Share

Di Kapal Pesiar

Flashback, akhir tahun kemarin.

Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.

Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.

Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.

“Kanyaah!” panggil seorang di belakang gadis itu, dia tersenyum lebar saat si gadis menoleh.

Kaki jenjangnya bergerak, ia membalikan badan molek ke arah pemanggilnya. “Ya?”

“Anginya kencang,” ujarnya sambil tersenyum. Jas hitam yang dia tenteng dibuka lebar, disampirkan ke bahu. Bau parfumenya merebak, membuat hidung mungil Kanyaah sedikit bergerak.

“Badanmu bau!”

“Wangi!”

Hanya kekehan sebagai balasan. “Sana pergi! Aku sudah lama sekali belum pulang. Tidak mau menutup mata barang sebentar saja. Lagian ... sebentar lagi sampai di dermaga!”

“Akan aku biarkan!” Dia memandang lurus di kejauhan. Beberapa gunung nampak begitu kecil. “Ini kali terakhir kamu pulang. Mungkin ... suatu hari kamu pulang tanpa nama.”

Kening Kanyaah mengerut. Tidak suka setiap kata yang diucapkan pria itu. Dia menggeleng tegas. “Aku tidak sekeren itu tampil di lapangan.” Kanyaah mengedikan bahu. “Aku akan meminta surat penempatan di Pulau Javadwipa. Bekerja di balik layar lebih mengesankan.”

Senyum getir nampak di bibir pria tampan itu, kacamata hitamnya ia buka. Memandangi Kanyaah sebagai gadis lugu tidaklah patut, tetapi, dia memang memandanya seperti itu. “Kamu belum tahu kalau pimpinan memasukanmu ke Tim Lapangan Sayap Barat.” Hanya gumaman lirih, tetapi siapa Kanyaah? Ia paham dan mendengar lirihan itu.

Kanyaah hanya pura-pura tidak tahu. Sejak empat tahun lalu memutuskan untuk menerima surat panggilan dari Akademi Nusantara di sekolahnya, ia sudah siap hilang nama. Segala konsekuensi dan study kasus dijelaskan gamlang. Kanyaah bahkan tak berani mengatakan itu pada ayahnya. Izin yang diberikan ibu sudah cukup dan menguatkan tekad. Kanyaah ingin menjadi bagian dari setiap elit integen negara.

Namun, rasanya menyakitkan saat sudah di penghujung sekolahnya. Ia masuk saat kelas dua SMA. Menjadi tahun pertama akademi dan sekarang di umurnya yang hampir ke dua puluh satu, Kanyaah akan terjun langsung ke lapangan. Meski sudah sering dalam misi percobaan, instruktur dan pemimpin tim selalu ada di belakang. Menjadi sandaran jika Kanyaah melakukan kesalahan.

Menggaruk dahinya, Kanyaah menampilkan cengiranya. Begitu lucu dan mempesona. Jika tidak ingat bahwa gadis ini tak selugu itu, Si Pria akan yakin dengan senyuman saja Kanyaah mampu menggulingkan sebuah kota.

*

Beberapa jam berselang, Kanyaah masuk ke dalam kapal. Lantai pertama terisi penuh untuk mereka kalangan menengah ke bawah. Lantai kedua untuk jamuan makan disertai lantai ketiga yang memiliki fungsi menerima kalangan atas. Ada beberapa tempat khusus. Namun, bukan tempat Kanyaah. Kanyaah tak peduli.

Malam ini kapal memiliki jadwal untuk berpesta. Itu umum untuk kapal besar yang sering berlayar di Nusantara--Negara tempat mereka tinggal. Dari pulau Indira sampai ke Javadwipa memakan waktu yang lama. Pesta menjadi sarana para kalangan bawah untuk menemukan pasangannya. Perempuan berdandan suka cita, berusaha menggoda banyaknya milyader di kapal itu, terkecuali Amitha Kanyaah.

Sedari tadi matanya menangkap gerak gerik aneh. Entah siapa, insting liar yang sudah mengakar membuat Amitha Kanyaah yakin sepenuhnya.

Di ujung ruang, balik meja dengan kopi panas di depanya. Dia seorang pengamat yang cocok untuk melihat ke seluruh ruangan.

Di balik meja prasmanan, permepuan pelayan itu adalah temannya. Amitha paham, ada dua kemungkinan. Pertama, mereka memiliki target, kedua mereka memiliki Tuan.

Siapa?

Sungguh Amitha tak sadar. Gerak geriknya itu juga diamati oleh seseorang di lantai atas. Dia tersenyum kaku dan memutuskan mendekati Amitha, berusaha mengorek informasi yang nyata.

Di situlah Amitha pertama kali bertemu dengan Cakralawa. Dia tak  tahu lelaki itu yang sebenarnya. Mata biru Shafirnya dusta. Kulit putihnya juga dusta. Topeng menutupi sebagian wajah, membuatnya lupa.

"Ini Pesta topeng!" sahutnya berkilah.

Amitha hanya mengangguk, aktingnya luar biasa. Kanyaah bahkan tak waspada, dia menari dan menari hingga mabuk.

"Kamu baru berlibur? Atau ingin Ke Javadwipa?"

Kapal ini memang berlayar dari ujung negeri Nusantara, Champa dan sampai ke ujung lainnya Jayabaya. Menampung manusia yang suka berkelana mengelilingi negerinya sendiri.

"Yah! Aku ingin berkunjung ke Javadwipa!" jawab Amitha. Tidak bohong. Dia tersenyum. Keluar dari akademi haruslah pandai menutupi basis dan informasi apa pun terkait Akademi Nusantara.

"Michaell!" seru lelaki itu.

Amitha hampir ambruk dan langsung di dekap Michael, karena pertaruhan mereka dalam adu minuman keras. Dia tersenyum lucu sebelum menjawab, "Amitha, Amitha Kanyaah. Kamu bisa memanggilku Kanyaah!"

"Kamu mabuk!"

Kanyaah mengangguk. "Tapi aku cukup waras untuk mengucapkan dengan benar namaku!" kilahnya.

Meski mabuk, dia terbiasa mengontrol diri. Dia bahkan makin waspada dengan lelaki di ujung ruang yang sedari tadi beralih mengamatinya.

Amitha memejamkan mata, ketika lelaki itu menggerayanginya. Dia tak memiliki tenaga untuk mendorong. Dia masih lemah dan belum fokus. Dia berusaha mengunpulkan energi agar lebih kuat dan tegas. Dalam keheningannya.

Si lelaki sempat menahan punggungnya, mendekapnya lebih dekat dan Amitha melotot. Dia langsung sadar ketika orang mesum yang tak tahu malu mengajaknya menari ini menyentuh tanpa kaget pistolnya. Amitha mendorong kuat, ada teman prianya di belakang yang menangkap Amitha.

"Ada apa?" tanyanya kaget melihat kegugupan Amitha Kanyaah.

"Bawa aku pergi!" ucapnya dengan lirih.

"Ya!"

Cakrawala yang menyebut dirinya Michael tersenyum bersembunyi dan berpura-pura kecewa dengan berteriak, "Tunggu!"

Kanyaah menggeleng, temannya menatap tajam Cakra dan dia mundur beberapa langkah membiarkan Amitha Kanyaah pergi.

Selain yang di ujung ruang, pelayan pengantar makanan ke prasmanan. Ada ibu-ibu sosialita yang merupakan bawahannya. Ada dua penjelajah yang sedang makan roti tak tahu malu pula. Lantas beberapa pekerja kapal yang menyelinap di bagian navigasi, mengawasi navigator tetap aman di tangan mereka.

Cakrawala memberi kode, berusaha untuk mengikuti Amitha. Sayangnya, hal itu membuat Amitha tahu bahwa hidupnya sudah tidak aman lagi.

"Ada apa Kanyaah?"

"Mereka, aku hanya belajar menyelidiki di pesta dansa. Aku menemukan beberapa orang yang sedang 'berburu' mungkin mereka mengetahui dan berusaha menangkapku."

Keningnya mengkerut. "Benarkah?"

Kanyaah mengangguk dan mendorong temannya untuk mundur. "Aku akan kembali ke kamarku, pergilah. Mendekatiku hanya akan membahayakanmu."

"Mereka sudah melihatku!"

"Tak akan dipertimbangkan jika kamu meninggalkanku, jelas mereka akan berpikir aku tak penting bagimu."

Lama terdiam saling menatap. Lalu memutuskan "Oke, aku mengawasimu dari tempatku."

Kanyaah mengangguk dan sempoyongan menuju lantai terbawah. Ia menyamar sebagai kalangan menengah yang tidak dilirik pihak mana pun. Tapi sialnya, dia masuk kandang singa!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status