Share

Tatapan Pertama

Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan.

"Mulai!"

*

Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.

Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.

Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan kecil, tetapi lekuk tubuhnya terlihat jelas menandakan dia wanita subur yang menawan.

"KATAKAN!"

Amitha Kanyaah tersenyum simpul dan menjawab, "Apa?"

"Kamu! Apa saja yang kamu tahu tentang Departemen Rahasia 889!"

Kanyaah tersenyum lebar. Dia menatap tembok gelap di kanannya dan berkata, "Bukankah Bos Besar kalian ada di sana?"

Tiga penyidik itu tertegun. Mereka tidak tahu darimana pengetahuan itu. Bagaimana gadis ini dapat menebak dengan tepat?

"Dari mana kamu tahu?" tanya salah satu dari mereka sambil berpikir keras. Ia mengira ada salah satu dari rekannya yang berkhianat, tetapi itu tidak mungkin.

"Perkataanmu meyakinkanku," ujar Amitha Kanyaah tetap tenang.

Mudah saja baginya menebak. Semua penyidik mengagungkan Bos Besar. Para dokter yang dikirim tiap malam hanya diam, tetapi Dom pernah mengatakan tentang Bos Besar yang dia hormati. Komunikator tiga penyidik itu menyala beberapa menit lalu, tidak ada komentar. Hanya saling mengkode untuk komunikasi. Lalu, suara yang sangat lirih di sebelah kanannya, seakan sesuatu yang berat bergerak. Kaca hitam itu tak pekat, tetapi cukup membuatnya paham bahwa semua tembok di sini adalah kaca. Bukan dari batu.

Tebakannya diperbenar oleh mereka sendiri. Kanyaah ingin tertawa, tidak lagi peduli dengan rasa sakit yang ia terima. Rasanya sudah kebal. Mereka dengan bodoh menoleh ke kanan dan mempertanyakan pertanyaan Amitha Kanyaah dengan sikap tak biasa. Amitha Kanyaah bisa menebaknya dengan tepat, dia benar.

"Siram dengan air garam!" titahnya geram. Langsung saja, salah satu dari mereka ke bilik sebelah. Membawa ember berisi penuh air garam. Mereka menguyurnya ke seluruh tubuh Amitha Kanyaah.

Rasa dingin bercampur perih menjalari seluruh tubuh terutama pada luka baru hari ini, di punggung, kaki, bahu dan pipinya. Matanya sedikit lara. Penyidik itu tertawa.

Namun, hanya sekejap saja sebelum Amira kembali ke raut tangguhnya. Ia tersenyum disertai ringisan yang lebih terdengar ke arah menakutkan, bukan kesakitan. Meski perasaanya tahu, kakinya lemah, beberapa tulang sudah patah sebab tongkat bisbol di ujung ruang memukul belakang lututnya entah kesekian kalinya. Dia juga merasakan perih dari goresan pisau di sekitar pipinya. Ini menyakitkan!

Amitha menampilkan raut yang berkebalikan.

Dia lalu memandang jijik ke arah penyidik itu.

"Kamu ingin tahu?" tanyanya, lirih dengan dominasi abstrak yang cukup tegas. Mereka mendekat, sebelum sampai di bibir Amitha untuk mendengarnya berujar, Amitha meludah.

Tepat mengenai pipinya.

Merasa ditipu, penyidik itu menampar lagi wajah Amitha. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Amitha Kanyaah tertawa pongah.  Ujung lidahnya menyeka bibir berdarah. Rasa asin tidak dirasakan dengan mudah, lidahnya kehilangan fungsi lagi hari ini.

"Aku mau menjawab jika bos kalian yang kemari!"

"Beraninya kamu!"

Ting!

Kemarahan mereka terpotong dengan notifikasi pesan teks dari Jelita.

*

"Aku setuju!" ucap Cakra. Dia berdiri dan meminta Jelita memberi tahu bawahannya.

"Mereka, kalah!" lanjutnya setelah terdiam beberapa saat.

Cakrawala merasa ketiga orang anggota Qi Shaoyun seharusnya tak terpengaruh dengan emosi dan lebih fokus pada bagaimana mendapatkan informasi. Bukan kesenangan dalam menyiksa.

"Bos ingin sesuatu?"

Cakra memandang Awan sambil berpikir. "Hidupmu akhir-akhir ini cukup damai," katanya tenang dan dingin bersamaan.

Tongkat kecilnya ia pegang, jubah lumut gelap itu dipakaiakan dengan tangan Awan yang gemetar.

Dia tak takut kepada Bosnya, tetapi sindiran halusnya membuatnya merinding. Awan tahu ada hal yang tak baik yang akan menghampirinya segera.

"Kamu," ucap Cakra terhenti. Menampilkan seringaianya yang menegangkan tubuh Awan. "Kamu bisa mengurung diri dengan Qi Shaoyun di ruang latihan khusus selama seminggu!"

"Seminggu? Yang benar saja!  Aku bis-"

"Dua minggu!" putus Cakra menyela keluhan Awan.

"Sialan!" umpat Awan lirih. "Qi Shaouyun!" geramnya. Dia mengikuti Bos yang sudah berjalan di depan. Andai keluhan reflek itu tak terdengar, dia tak akan mengalami dua minggu di neraka. Pelatihan di ruang khusus? Lebih buruk dari siksaan Amitha Kanyaah selama lima belas minggu ini.

Dtang!

Amitha Kanyaah yang berdiri dengan kaki lemah mendongak. Menatap seorang pria asing yang ia yakini belum pernah datang ke ruangan ini. Topi bundar rendah dengan tongkat kecil di tangan. Tubuhnya tinggi kekar, dia berjalan tegak. Jubah yang menyerupai jas panjang hingga kelutut berwarna hijau lumut yang pekat, tua dan menggugah. Nampak cocok di badannya.

Lelaki itu melepas topinya, menampilkan wajah dengan rahang kokoh dan kulit putih sedikit langsat. Dia menatap dingin Kanyaah.

Untuk pertama kalinya di ruangan tertutup, Kanyaah membeku. Lelaki itu seperti dewa atau malaikat. Ketampanan para pria yang menyikasanya sudah sangat menawan. Namun, pria di depannya lebih daripada hanya sekedar lebih tampan. Itu tidak manusiawi.

Bagaimana mungkin dia Bos Besar yang mereka agungkan? Tidak ada celah lecet sedikit pun, tetapi dari percakapan mereka, Kanyaah tahu Bos Besar ini lebih dan lebih kejam dari mereka semua.

Amitha Kanyaah menelan air liurnya. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya.

"Menarik!" ucap Cakrawala melihat sikap antisipasi Kanyaah yang terlalu cepat. Gugup yang didera berusaha dihilangkan secepat mungkin. Sudut bibir Cakra mengembang. Dia tersenyum miring.

Cakrawala kembali berjalan. Keremangan lampu yang tepat menyala di atas kepala gadis itu membawa terang. Kanyaah dapat melihat wajah tegasnya.

'Menarik!' batinnya mendengar ucapan Cakra berulang ulang. Amira kenal suaranya. Sambil berpikir, dia melihat wajah Cakra seksama. Perlahan, otaknya bekerja. Dia mulai membayangkan wajah itu, lalu menempelkan beberapa kumis kasar dan memutihkan wajahnya. Dia mencoba menempelkan lensa di mata Cakra. Lensa berwarna biru shafir.

Awan mengamati itu, dia gadis pertama yang menatap dengan penuh penasaran dan berpikir. Gadis lainnya akan menunduk takut, atau jika bos sedang berbaik hati bersikap ramah. Mereka semua langsung mengeluarkan perasaan tergila-gila ingin membelai dan meraskan kehangatan di bahwa tubuhnya. Namun, gadis itu begitu pintar dan berbeda.

Mata Kanyaah membuka lebih lebar. Mulutnya terbuka dan dia berkata dengan terbata-bata, "Kamu, ka-mu!" Kanyaa mengerutkan kening sebelum melanjutkan, "Kamu laki-laki mesum, berandalan, dan tak tahu malu yang mendekatiku di kapal!"

"Tebakanmu benar!" katanya acuh. Dia mengangkat dagu Kanyaah dengan tongkatnya, menelisik pipi kanan dan kiri lalu berdecak tak suka. "Tapi juga salah! Kamu cukup pintar, Bagaimana aku harus memperlakukanmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status