Share

Ruangan Putih Paling Selatan

Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?

Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.

Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka.

"Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunjukan kepada Bos Besar ini?

Cakrawala menggeleng. "Kamu akan tahu, beberapa jaket berbulu domba dikenakan para serigala. Sedang serigala yang tak mengerti apa-apa disalahkan karenanya."

"Apa maksudmu!"

"Kamu pintar Kanyaah, kupikir kamu sudah tahu." Perkataannya terlalu acuh dan dingin wajah datarnya kembali menyeringai. "Awan!"

"Ya, Bos!" Awan yang tepat satu langkah di belakangnya menjawab dengan penuh semangat. Tatapan tajam ia layangkan kepada Kanyaah.

Cakrawala membalikan badannya, hendak pergi sembari menitahkan dengan nada datarnya. "Masukan dia ke ruang putih paling selatan!"

"Iy-Bos! Benarkah?"

Lengang. Mengerti maksud dari bosnya, Awan segera patuh tanpa bicara lagi. Kepalanya meneleng dan memberi kode agar tiga orang penyidik membawanya.

Meski bingung mendera mereka, ketiga penyidik itu tetaplah bawahan yang harus patuh tanpa bertanya. Mereka segera membuka rantai di kedua tangan Amitha Kanyaah. Kaki Kanyaah yang hanpir empat bulan berjinjit itu meluruh langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

Amitha Kanyaah terkulai, matanya menyipit tajam ke arah lelaki berjas hijau yang sudah melewati pintu. Keningnya mengerut penuh kebingungan.

"Bangun!" bentak salah satu penyidik sembari mengangkat tubuh Amitha Kanyaah, memegang bahunya kasar.

Amitha Kanyaah terpaksa bangun, kakinya yang kering dan penuh luka hari ini menginjak pualam dingin seperti es. Rasa sakit menjalar hingga kepala. Hawa dingin dan asing di sepanjang lorong membuatnya bergidik. Intuisinya cukup tajam, Amitha sudah merasa tidak nyaman. Apa itu ruangan putih?

Tak berapa lama, dia masuk ke ruangan yang ditunjuk Cakrawala. Ruangan itu lebih tertutup. Tidak ada apa pun kecuali putih dan beberapa gambar aneh. Kanyaah didorong kasar dan terjatuh ke dalam ruang. Sempit, putih, terang benderang dan  ... menyeramkan.

Mata Amitha Kanyaah melotot. Ada gambar aneh, Amitha berjalan, makin dekat dengan berbagai gambar yang ditempel di dinding makin jelas gambar itu. Semuanya gambar Amitha Kanyaah, sengaja dibuat hitam putih dengan beberapa tambahan tulisan atau bercak merah.

Semuanya tuduhan dan pojokan. 'Amitha Kanyaah pembunuh!' lalu ada pula tulisan, 'kamu bodoh! Kamu Jalang!' dan lain sejenisnya.

Gambar itu berisi foto-foto Amitha Kanyaah saat mengalami penyiksaan. Beberapa terlihat menjijikan, beberapa lainnya terlihat menakutkan, dan sisanya penuh dengan penghinaan.

Jantung Kanyaah berdegup kencang, dia menggeleng menapik semua hal yang dipertontonkan kepadanya. "Sialan! Siapa kamu sebenarnya!" teriaknya kencang. Setelah itu Amitha merangkak ke pojok ruangan, menghadap tembok dan menutup matanya. Berharap semua gambar hilang, berharap semua pikirannya usai, berharap, semua ini hanyalah mimpi yang hendak mencapai ujung.

***

"In-ini, bukankah kamu tertarik padanya, bos?" tanya Awan takut-takut. Dia mengikuti Cakra yang terus berjalan dari lorong. Tegap, memasuki lift khusus ke atas. Meski bingung, Awan tetap mengikutinya.

"Aku hanya ingin tahu garis batasnya." Jawabannya sungguh datar dan dingin. Dia tidak memiliki simpati sedikit pun. Namun, siapa Gelagar Awan? Dia jelas tahu betul itu hanya untuk pengujian.

"Tapi kenapa harus di ruangan putih? Kami jelas tidak butuh untuk menganggu mentalnya bukan?" pikir Awan dengan gelisah. Jika perempuan itu keluar nanti, apa yang akan dilakukan olehnya saat melihat Kanyaah gila?

"Aku menyuruhmu latihan dengan Qi Shaoyun!"

Awan menutup mulutnya rapat, Bos ingin pergi sendirian dan tidak perlu diantar olehnya.

Selepas lift terbuka, Cakrawala melangkah tak diikuti Awan. Saat melihat punggung Bosnya melewati koridor gelap, Awan meminta Jelita menurunkannya ke bagian paling bawah. Saat ini, meninju Shaoyun adalah hal yang paling ingin ia lakukan.

*

"Jelita!"

"Ya Bos Besar!"

Sudut bibirnya terangkat, ia berkata, "Persiapkan jet untukku."

Jelita mengangguk dan mencari seorang pilot terbaik yang ada di gedung Pasak Suram, suaranya seperti anak kecil, menganggu aktivitas pilot yang beristirahat di ruangannya. Gedung itu berisik, lalu mereka menyiapkan diri untuk segera ke lapangan.

Cakrawala dengan cepat keluar dari gedung. Jika dilihat dari atas, hanya ada lima lantai di gedung itu, tetapi, di bawahnya ada lebih banyak ruang dan lebih banyak lantai.

Berjalan cepat menuju lapangan, dia langsung tahu, seseorang dengan kemampuan piloting terbaik sudah menyiapkan jet untuknya. Cakrawala langsung naik dan pergi menuju rumah singgahnya.

Satu jam berlalu dengan cepat, Jawadwipa penuh sesak dengan gedung-gedung pencakar langit. Berbagai menara tersedia, bangunan bergaya klasik pun tersedia.

Itu dia, gedung putih dengan palang merah dan tanda tongkat dilingkari ular. Cakra turun di atap gedung. Dia berjalan cepat menuju lantai VVIP. Segera, lelaki seperempat abad itu berganti pakaian pasien, mendudukan dirinya di kursi roda dan menggunakan keterampilan medis kuno, akupuntur, untuk menekan peredaran darahnya. Kaki kanannya lumpuh total tak bisa bergerak.

Dengan kedua tangannya, dia memutar roda mendekati bagian jendela. Jalanan kota Daha penuh dengan kendaraan bermotor, beberapa bus melayang mengantarkan pulang anak-anak sekolah, beberapa lainnya dipenuhi mobil pribadi orang-orang kaya.

Cklek

"Kamu kembali?" tanya seorang perawat dengan senyuman di bibirnya. "Kemarin ibumu datang, saya mengatakan bahwa Dokter Dom sedang membawanya jalan-jalan keluar. Saat dia menyusul dan mencarimu, kamu tak ditemukan. Yah, dia lalu pulang."

"Hanya ibuku?" gumamnya pelan. Perawat itu mendekat, membuka gorden lebih lebar dan menjawab, "Ya!"

Setelah beberapa waktu diam, perawat itu berjalan menuju nakas. Mengambil Tab putih dan menyerahkannya kepada Cakra. "Saya telah mengidentifikasi beberapa orang tak dikenal yang kemari, mereka membawa dokumen palsu dan beberapa orang mempunyai dokumen ganda, Joshua yang membantuku. Emm, dua hari yang lalu mereka sudah pergi."

"Hari ini jadwalku pulang?" Cakra tidak menanggapi tutur kata perawat, tetapi ia memikirkannya dalam-dalam. Perawat itu pun mengerti dan memahami.

"Ya, jam delapan malam nanti. Kudengar beberapa saudaramu akan menjemput."

Cakra paham. Dia menyerahkan tabnya lagi, memejamkan mata perlahan dan berujar, "Rapikan wajahku."

"Baik, Bos!" ucapnya. Perempuan berambit pendek seperti dora itu segera mengerjakan apa yang diperintahkan. Nyatanya, di depan keluarganya sendiri, Cakra pun menyembunyukan wajah asli. Wajah dengan penuh bekas luka ia tunjukan bahkan kepada ibunya sendiri. Wajah sempurnanya, ia tutupi. Sudah lebih dari satu dekade lamanya.

... mengapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status