Share

4. BERTEMU BIAN

Siang itu, karena tidak ada kegiatan lain Mala memutuskan untuk langsung pulang. Tidak ada rencana apa-apa hari ini. Teman-temannya kelihatan juga tidak ada yang berinisiatif untuk  jalan-jalan kemana gitu. Lusi yang serumah dengannya pun buru-buru menyiapkan tas untuk pulang. Ngomong-ngomong tentang Lusi, Mala merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu semenjak mereka pulang lari pagi minggu lalu. Sekarang gadis itu lebih lama berdandan setiap kali pergi sekolah. Sering melamun dan kadang tersenyum sendiri. Sebenarnya Mala ingin bertanya, namun dia masih merasa belum saatnya. Dia pasti akan bertanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu, mungkin nanti malam.

Sampai di luar ruangan mereka dikejutkan dengan Alif yang sudah menunggu dekat pohon ditaman. Seperti hari-hari sebelumnya, cowok itu kelihatan tampan. Beberapa mahasiswi  tampak sengaja menggodanya. Namun, dasar Alif cowok dingin, dia cuek saja. Lusi yang melihat itu menggeleng-geleng kepala. Dia hanya tidak menyangka, bagaimana Alif yang begitu dingin dan angkuh bisa dekat dengan sahabatnya. Kata Mala, sampai sekarang mereka belum pacaran, masih berteman dekat. Teman dekat. Hanya sebatas itu. Lusi percaya saja, walaupun kenyataannya sepasang anak manusia itu seperti orang yang tengah dimabuk cinta.

Melihat kehadiran Mala, Alif tersenyum. Senyum yang mengundang iri cewek-cewek yang tadi menggodanya.

"Hai semua. Hari ini aku pinjam Mala ya." ujar Alif sambil meminta persetujuan Lusi dan yang lainnya.

"Pinjam? Emang kalian mau kemana?" balas Lusi

"Rahasia"

Tanpa menunggu persetujuan Lusi dan yang lainnya, Alif langsung menarik Mala menuju sebuah motor yang sedang diparkir di parkiran. Alif mengambil helm dan memasangkannya di kepala Mala. Mala yang masih bingung hanya diam dengan segala perlakuan Alif. Kesadarannya baru pulih saat Alif memintanya menaiki motor dan duduk di belakang Alif.

"Naik motor? Emang kita mau kemana, Lif. Apa kita..."

Ucapan Mala terhenti saat tanpa sengaja Bima  datang dan hendak mengambil motornya yang sedang diparkir, tidak jauh dari tempat Mala berdiri. Cowok itu menatapnya lama. Tidak ada Fani bersamanya. Dengan angkuh, dia berdiri beberapa langkah dari Mala dan terus menatap gadis itu tajam.

Sambil tersenyum santai, Mala menyapa Bima singkat dan segera menaiki motor itu dengan duduk menyamping di belakang Alif. Mala pikir, inilah saatnya dia menunjukkan pada dunia, bahwa Bima bukan siapa-siapa baginya. Sama seperti dia yang bukan siapa-siapa bagi cowok itu. Tidak lama kemudian, Alif segera melajukan motornya membawa Mala.

Dan disinilah mereka sekarang. Gramedia. Melihat Mala yang masih diam, Alif tersenyum dan menarik tangannya memasuki gedung itu. Sebenarnya Alif bingung juga mau mengajak Mala kemana. Ke pantai, siang-siang begini nggak mungkin, pasti sangat panas sekali. Ke mall nggak mungkin juga, karena dia tau dari Lusi kalau Mala paling nggak suka diajak jalan ke mall. Akhirnya, setelah berpikir keras, diputuskannya untuk mengajak Mala ke toko buku, karena dari informasi dari  Lusi juga, Mala pencinta buku. Sehabis itu, barulah dia akan mengajak Mala makan. Kencan sederhana.

Mereka berdiri bersisian sambil melihat-lihat buku, sambil sesekali mengulum senyum. Walau kadang masih canggung, namun mereka sudah terlihat saling bisa menerima satu sama lain. Mala mulai paham dengan Alif yang tidak banyak bicara  namun bisa cerewet saat bersamanya. Begitu pula dengan Alif, dia mulai memahami Mala yang bawaannya selalu ceria dan friendly, namun bisa menjadi sangat pendiam saat bersamanya. Mereka masih terus bercengkerama sambil melihat-lihat buku yang ada di sana.

"Nirmala...?" sebuah suara muncul di belakangnya, membuat Mala mematung di tempat. Itu adalah suara yang selama ini dirindukannya. Itu adalah suara yang selalu datang dalam mimpi-mimpi panjangnya. Setelah bisa menguasai diri, Mala berbalik kebelakang dan melihat seorang lelaki tampan yang juga sedang memegang buku menatapnya. Lelaki itu tersenyum.

"Saat bertemu kakakmu, aku kira dia bercanda mengatakan kalau Kamu kuliah di kota ini juga. Aku tidak percaya, karena setahuku kamu anak cengeng yang tidak bisa jauh dari  Ibu. Tapi ternyata kita benaran bertemu di sini."

Lelaki itu menatap Mala dengan hangat, ada gurat kerinduan yang sangat kentara di tatapan itu. Dilemparnya senyuman hangat, yang dulu selalu memporak-porandakan hati Mala.

 "Bi..., Bian." Ucap Mala terbata

Ya, lelaki itu adalah Bian. Febrian Putra. Lelaki yang selama ini selalu ada dalam pikirannya. Lebih kurang empat tahun tidak bertemu tidak banyak yang berubah. Dia masih sama, masih tampan dan ramah seperti saat terakhir mereka bertemu.

Wajah Mala mendadak memerah mengingat pertemuan terakhir mereka di sekolah dulu. Belum lagi jantungnya yang kembali bertalu-talu bertemu lelaki itu. Dia bertambah tinggi. Tubuhnya tidak kurus seperti dulu lagi. Sejenak Mala masih menatap Bian dengan kagum. Lelaki itu semakin tampan.

"Iya, akhirnya aku memutuskan melanjutkan kuliahku kesini. Ceritanya panjang. Dan jika aku bercerita pasti akan kamu olok-olok lagi." Ucap Mala sambil pura-pura cemberut.

Sekuat mungkin Mala mencoba santai di depan lelaki itu.

"Aku mengambil jurusan Akuntansi di Universitas N." hanya itu kalimat yang bisa dirangkainya.

Bian mengangguk-anggukkan kepala, dengan tatapan yang tak bisa lepas dari gadis berjilbab di depannya. "Terus ke sini sama siapa?"

"Sama Aku!" Baru saja Mala hendak menjawab, Alif tiba-tiba memotong. Alif menatap Bian tajam, seakan tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Sebaliknya, Bian balas menatap Alif dengan santai.

"Perkenalkan, aku Bian. Teman Nirmala dari kampung." Bian tersenyum melihat Alif yang masih saja menatapnya dengan tajam.

Dengan uring-uringan, Alif menerima jabatan tangan Bian. "Alif. Aku yang ngajak Mala kesini. Aku..., Aku sahabatnya Mala. Kami satu kuliahan."

Ingin rasanya Alif memukul kepala cowok yang mengaku bernama Bian itu. Berani sekali dia memandang Mala dengan tatapan seperti itu. Tadi Alif ingin mengatakan kalau dia adalah pacarnya Mala. Namun, dia takut gadis itu tidak akan menyukai tindakannya,  sehingga diurungkan niatnya. Alif menduga, pasti ada apa-apa dulu diantara mereka, kalau tidak, tidak mungkin Mala grogi dan salah tingkah seperti itu. Tak dipungkiri, ada rasa cemburu yang muncul di hati Alif, apalagi melihat tatapan Mala pada Bian yang sulit diartikan.

"Bi, Kamu kesini sendirian?" Mala mencoba mencairkan suasana.

"Bareng teman-teman kuliahan juga. Ini, sebenarnya dah mau balik  karena..." Bian menghentikan ucapannya saat dua orang wanita cantik berjilbab menghampiri mereka.

"Bian, teman-teman yang lain udah nungguin dilantai bawah. Ayo kita pulang." Ujar salah seorang dari mereka. Wajahnya lembut dan sangat cantik. Tersenyum manis pada Mala lalu memperkenal diri.

"Hai, teman Bian juga ya? Perkenalkan,  namaku Selly. Di sebelahku ini, namanya Caca. Tunangan Bian." Gadis itu kembali tersenyum manis.

Ada bogem tak kasat mata yang rasanya menghujam jantung Mala, namun gadis itu tetap bisa menguasai diri. Dengan senyum ramah, disambutnya uluran tangan Selly dan Caca. "Nirmala."

"What? Nirmala?" Wajah Caca memucat. "Nirmala ...Khairunnisa..." Ulang Caca terbata.

Caca menatap Bian seakan menanyakan sesuatu. Sedangkan orang yang ditatap hanya mampu menghela nafas.

Wanita yang bernama Caca itu lalu menfokuskan dirinya pada Mala, di tatapnya gadis itu dengan sendu.

"Sampai sekarang, walau kami sudah bertunangan, tapi Bian tidak mau menerimaku. Alasannya sungguh tidak masuk akal. Hanya karena dia tidak bisa melupakan cinta pertamanya.  Dan itu adalah kamu kan, Nirmala?" Caca berucap dengan mata berkaca-kaca.

Mendengar itu, baik Mala maupun Bian sama-sama menjadi salah tingkah. Apa yang harus harus dijawabnya atas pertanyaan Caca itu. Ditariknya nafas pelan, mengusir sesak yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Ditatapnya Caca yang masih menatapnya penuh rasa ingin tau. Disamping Caca, tampak Bian yang sedikit kurang nyaman dengan situasi ini.

 Alif, yang ada disana pun hanya mengerutkan alis. Ternyata dugaannya benar, ada hubungan lebih dari sekedar teman antara Mala dan Bian. Dan rasa cemburu itu makin terasa.

Mala bingung, tidak tau harus menjawab apa.

"Bukan dia!"

Jawaban singkat Bian sukses membuat Mala terkejut.

"Ayo, Ca! Kita balik sekarang! Satu jam lagi, kuliah sesi keempat akan segera dimulai. Kita tidak boleh terlambat sampai di kampus."

Bian melangkah bermaksud meninggalkan tempat itu. Dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Apalagi melihat Mala yang sekarang bersama seorang lelaki yang kelihatan begitu posesif.  Setahunya, Mala tidak akan pernah bepergian hanya berdua dengan lelaki mana pun selain yang benar-benar bisa dipercayanya. Dan tadi, dia melihat gadis itu bercengkerama dengan lelaki itu. Kenyataan itu membuat hati Bian terasa sakit. Walau dia sudah berusaha melupakan cintanya pada Mala, tetap saja dia tidak bisa. Bahkan empat tahun mereka tidak bertemu, rasa rindu itu masih ada.

Kadang, Bian menyalahkan dirinya sendiri yang dulu telah memfonis Mala dengan kata-kata kasar. Rasa cemburu melihat Mala bersama sahabatnya membutakan hatinya. Tanpa mau mendengarkan penjelasan, dia menjauhi gadisnya. Menghujat dengan kata-kata kasar dan menyakitkan.

Setelah peristiwa itu, Bian rasanya tidak punya muka untuk sekedar bertemu dengan Mala. Dia merasa sangat bersalah. Ingin meminta maaf tidak ada keberanian. Hal itu sangat membebaninya, sehingga satu persatu nilai sekolahnya  menurun. Puncaknya, saat kenaikan kelas, nilainya tidak bisa untuk membuatnya tetap duduk di kelas unggul. Terlempar ke kelas lain.

Hari terus berlalu, rasa bersalah itu masih ada. akhirnya dengan membulatkan tekad, di hari terakhir mereka ke sekolah, ditemuinya  gadis itu dan meminta maaf. Ternyata, Mala tidak mendendam padanya. Gadis itu memaafkannya tanpa syarat apa pun. Lega, begitulah yang dirasa Bian saat itu. Tidak kuasa membendung rasa bahagianya, Bian mencium gadis itu. Mencium keningnya. Entahlah. Mungkin Mala akan membenci nya lagi karena itu. Tapi ternyata tidak gadis itu tidak marah.

Penyesalan lain muncul, mengapa hari itu tidak diungkapkan semua perasaannya pada Mala. Bukankah selama lima tahun mengenal Nirmala, setelah kejadian itu, dia tidak melihat Mala dekat dengan lelaki lain? Apakah itu artinya Mala masih menyimpan rasa itu padanya? lagi-lagi, Bian terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya. Dia hanya takut Mala akan menolaknya setelah apa yang diperbuat pada gadis itu.

Dan sekarang, dia kembali bertemu dengan gadis itu. Dia semakin cantik. Namun, ternyata ada lelaki lain di sampingnya. Dan tatapan lelaki itu dari tadi seperti akan menelannya hidup-hidup. Lelaki itu sepertinya begitu mencintai Mala. Dan itu membuat hatinya terasa sakit. Waktu tidak pernah berpihak padanya. Apa mungkin, dia juga harus belajar membuka hatinya pada wanita lain. Apakah dia benar -benar harus mengubur cinta pertamanya itu?

Ditempatnya, Mala masih diam dan lagi-lagi tidak tahu harus mengatakan apa. Jawaban Bian barusan sudah cukup memberi sinyal padanya agar tidak terlalu percaya diri. Mungkin memang bukan dia wanita yang selama ini mengisi hati Bian. Tidak apa. Dia tidak akan berkecil hati untuk itu. Kata orang, cinta itu tidak harus berbalas. Jadi, jika dulu dia mencintai Bian, dan ternyata Bian tidak mencintainya, tidak masalah. Setidaknya dia bahagia, walau rasa itu hanya miliknya saja.

"Aku pamit. Jaga dirimu!" Sebelum benar-benar pergi, Bian masih sempat mengucapkan kata-kata yang lebih terdengar sebagai bisikan. Mala mengangguk. Menahan bulir-bulir bening yang mulai menganak sungai di matanya.

 "Sampai ketemu lagi, Bian." Balas Mala lirih.

Alif yang dari tadi sudah merasa kesal pada Bian langsung menarik Mala dan mengajak gadis itu ke tempat yang agak sepi.

"Siapa dia, Mala? Apa dia mantan pacarmu?" ALif bertanya dengan tidak sabar, suaranya sedikit meninggi.

" Siapa pun dia, aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu tau bahwa sekarang ada aku di sini. Hanya aku! Dan Aku, bukan orang yang suka berbagi. Aku tidak ingin orang yang kusuka, masih menyukai orang lain. Jadi, sebaiknya kamu lupakan saja dia! lagian, kamu lihat sendiri kan, aku lebih tampan dari dia. Lebih tinggi juga. Kalau dia berdiri di dekatku, maka pesonanya akan hilang"

Nirmala tersenyum. Walau dalam keadaan marah, masih sempat-sempat juga cowok itu memunculkan sikap narsisnya. Air mata yang tadi sudah memberontak keluar, perlahan mulai suru. Mala berhasil menguasai dirinya. Setidaknya, tidak akan ada orang lain yang tau tentang bagaimana perasaannya saat ini.

"Lupakan saja itu, Lif! Kamu dengar sendiri kan tadi, Bian  sudah memiliki tunangan. Dan kata dia lagi, aku bukan orang yang pernah disukainya. Lagian, aku juga belum pernah pacaran."  Aku Nirmala polos.

"Yes." teriak Alif dalam hati. "Sekarang, akulah cintamu Nirmala. Aku lah pacarmu. dan tak kubiarkan kamu dekat dengan lelaki lain." ucap Alif namun hanya dalam hati.

Mala melangkah dan melanjutkan melihat buku-buku itu. Berusaha untuk tidak terpengaruh oleh pertemuan barusan.

Dia mencoba menerima kenyataan, bahwa dia memang harus belajar menerima kehadiran Alif, mengubur cinta pertamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status