Share

5. PEMILIK SUARA EMAS

Tujuh Tahun Lalu...

Sudah dua hari ini Mala mengikuti kegiatan Bina Ruhani, sebuah kegiatan yang dibuat untuk membina anak-anak sekolah untuk mengisi hari libur kenaikan kelas, yang diadakan pemerintah setempat. Peserta kegiatan ini adalah seluruh siswa SMA, SMP yang sudah duduk di tingkat di tempat Mala tinggal.

Hari ini, para siswi ditugaskan untuk menyiapkan makan malam. Semua masakan itu harus kelar sebelum waktu Maghrib datang. Sehabis Maghrib rencananya akan dilanjutkan dengan rangkaian acara-acara yang lain sampai tengah malam.

Ditengah kesibukan itu, suara adzan berkumandang, menandakan waktu shalat Ashar telah tiba. Adzan berkumandang dengan sangat merdu dan membuat Mala menghentikan aktivitasnya. Suara itu adalah suara anak laki-laki, bukan suara orang dewasa. Penyeru adzan itu pasti bukan salah satu dari teman-teman sekolahnya, karena mereka tidak ada yang memiliki kemampuan untuk itu.

Tanpa pikir panjang, Mala segera melompat ke dalam tenda dan mengambil mukena. Tanpa peduli dengan teman-temannya,ia berlari sekencang-kencangnya menuju masjid yang tidak jauh dari tenda mereka. Mala ingin tahu, siapa yang adzan itu, karena ia belum pernah mendengar suara adzan sebagus itu.

"Awwww," Mala terjatuh dan tersungkur di tangga menuju masjid. lututnya terasa nyeri. Namun, gadis kecil itu tak peduli akan luka dan sakit di kakinya, dia segera bangkit dan berdiri, lalu berlari lagi. Dipercepat langkahnya. Saat sampai, tanpa terlebih dahulu berwudhu ia masuk ke dalam masjid yang masih sepi. Jemaah perempuan belum ada satu pun yang datang. Hanya ada dua orang bapak-bapak yang duduk sambil bibirnya komat-kamit menjawab seruan adzan dan muadzim yang masih remaja yang sedang adzan. Ditengah masjid yang besar itu Mala terpaku menatap lurus kearah pemilik suara merdu yang masih mengumandangkan adzan, dan tanpa disadari satu persatu jemaah pun mulai berdatangan.

Adzan pun selesai. Pemilik suara itu melangkah mundur dan berbalik arah. Dan saat melihat wajahnya, Mala tersentak. Dia adalah Bian. Peserta kegiatan pesantren yang berasal dari sekolah berbeda dengannya. Mereka baru bertemu semalam, selepas acara perlombaan cerdas cermat, dan tanpa sengaja Bian menginjak pena Mala yang terjatuh. Semalam, Bian mampu megharumkan nama sekolahnya dengan mendapatkan skor tertinggi. Anak itu sangat hebat, para dewan juri memujinya.

Bian melangkah semakin mendekat pada Mala yang masih terpaku menatapnya.

“Mala, kan?” dia menyapa lembut.

Mala mengangguk pelan tanpa mau mengalihkan tatapan dari wajahnya yang begitu tenang. Kok ada ya, anak seusianya yang bisa adzan dengan suara sebagus itu. Kakak-kakaknya saja yang sering dilatih ayah dirumah, belum bisa adzan sebagus itu.

“Sendirian? Yang lain mana? Udah berwudhu?”

Mala tersenyum dan menggeleng pelan, lalu tanpa basa basi langsung mengungkapkan rasa kagumnya. “Tadi Aku dengar suara adzan yang sangat merdu, indah, bagus, pokoknya keren banget. Aku penasaran aja. Pengen tahu siapa yang adzan. Yaa, tanpa pikir panjang kuberlari-lari kemasjid, sampe lupa berwudhu. Eh ternyata yang adzan itu kamu. Luar biasa banget. Pokoknya bagus banget."

Bian jadi salah tingkah mendengar celotehan polos itu. “Alhamdulillah, syukurlah kalo ternyata adzanku bagus. Nggak sia-sia  usahaku berlatih dan terus berlatih selama ini. Makasii ya, Mala.” Sejenak  Bian menjeda kata-katanya. “ Sekarang Kamu berwudhu gih, dah rame, ntar antrian berwudhu-nya panjang lho. Bisa-bisa telat ntar shalat berjamaahnya.”

Mala tersenyum dan mengangguk lembut. Saat melangkah keluar masjid, tampak dua orang teman satu sekolahnya sedang memperhatikannya. Ada senyuman aneh dari wajah mereka.

“Ehemmm,, kayaknya ada yang lagi jatuh cinta nih. Kegiatan ini menumbuhkan benih-benih cinta, hahay.” Ledek salah seorang teman Mala yang berenama Dito sepulang dari masjid.

“Siapa?” tanya teman Mala yang lain penasaran.

“Dengar ya! Jadi, ada orang yang berlari kencang ke masjid. Sampai jatuh malah, karena kesandung batu.” balas Dito yang tadi sempat melihatnya bertemu Bian.

 “ Kami kira tadi ada apa gitu, eh ternyata pengen ngeliat pujaan hati yang lagi adzan. Trus selesai adzan, bicara empat mata dengan salah tingkah. Apa namanya itu kalo bukan cinta. Ternyata gitu ya, kalo orang lagi jatuh cinta?” Dito melanjutkan.

"Serius?" Tanya teman yang lain.

“Seriuslah. Aku saja tadi, kaget  bukan main melihatnya berlari sekencang itu. Ku kira tadi dia dikejar setan gila gitu. Itu kaki, aku yakin pasti luka. Tapi karena cinta mengalahkan semuanya, makanya rasa sakit pun tak terasa.” Sekarang Dito semakin yang meledek.

“Itu dia Bro, bahkan dia sampe nggak nyadar udah menabrak sahabatnya yang udah lima tahun bersamanya, menuntut ilmu di atap sekolah yang sama. Aduh...” Teman yang lain yang juga bersama mereka ikut-ikutan usil padanya.

“Itu baru jatuh cinta,kan? Gimana nanti kalo udah jadian? Pasti dia nggak mau lagi menoleh kita. Nggak kenal hehehe.” Dito geleng-geleng kepala.

“Siapa sih? Siapa yang kalian maksud??”yang lain mulai mendesak.

“Aku tidak jatuh cinta!” Tiba-tiba tanpa sadar Mala protes.

“Alaah, nggak ngaku lagi.” balas Dito.

“Sungguh! Sama sekali aku tidak jatuh cinta. Apa itu cinta? Kita masih kecil, belum saatnya mengenal cinta. Cinta itu hanya untuk orang-orang dewasa. Jangan asal menuduh.” Mala mulai sewot.

“Oohh, jadi Mala yang jatuh cinta? Sama siapa?” Teman yang lain semakin kepo.

“Bian" Dito dan beberapa teman lain menjawab bersamaan.

Berawal dihari itu, tidak henti-hentinya teman-teman meledeknya. Apalagi Dito dan rombongannya. Setelah kembali  ke sekolah pun mereka masih membully Mala.

“Mala, kemaren kami nonton pertandingan sepak bola di lapangan , ketemu sama Bian. Ternyata kita satu desa loh, makin ganteng aja tuh anak. Katanya titip salam buat Mala yang manis.” di kelas, Dito menghampiri Mala dan mengedipkan mata iseng.

Dilain hari muncul teman yang lain dengan usilnya, “ Mala, tadi pagi aku ketemu sama Bian, pujaan hatimu, katanya dia kangen tuh sama cewek yang sangat memuji adzannya.”

Dilain kesempatan, teman sekelas lainnya  menggoda, “ Kangen ya sama Bian? Ntar deh, kalo ketemu dikasih tahu. Tapi yakinlah sahabatku, sesungguhnya rasa kangenmu tidak bertepuk sebelah tangan karena jauh disana dia juga sedang kangen padamu.”

Kadang saat serius dalam menghadapi pelajaran sekolah, Dito yang duduk dibelakangnya berbisik, “Bian kirim salam. Kangen.” Tanpa bosan-bosannya mereka terus menggoda Mala. Hingga di hari Sabtu pagi, Dito mendekat dan duduk di hadapannya.

“Mala, kamu pasti kangen banget ya sama Bian? Aku ngerti gimana perasaanmu. Kamu pasti menderita karena kangenmu kan, kayak dalam sinetron-sinetron gitu. Menderita banget. Pengen ketemu, tapi gimana caranya. Bingung.”

“Dito, tolonglah! Berhenti lah dengan keusilan kalian ini. Aku tidak jatuh cinta. Kita masih kecil. SD aja belum tamat udah cinta-cintaan.” Tukas nya jutek.

“Pengen ketemu dia lagi kan? Jangan bohong deh.”

“Dito!"

“Jawab yang jujur, pengen ketemu dia nggak?”

Mala kesal dengan sikap Dito yang terus mendesak. Namun tak dipungkiri, jauh di dalam hatinya, Mala begitu merindukan Bian. Dia sendiri juga tidak paham dengan perasaanya, karena memang dia masih terlalu kecil untuk memahami semua itu. Yang diketahuinya, dia ingin sekali bertemu dengan anak laki-laki itu. Ingin sekali.

Mala mengangguk perlahan.

“Nah, gitu dong. Cuma ngaku aja apa sulitnya.”

Dito tersenyum, kemudian memandangnya dengan serius. “ Mulai Minggu depan, di  kampung kita  akan diadakan kegiatan pembinaan tilawah. Pesertanya boleh siapa saja, diutamakan yang masih sekolah kayak kita ini. Laki-laki perempuan tanpa pengecualian. Kebetulan, kemaren aku bertemu Bian, dan  mendengar info ini dia sangat antusias.” Dito menghentikan ucapannya dan menatap Mala tanpa berkedip.

“Lalu ...?"

“Ya, kamu nggak ngerti juga. Kamu bisa ikut belajar disana Mala. Tempatnya juga dekat tuh sama rumahmu. Jadi disamping bisa belajar, kamu bisa sekalian ketemu sama pujaan hatimu. Gimana? Oke kan?”

Mala manggut-manggut. Walaupun pada usia itu Mala belum mengerti tentang cinta, namun rasanya hari itu Mala bahagia banget karena harapannya untuk bisa bertemu Bian lagi akan segera menjadi nyata.

Tanpa pikir panjang, setibanya di rumah, disampaikan keinginannya untuk mengikuti kegiatan itu  pada ayah dan ibunya. Jelas kedua orang tuanya menyambut gembira keinginan itu. Tak terkira bahagianya Mala. Tak sabar rasanya menunggu hari Minggu itu datang.

Dan akhirnnya setiap Mingu, Mala bisa bertemu dengan Bian. Mala juga semakin banyak tahu tentang  anak itu, yang ternyata, dia adalah bintang kelas yang tidak pernah terkalahkan, pintar dan jenius. Mala juga tahu kemahirannya membaca Al-Qur’an, iramanya yang indah dan mendayu-dayu. Suaranya yang membuat sejuk hati yang mendengarnya. Dan setiap kali belajar irama itu datang, giliran Bian membaca adalah saat-saat yang paling dinantikan Mala. Semakin kesini, Mala semakin tidak paham dengan perasaannya yang selalu menghangat tiap kali mendengar nama itu disebut.

Apakah benar dia jatuh cinta...???

Apa itu mungkin? Usianya masih terlalu kecil untuk mengerti tentang cinta. Bukankah cinta hanya untuk orang dewasa? Akhirnya, Mala berdamai dengan hatinya, mencoba menjalani semua seperti air mengalir. Dia tidak coba mencari makna lebih jauh lagi tentang makna perasaannya. Biar saja waktu yang menjawab. Suatu saat nanti.

 Perjumpaan itu tidak berlangsung lama karena dihari Minggu berikutnya Mala harus mengikuti kegiatan belajar tambahan di sekolah dalam rangka mempersiapkan ujian akhir sekolah. Waktunya mulai disibukkan dengan kegiatan belajar dan terus belajar. Pagi hari sampe sore belajar di sekolah. Malam harinya Mala belajar bersama sahabat-sahabatnya. Begitulah hari-hari terakhir sekolah. Begitu intensnya mempersiapkan diri untuk bisa memperoleh nilai yang baik di ijazah nanti.

Perpisahan itu pun tiba. Masa-masa indah SMP dan teman-temannya harus berakhir. Setelah dinyatakan lulus 100%, mereka mulai menyusun rencana melanjutkan sekolah sesuai keinginan masing-masing. Beberapa dari mereka ada yang berencana melanjutkan ke sekolah unggul, sebagian lagi masuk pesantren, sebagian lagi harus pindah ke kota lain karena ikut keluarga. Mala sendiri memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Dan siang itu, bersama seorang anak tetangganya, Mala menuju sekolah tempat ia berencana melanjutkan pendidikannya. Dia terpaksa berpisah dengan teman-teman dekatnya yang ternyata tidak ada yang melanjutkan kesekolah itu. Dengan nilai yang lumayan bagus sebenarnya dia bisa mencari sekolah unggul, tapi dia harus memilih sekolah itu. Alasannya sederhana saja, karena hanya sekolah itu yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Canggung. Itulah yang dirasakan Mala. Hari-harinya yang terbiasa bersama teman-temannya, sudah berakhir. Dia harus mulai membuka lembaran baru, menerima sahabat-sahabat baru di sekolah barunya kelak.

Bian...

Nama itu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Kemana kira-kira anak jenius itu melanjutkan sekolah. Mala mengerang frustasi. Dan seiring tertutupnya ceritanya dengan teman-teman di sekolah, mungkin dia juga harus menutup cerita tentang anak laki-laki itu. Sudah empat bulan lebih dia tidak pernah lagi bertemu anak itu.

 “Hai Mala! Apa kabar?” Seseorang menyentuh pundaknya, membuyarkan lamunannya. Mala menoleh dan terbelalak. Tubuhnya menegang.

“Bian?" serunya kemudian antara percaya dan tidak.

“Kamu melanjutkan sekolah kesini?”

“Iya. Kamu sendiri kemana?”

“Rencananya aku mau melanjutkan ke SMA Cendekia. Sekolahnya bagus. Sekolah unggulan juga." sejenak Bian diam dan mengamati wajah Mala yang tidak bersemangat mendengarnya. "Tapi, entahlah. Kita lihat nanti saja." lagi-lagi lelaki itu diam dan menatap Mala dalam-dalam.

 "Kamu yakin akan melanjutkan kesini? Aku dengar nilaimu sangat bagus, kenapa tidak melanjutkan ke sana saja?" Bian bertanya dengan mimik serius. Mala mengangguk lemas.

"Aku tidak bisa melanjutkan kesana. Keadaan orang tuaku tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah ke sekolah yang mahal. Aku dengar biaya masuk kesana sangat mahal. Ayah dan ibuku pasti tidak akan bisa." Mala menjelaskan.

Ya, Mala berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang petani dengan lima orang anak yang semuanya masih sekolah. Sebenarnya, jika Mala mengutarakan keinginan itu pada ayahnya, pasti sang ayah akan mendukung. Namun, Mala tidak tega. Melihat ayahnya yang bekerja banting tulang demi menyolahkan mereka, selalu membuat hatinya sedih. Jadi, Mala memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah yang biasa saja. Toh, dengan giat belajar, dia juga akan bisa mendapatkan ilmu yang banyak, tak peduli dimana pun ia sekolah.

Menghilangkan rasa sedih yang tiba-tiba saja muncul, Mala mencoba balik menatap Bian. "Lalu, ngapain kamu kesini, Bi?"

Bian sedikit tergagap dengan pertanyaan itu, namun cepat-cepat menjawab. "Mengurus surat pindah rayon. SMA Cendekia kan di luar rayon kita, jadi aku harus mengurusnya terlebih dahulu."

"Ya, sudah. Lanjutkan." Mala sedikit salah tingkah. "Aku pamit dulu." Tanpa menunggu lagi Mala melangkah lebar-lebar meninggalkan Bian. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba saja dia ingin menangis. Menangis untuk hal yang sama sekali tidak dimengertinya

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status