Share

Hampir Menyerah

Bug bug bug

Dak

"Sttt!"

"Huh!"

Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal.

Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin!

Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula wasit dan penonton! Sungguh, menyenangkan(?)

"Shaoyun, apa kamu ingin aku mati?" keluh Awan sembari meninju ke depan.

Huh!

Keduanya lalu tergeletak di matras, jatuh sendiri dan memandang langit-langit ruang yang tinggi.

"Gara-gara bawahan kamu aku dihukum!" geram Awan.

"Kupikir karena kamu terlalu banyak bicara," kilah Qi Shaoyun dengan tenang.

Selepas napas mereka cukup stabil, rasa lelah hilang keduanya beranjak, menanggalkan pakian berat itu dan juga kaos hitamnya.

Tak berapa lama, keduanya keluar dari ruang, langsung disuguhi dua penjaga koridor yang berdiri seperti patung.

Ding!

Komunikator Awan menyala, ada pesan dari Bos Besar untuk selalu mengecek perkembangan Kanyaah.

"Sepertinya aku akan sibuk hari-hari ke depan!" keluh Awan sangat kentara.

"Bukankah memang selalu sibuk?"

Awan menggeleng. "Ini terlalu membosankan!" Dia menyipit, memandang Qi Shaoyun dengan geram. "Latih bawahanmu dengan benar, aku tak mau menjadi wadah luapan emosi Bos!" Setelah itu pergi.

Shaoyun di sisi lain hanya diam, sedikit bingung. Mereka sudah sering dihukum untuk pelatihan. Apa yang Awan pikirkan hingga begitu emosional. Apalagi Awan terkenal Masokis dengan kesenangan dalam kesengsaraan dan kelelahan. Apa yang terjadi dengannya.

Berjalan di sepanjang lorong, Shaoyun terus bergumam dengan bingung. Hingga sebelum masuk ke ruangannya, ia bertanya, "Jelita, apakah Awan sedang gila?"

Jelita muncul di sampingnya, Shaoyun terus berjalan sampai melewati pintu. Jelita mengikuti dan menjawab, "Tuan Shaoyun, kupikir Tuan Awan dalam suasana hati yang buruk. Kemarin Bos Besar keluar untuk kembali ke rumah dan Tuan Awan tidak diperbolehkan ikut."

Tangannya mengedik, Jelita hilang. Shaoyun mengangguk paham. Selain dikenal dengan masokis abis, Awan mengklaim dirinya adalah rekan dan bawahan nomor satu bossnya. Dia ingin selalu mengikuti setiap jengkal pengalaman yang dimiliki boss. Beberapa kali ikut ke Jawadwipa untuk memantau dan membantu Boss dalam keadaan gentingnya. Sekarang, dia harus di sini, selain mendapat hukuman juga harus mengecek berkala gadis yang ia pikir cerdas. Rasanya pasti sakit. Dia berspekulasi, gadis itu akan diterima dan sarannya akan sangat bagus untuk Boss. Namun, hasilnya seperti kebalikan. Boss sepertinya tidak suka dan justru memberinya hukuman yang lebih berat dari sebelumnya. Mengurung di ruangan putih.

***

Awan sedikit tidak senang karena harus menanggung beban dengan bosan. Biasanya, jika ja dihukum, bos akan langsung menjadi pengamat untuk melihat perkembangannya. Bertarung dengan seluruh pimpinan di bawah kaki Bos Besar tidak enak, mereka tidak memiliki kebugaran abnormal seperti dirinya. Seperti saat bertarung dengan Shaoyun, dia bosan hingga menyerah bersama-sama.

Berjalan di koridor sepi membuat dirinya makin kesal. Ruangan di paling ujung selatan itu berbeda, lorongnya gelap dan kelam. Tidak perlu dijaga ketat, dan jarang ada orang ke sana. Orang yang mengawasi pun hanya mengecek beberapa hari sekali tanpa jadwal untuk memberinya makan. Biasanya mereka gila setelah beberapa minggu di sana. Dan ini, tiga hari pertama sejak Kanyaah di sana.

Awan langsung masuk ke ruang keamanan lantai putih, meski beberapa koridornya sangat gelap, ruangan yang begitu banyak di lantai putih memang terang benderang.

"Tunjukan padaku ruangan paling ujung," ungkap Awan setelah dia masuk. Tak menunggu lagi, para bawahan itu langsung bekerja. Awan berjalan mendekat dan duduk di kursi putar.

Monitor di depannya menunjukan aktivistas Kanyaah di dalam ruangan.

"Dia beberapa kali mengeluh, mengumpat dan mengerang. Sampai saat ini kami belum memberinya makan."

Awan mengangguk mengerti. Dia melihat sendiri, Kanyaah sedang memegangi rambutnya, sedikit menutup telinga dengan telapak tangannya. Kakinya diluruskan, punggungnya bersadar lurus ke tembok. Matanya sesekali mengintip ke depan, gambar yang sudah tidak lagi asing kini berubah semakin menyeramkan.

"Beri dia makan besok siang!"

"Baik Tuan!"

"Lanjutkan dengan memberinya makan lima jam sekali bahkan di malam hari."

Mereka mengangguk mengerti.

***

Ini sudah hampir ke sepuluh minggu. Awan tidak lagi mengontrol monitor, ia mengintip di celah paling kecil yang khusus dibangun di dekat pintu. Celah itu biasanya digunakan untuk memberi makan Kanyaah. Kanyaah tidak menemui orang lain selama ini, jadwal makannya tidak teratur dan dia sangat gila. Matanya menunjukan lingkaran yang gelap. Selama ini, dia tidak berani tidur sama sekali. Sesekali tak sengaja tidur itu pun tak pernah lebih dari dua jam. Dalam tiga hari, ia tiudr hanya selama itu. Berlangsung 10 minggu.

Awan pergi, dia harus berlatih dengan Shaoyun kali ini.

"Kontrol setiap jam, jangan biarkan dia mati karena gila!"

"Baik, Tuan."

Tepat di balik ruang, Amitha Kanyaah benar-benar tidak tahan. Dia merasa sudah bertahun-tahun di dalam ruangan. Musik seram yang sengaja diputar menambah stress kepalanya. Awalnya itu sangat sunyi hingga suara aneh sering ia dengar dari pikirannya. Namun, baru-baru ini musik seram terasa nyata bukan hanya dalam pikiran. Sepertinya mereka benar-benar ingin membuatnya gila.

Terangnya ruang tak memberinya waktu untuk tidur. Poster tragis juga tak bisa memberi jeda pada pikirannya untuk berhenti barang sebentar.

Ruang putih memberi tekanan psikis, apalagi hanya ada beberapa gambar yang memojokannya. Itu benar-ebnar membuat Kanyaah melupakan semua dan jatidirinya. Ia hanya ingat  tentang dirinya yang ditunjukan oleh poster. Gila, jalang, menyakitkan, buruk rupa dan pembunuh. Sesekali ke kamar mandi bahkan dia bingung tentang air yang berwarna jernih. Dia linglung.

Makanan yang diberikan terasa sangat lama, Amitha tidak bisa berpikir apa pun dan bahkan sesekali tidak mengambil makannya. Makanan itu hanya berwarna putih, bahkan seluruh tempat dan minumannya.

Dia bingung, bosan, kakinya kebas dan dirinya merasa mati rasa. Jika terus berlanjut, Amira benar-benar akan gila.

"Apakah aku sudah mati?" gumamnya

Kepalanya ia pukul beberapa kali. Kakinya yang tertatih mulai ambruk, tangannya menggaruk tembok, menghikangkan poster. Entah lem apa yang digunakan, itu sama sekali tidak mirip kertas, tidak bisa hilang sama sekali. Butuh usaha banyak bahkan untuk merobeknya beberapa senti.

Amitha Kanyaah merasa kesal.

Dia sangaaat lelah.

Apakah ini berakhir seperti ini saja?

Dia menungging, berharap pikirannya hilang. Sesekali berdiri dan menatap di kejauhan atap yang begitu tinggi. Dia melongkok ke lubang kunci yang sangat kecil hanya untuk menemukan titik gelap yang tidak berarti apa pun.

Dia menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya lupa siapa dirinya sendiri dan untuk apa dia menunggu

Mungkin nasib Amitha Kanyaah bahkan berakhir sampai di sini?

Gelak tawa terdengar, Amitha Kanyaah benar-nenar merasa sudah gila.

"Mungkinkan aku mati?" gumamnya lagi. Dia menyandarkan bahu di tembok menggaruk poster dengan tangan kanan dan terus membenturkan kepala ke tembok. Tindakan ini sedikit lebih ekstrim dari yang kemarin ia lakukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status