Share

Si Paling Tampan menjadi Buruk Rupa

Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?

Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!

Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.

Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.

Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebih cepat dan lebih dewasa. Kemampuannya ia sembunyikan, kesembuhannya ia sembunyikan, kepandaiannya ia sembunyikan, bahkan ia harus membuat identitas lain untuk mengurus bisnis rahasia kakeknya.

Satu persatu keluarga meninggalkannya setelah kakek meninggal.  Beberapa pamannya tak tega hingga menyembunyikan kasih sayang dan memantau diam-diam, kedekatan hanya akan mempersakit hatinya. Beberapa keluarga lainnya mulai muak dan tak tahu harus berbuat apa, menganggap Cakra beban nyata yang harus ditanggung keluarga. Saudara kandungnya yang terus berempati sering menangis diam-diam. Sedangkan ibunya, hanya dia satu-satunya orang yang selalu datang dan mencoba tegar, memotivasi Cakra untuk terus bertahan hidup. Siapa sangka Cakrawala benar-benar berhati dingin?

Dia belum menemukan monster yang dikatakan kakeknya. Bagaimana mungkin membiarkan keluarganya secara terang terlibat? Bukankah jika dia tak tahu apa pun tentang musuhnya akan sangat meenyeramkan?

Musuh di kegelapan, sedangkan kami berada dalam terang. Jelas, musuh berada di posisi yang paling menguntungkan. Itulah mengapa dirinya sanggup menahan penderitaan dan menjadi berdarah dingin!

"Kakak!" panggil salah satu sepupunya. Dia anak bungsu dari paman bungsu. Bocah itu mendorong kursi roda Cakra dengan penuh semangat. Seakan semua bebannya hilang, andai Cakra buta, ia tak akan tahu bocah itu menangis semalaman!

Dia hanya lumpuh oke! Kenapa semua keluarga berasa dia akan mati setiap saat. Bayang-bayang kematian kakenya benar-benar tak bisa hilang!

Huft

"Aku kemarin mengikuti pameran lukisan di Pajang. Salah satu lukisanku dilihat banyak orang, mereka saling menawar mirip lukisan di pelelangan. Itu hanya seukuran papan kecil, tetapi yang paling dermawan mengambilnya dengan harga dua puluh juta. Ada beberapa orang lain yang meminta pesanan, bukankah aku keren?" ujarnya panjang lebar.

Cakra tidak menarik wajah dinginnya, meski begitu, ia sebenarnya takjub dengan bocah berusia lima belas tahun itu. Dia sudah cukup keren di usiannya.

Namun, Cakra tak memperlihatkanya. Dia justru mengkritik, "Jangan lupakan prioritasmu sebagai pelajar!" ketiknya di tab dan memperlihatkan kepada sepupunya.

Meski terasa hambar, sang sepupu tahu betul. Kakanya jarang sekali mau berkomunikasi. Mengetik pun malas, dia mengetikan beberapa kata menakjupkan. Meski lebih terlihat seperti kritikan, dirinya merasa itu sebuah perhatian. Jadi tanpa marah dia menjawab, "Aku cukup pintar di kelas."

*

Malam belum larut, makan malam di rumah Cakra terasa canggung. Pamannya--adik kandung ayah Cakra--dengan istrinya duduk di seberang Cakra. Ada sepupu Cakra yang paling bungsu, Semburat Januar dan Diajeng Paramitha. Ibunya segera meletakan kursi roda di samping bangku, dilanjut meletakan napkin di depan Cakra.

Ayahnya hanya melirik dan menghela napas. Ada beberapa saudara perempuan ayahnya yang tidak tinggal bersama, ada beberapa saudara ibunya yang tidak tinggal dengan mereka pula. Rumah ini ditinggalkan kakek untuk keturunan lelakinya.

Tidak peduli dengan keadaan sekitar, Cakra tetap dingin. Dia mengambil beberapa makanan yang ia suka dan mendahului tanpa melibatkan diri dalam acara makan yang cenderung diatur oleh ayahnya.

Itu terlalu hening, hingga dia selesai dan meminta Lily--salah satu pembantu di rumahnya yang ditunjuk khusus mengurus Cakra--untuk membawanya kembali ke dalam kamar.

"Apa dia terlalu lelah hidup?" gumam sang ayah. "Mengapa malas sekali berhubungan dengan kita?"

Ibunya menggeleng, menangkan tangan sang ayah dan mencoba menghentikan gumaman itu. Didengar atau tidak, ia tak mau suaminya memikirkan hal yang tidak-tidak.

Mereka melanjutkan makan, sedangkan Cakra kembali ke kamar.

Tangannya melambai, menyuruh Lily keluar dari ruangan. Lily pergi dan menutup pintu. Menghela napasnya pelan, Cakra memutar kursi rodanya mendekati pintu, menguncinnya lalu membuka titik akupunturnya. Perlahan tapi pasti, energinya mulai kenbali. Kakinya yang kebas terasa kembali. Dia berdiri, mendorong kursi itu mendekati kasur besar di tengah ruang.

Menyalakan komunikator yang dianggap gelang biasa oleh semua keluarganya. Sosok gadis dengan pakaian ketat serba hitam yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan kaki sampai batas leher muncul. Rambutnya dikuncir kuda, berkacamata dan bibirnya tebal. Dia hanya sistem. Selain sitem khusus di markas utama bernama Jelita, sistem di depannya dinamai Anggun.

"Anggun!"

"Bos! Itu menyebalkan, kamu telah mendisfungsikan kakimu lebih dari lima jam. Jika kamu terus seperti itu, maka kaki seximu benar-benar tidak berfungsi!" terangnya kesal. Dia mendekat dan memberikan banyak informasi tentang kaki, otot kaki, tulang kaki dan lain sebagainya. Meski pintar, Cakra malas membacanya.

Entitas cerdas yang dirinya buat dengan timnya ini sedikit merepotkan. Tidak seperti Jelita yang sangat menurut, Anggun cenderung emosional.

"Berikan informasi perkembangan perusahaan, Mr X dan markas utama juga hubungi Awan. Periksa berkala tahanan ruang putih paling selatan."

"Huft! Baik Bos!" jawabnya sedikit enggan. Pekerjannya sangat cepat, Cakra hanya mengecek sekilas sebelum dia mematikan lampu dan tidur. Berpura-pura tidak berguna dan terus mempermalukan keluarga di khalayak umum sedikit melelahkan baginya.

Di sisi lain, bagian utara kehidupan Cakra. Malam mencengkam di luar gedung tak sebanding dengan di dalamnya. Jauh di bawah julangan tinggi gedung itu, ada lantai-lantai bawah tanah. Di paling selatannya, lantai terbawah. Kegelapan lorong tak sebanding dengan terangnya ruangan Amitha Kanyaah. Dia sudah  memejamkan matanya berkali-kali, tetapi tetap tidak menghilangkan kegelisahannya. Suara-suara seakan muncul dari tulisan merah di poster kelabu berisi gambar dirinya sendiri. Beberapa kobaran api mengingatkannya akan pembantaian keluarga. Dia sudah berada di sana lebih dari lima jam dan kegelisahannya tidak mereda justru kehilangan kontrol.

Tubuh ringkihnya tidak mendapatkan nutrisi menyakitkan dari dokter serba putih yang biasanya berkunjung setiap malam. Dia jiga tidak mendapatkan makanan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Waktu berjalan sangaaat lambaaat. Amitha Kanyaah merasa sudah berbulan-bulan duduk di sana. Dia menekuk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Sesekali menggeleng, sesekali menggeliat mengubah posisi mencari kenyamanan. Tidak ada satu pun lubang yang bisa dia lihat.

"Sialan! Sialan!" umpatnya berkali-kali.Aku bukan bajingan!"

Lalu memaksa diri untuk kuat, Amitha Kanyaah menegakan badan. Kedua kakinya ia peluk, dirinya sangat sombong dan keras kepala, menantang semua hal di ruangan itu. Ia memandang lurus ke gambar-gambar yang mengelilingi dinding ruangan.

"Saya tidak takut padamu Michael!" katanya tegas. Meski tak tahu nama aslinya, ia mengingat nama palsu yang dikenakalan bos di pesta kapal pesiar.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status