya pada Mala. "Siapa namamu?"

"Aku?" Mala menunjuk dirinya setengah tak percaya.

Alif mengangguk.

"Untuk apa kamu menanyakan namaku? Tidak penting kan? Kita tidak saling mengenal juga."

"Karena kita tidak saling mengenal makanya ayo kita berkenalan." Lelaki yang bernama Alif itu menatap Mala lekat-lekat. "Jadi, aku boleh tahu siapa namamu kan?"

"Namaku Mala." Mala menjawab tanpa menerima uluran tangan lelaki di depannya itu

"Jadi, ada keperluan apa kamu kemari? Siapa yang kamu cari?"

Alif mengangkat bahunya. "Tidak jadi. Sepertinya aku salah alamat. Aku pamit dulu ya, Mala." sambil tersenyum Alif melangkah meninggalkan Nirmala. Terdengar lirih senandung kecil dari bibirnya mengiring langkah lebar meninggalkan pekarangan kost. Nirmala hanya geleng-geleng kepala.

"Orang aneh." Mala segera membuka pagar dan menutupnya kembali setelah Alif beranjak pergi. Selanjutnya, ia segera melangkah ke arah pintu kecil untuk memasuki tempat kostnya, disamping teras rumah pemilik kost. Iya, Untuk menghubungkan kamar kostnya dengan halaman rumah, ada sebuah pintu kecil yang terletak diantara teras rumah dan bagasi. Jadi, letak kost itu benar-benar aman untuk mereka para warga kost.

Mala langsung mandi dan berganti pakaian. setelah menunaikan shalat Ashar, dia menaiki tempat tidur dan berencana merehatkan tubuhnya sejenak. Lusi tidak ada di kamar. Mungkin dia sedang bertandang ke kamar sebelah.

Saat matanya hampir tertutup, terdengar pintu dibuka dan Lusi masuk sambil tertawa. Dibelakangnya Rena juga ikut tertawa.

"Ayolah Lusi! Kita keluar. Kita pura-pura ke minimarket aja. Aku penasaran banget sama cowok ganteng itu." sejenak Rena diam, "Eh, ada Mala. Sudah pulang kamu. Capek banget pasti ya?"

Mala tersenyum dan melanjutkan acara  berbaringnya "Ada apa sih, Na? Ribut banget."

"Itu lho, tadi kata adek-adek kost yang disebelah kamarku waktu dia mau masuk ada cowok ganteng sedang ngobrol sama bapak kost  di depan. Ganteng banget katanya."

Mala hanya diam, lalu merubah posisinya jadi telungkup. Dikiranya apa, ribut-ribut.

"Ya, udah sana. Kalian pergi gih. Aku capek banget." Mala menanggapi tanpa minat.

Melihat reaksi Mala yang sama sekali tidak tertarik, Rena dan Lusi melangkah keluar kamar dan kembali menutup pintu dengan pelan. Mereka maklum, kegiatan Mala yang lebih padat daripada mereka pasti membuat gadis itu keletihan.

Setelah merasa tidak ada gangguan lagi, Mala tersenyum dan kembali memejamkan matanya. Tubuhnya benar-benar letih. Baru saja mata itu akan tertutup, sebuah suara mengagetkannya.

"Nirmala..."

Itu suara nenek kost mereka. Nenek kost yang sudah berusia hampir 80 tahun itu, masih kelihatan kuat di umurnya sekarang. Dibanding warga kost yang lain, beliau lebih menyayangi Mala, mungkin karena Mala adalah penghuni kost yang lebih dulu dibanding yang lain. Setiap hari ada saja alasannya memanggil Mala. Seperti sore ini, entah apa alasannya memanggil gadis itu. Dan lagi, terpaksa Mala bangkit dari tempat tidurnya, mengusir keinginannya untuk tidur.

Mala membuka pintu kamar, diseberang kamarnya, di balik jendela tampak wanita tua itu berdiri sambil tersenyum padanya.

"Kesinilah Nak. Nenek ada sesuatu untukmu."

Mala menghampiri jendela dan berdiri di depan teralis yang memisahkan mereka. Lalu si nenek mengeluarkan sebuah bungkusan dan memberikan padanya.

"Apa itu Nek?"

"Itu buah rambutan. Cucu nenek yang bawain." Nenek itu tersenyum manis. "Sudah lama sekali dia tidak berkunjung kemari, nenek sangat merindukannya. Nenek kira dia sudah lupa sama nenek karena kesibukan kuliahnya. Tapi hari ini dia berkunjung, dan membawa buah-buah ini. Biasanya dia datang pun hanya sebentar, lalu pergi. Tapi sekarang dia mau berlama-lama disini dan mengobrol sama bibinya di luar."

Mala mengangguk dan tersenyum mendengar cerita nenek kost-nya. Tampak sekali raut bahagia dari wajah tua itu, yang membuat Mala ikut bahagia.

"Mala. Kamu masuk kesini ya. Lewat depan aja, di teras. Kebetulan cucu nenek juga ada di sana. Ini buahnya sangat banyak, nggak bisa nenek berikan semua lewat jendela. Kamu ambil yang banyak ke dalam, biar teman-temanmu kebagian juga"

"Tunggu sebentar ya Nek."

Walaupun hatinya berat untuk keluar, Mala terpaksa menurut. Dia tidak ingin mengecewakan wanita yang sangat baik itu.

Dan disinilah Mala sekarang, berdiri ragu-ragu di balik pintu penghubung kostnya dengan teras  dan halaman. Setelah mengusir rasa ragunya, dibuka pintu itu pelan dan mengintip ke teras. Ibu Daty- pemilik Kost - sedang berbicara dengan seorang lelaki yang memakai baju kaos merah. Kening Mala berkerut melihat punggung lelaki itu, entah perasaannya saja atau apa. Baju lelaki itu sama persis dengan yang tadi dipakai Alif. Lelaki yang tadi bertemu dengannya di depan pagar.

"Mala. Ngapain berdiri di situ. Nenek tadi meminta kamu masuk. Lewat sini aja." suara Bu Daty mengagetkannya. "Nggak usah malu. Ini ponakan saya." seakan mengerti isi hati Mala, wanita paruh baya itu kembali berujar.

Akhirnya, dengan langkah pelan sambil membungkukkan badan, Mala melangkah menaiki teras. Mala  berusaha menjaga kesopanan di depan wanita yang sudah dianggap orang tuanya itu.

"Mala, kenalkan, ini ponakan saya yang paling jarang berkunjung ke sini."

Mala  menghentikan langkahnya dan menoleh pelan dengan senyuman tipis ke arah lelaki berbaju merah yang sedang mengamatinya.

"Hai, kenalkan. Aku Alif." Lelaki di depannya yang ternyata adalah Alif, tersenyum manis padanya. Sedangkan Mala, jangan ditanya bagaimana reaksinya. Rasanya  dia benar-benar ingin segera berlari masuk ke kost nya dan bersembunyi di sana.  Bukankah tadi dia melarang lelaki itu masuk. Dan orang yang dilarang itu ternyata adalah ponakan pemilik kost nya. Memalukan sekali.

"Maaf." cuma itu yang keluar tadi mulut Mala, dan dengan terpaksa menerima uluran tangan Alif untuk berkenalan.

"Kami sudah sering bertemu, Bi. Tapi karena nggak saling kenal, yah tentunya kami tidak pernah bertegur sapa. Tidak jarang kita berangkat kuliah bareng, tapi..., ya,  itu tadi. Kita belum salilng kenal." Ucap Alif yang membuat Mala melongo.

"Alif tinggal di gang utama, rumah paling ujung. Jadi wajar saja kalau kalian sering berangkat kuliah bareng. Kampus kalian juga sama, hanya beda jurusan saja. Dia ini dari dulu pengen sekali kuliah di jurusan tekhnik. Katanya ingin bisa membuat pesawat seperti bapak Habibi." tambah Bu Daty dengan wajah berseri-seri.

"Benarkah?"

Alif mengangguk dan tersenyum. "Lain kali, kalau jalan lihat-lihat keadaan sekitar! Jangan terus menunduk dan membaca buku sambil berjalan. Rugi lho, nggak tahu selama ini ada cowok ganteng yang jalan dekat kamu, tapi kamu nggak nyadar." ucap Alif lagi yang kali ini membuat Bu Daty tersenyum.

"Kalau begitu, Mala, kamu temani Alif sebentar ya. Biar Ibu ambilkan rambutannya yang mau dikasih nenek ke kalian. Rambutanya banyak sekali lo."

Apa-apaan ini. Kenapa Bu Daty malah meninggalkannya berdua dengan lelaki narsis ini. Mala melorotkan bahu pasrah. Lalu segera duduk di salah satu kursi di depan Alif.

"Mulai besok kita bisa berangkat kuliah bareng kan? Untuk semester ini aku sudah hafal jadwal kuliah kamu. Untuk Senin, Selasa dan Rabu, kamu ada kuliah pagi. Itu artinya jadwal kita sama. Untuk hari Kamis, kamu kuliah jam ketiga hingga sore, jadwal kita juga sama. Hari Jum'at kamu libur."

"What?" bagaimana Alif bisa tau jadwal kuliahnya? Bukannya mereka baru berkenalan barusan? Belum sampai satu jam malah. Tapi bagaimana lelaki itu bisa tau jadwal kuliahnya?

Mala menatap Alif dengan tatapan menyelidik. Siapa sebenarnya lelaki di depannya itu.

"Dan lagi, bersiaplah!"

"Bersiap apa?" Mala menatap malas pada Alif

"Aku akan sering-sering mengunjungimu kemari. larangan yang kamu sampaikan tadi tidak berlaku untukku."

"Kamu memang cowok aneh dan menyebalkan. Kamu pasti sengaja membawa buah itu banyak-banyak kan. Padahal tadi aku baru aja mau tidur. Dan lagi, bagaimana kamu mengetahui jadwalku? Apa selama ini kamu memata-matai aku? Kurang kerjaan banget sih."

"Bukannya kurang kerjaan, tapi jika kita mengagumi sesuatu pasti kita akan mencari tau segala sesuatu tentang hal yang kita kagumi itu. Sayangnya aku malah sampe lupa mencari tau kamu tinggal dimana. Kalau aku tahu dari dulu kamu tinggal disini, udah dari dulu aku samperin kesini. Tiap hari malah."

Mala hanya geleng-geleng kepala melihat cowok tampan didepan yang terlalu percaya diri dan blak-blakan itu.

"Ehem." Mala menolehkan kepalanya ke belakang karena dari halaman depan Lusi dan Rena muncul sambil menyorakinya.

"Mala, bukannya tadi katanya ngantuk dan pengen tidur. Kenapa sekarang ada disini. Berduaan lagi? Aduh, ini namanya pelanggaran." Rena maju kedepan dan bersandar di kursi yang diduduki Mala. "Bukannya kost kita ada larangan bagi cowok masuk melewati pagar depan ya? Ini, Mala malah pacaran, di teras lagi."

"Hei! Siapa yang pacaran?" Mala menyikut Rena keras

Sedangkan Rena tidak menghiraukan Mala, dia malah asyik memandang pada Alif yang duduk angkuh di depan mereka. "Kamu, pacar nya Mala ya?" Pertanyaan konyol Rena sukses membuat Mala ternganga, sedangkan Alif hanya bersikap santai.

"Menurutmu?"

"Siapa pun Kamu. Kalau Kamu mau pacaran sama Mala, harus ramah sama kami. Kalau jutek dan angkuh begini tidak akan kami restui." Alif mulai tertarik dengan ucapan Rena. "Selain itu, kami tidak tahu, entah bagaimana cara Kamu menyuap Pak Ferdy sehingga kalian dibolehkan pacaran di sini. Yang jelas, kami juga akan mengenakan sanksi tiap kali kalian kencan di sini."

"Oh ya. Apa sanksi nya?" tanya Alif semakin tertarik

"Tiap kali kesini, harus bawa makanan yang banyak, jadi disaat kalian kencan di sini, kami di dalam bisa tenang dengan makanan kami. Bagaimana?" Rena menantang Alif dengan dagunya.

"Oke. Itu tidak masalah. Kalian pesan saja, apa yang harus ku bawa tiap kali kesini. Apa pun itu. Asal aku bisa bertemu dengan Mala." Kini giliran Rena yang mulai tertarik dengan ucapan Alif, teman-teman lainnya yang tadi nguping dipintu pembatas pun mulai antusias mendengan negosiasi diantara dua orang itu. Sebaliknya Mala, dia memijit keningnya bingung.

"Tapi ada pengecualian." Alif kembali bersuara. "Kalau kami ketemuan di luar sanksi itu tidak berlaku kan? Karena mulai besok, aku dan Mala akan berangkat kuliah bareng."

"What...?"

Mala dan teman-temannya spontan kaget mendengar penuturan Alif.

"Bagaimana bisa?" giliran Lusi yang angkat bicara.

"Aku kuliah di kampus yang sama dengan kalian. Fakultas Tekhik, satu tahun di atas kalian. Jadi, kurasa tidak ada salahnya jika mulai besok aku berangkat kuliah bareng Mala."

Alif menoleh dan menatap Mala dengan hangat. "Mala, kamu bersediakan mulai besok kita akan berangkat kuliah bareng?"

"BERSEDIA...!!! SANGAT BERSEDIA..." Ana mewakili Mala.

Obrolan mereka terhenti saat Bu Daty keluar membawakan buah rambutan ke luar. Rena yang sebelumnya tidak tahu kalau Alif adalah keponakan Bu Daty jelas saja kaget bukan main. Begitu pula teman Mala yang lainnya. Rena mulai menatap Mala dengan tatapan menuduh, sedangkan Mala hanya angkat tangan dan menggelengkan kepala.

"Ya udah, Bu. Sepertinya tidak ada lagi kepentingan kami di sini. Kami masuk dulu." Mala segera berdiri dari duduknya dan melangkah cepat membuka pintu penghubung. Saat hendak masuk, dia sempat menoleh ke Alif yang sedang tersenyum manis padanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status