Share

4. Pria Penguasa

Tangan kecil Cindy dengan lembut mencuci kaki ringkih Ibunya. Di saat seperti ini, ingin rasanya dia menangis, menangisi nasib keluarganya yang benar-benar jatuh pada titik terendah.

Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.

Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.

Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat kecil yang makan pun harus bergantung pada orang lain.

"Ibu ingin ke taman?" Tawar Cindy dan mulai mengelap kaki Ibunya dengan kain.

"Tidak perlu, Cindy. Kau harus menemui Bibi Jane sekarang."

Benar, Cindy telah membicarakan tentang beasiswa yang dia terima pada Maria. Wanita itu sangat senang tanpa berpikir jika Cindy mulai bersekolah, otomatis anaknya tidak bisa bekerja secara penuh, dan itu juga akan mempengaruhi keuangan keluarga.

Caleb dengan semangatnya juga meminta Cindy untuk mengambil tawaran itu, biar bagaimanapun dia juga menginginkan yang terbaik untuk kakaknya. Caleb merasa sedih jika Cindy yang masih berusia 20 tahun harus membanting tulang untuk dirinya dan Ibunya. Merasa jika dirinya sudah besar, Caleb siap jika harus mengambil pekerjaan paruh waktu untuk membantu keuangan keluarganya.

Dukungan seperti inilah yang Cindy inginkan. Keluarganya sangat mengerti dirinya. Dengan sekolah pun, Cindy berharap jika dia akan bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik nantinya.

"Aku takut jika Bibi Jane tidak akan mengizinkanku, Bu." Cindy terduduk di lantai dengan cemas.

Tangan Maria terulur untuk mengelus rambut coklat anaknya, "Kau tidak perlu khawatir, Cindy. Bibi Jane adalah wanita yang baik, kalaupun dia tidak mengizinkanmu untuk mengurangi jam kerja, kau bisa keluar dari sana. Ibu tidak mau menghalangi kebahagiaanmu, Sayang."

Sebuah senyuman manis muncul di bibir Cindy. Perlahan dia mendekat dan memeluk kaki ibunya erat, "Aku menyangimu, Bu. Ibu jangan khawatir, aku dan Caleb akan tetap berusaha mengumpulkan uang untuk kesembuhan Ibu."

Maria tersenyum, "Tidak perlu dipikirkan. Cepat bersiap dan kembali ke toko bunga. Istirahatmu akan berakhir sebentar lagi."

"Tapi Caleb—"

Maria menggeleng cepat, "Jangan mengkhawatirkan Ibu. Adikmu akan pulang sebentar lagi. Lagipula kau sudah menyiapkan apa yang Ibu butuhkan," ucap Maria sambil menunjuk banyaknya makanan kecil dan benang rajut yang telah Cindy siapkan di meja sebelah Ibunya duduk.

Dengan perlahan, Cindy berdiri dan mulai mengambil tasnya. Dia mengambil potongan roti tanpa selai untuk mengganjal perutnya.

"Aku pergi, Bu. Hubungi aku jika ada apa-apa."

"Ya. Hati-hati, Sayang." Setelah mendengar ucapan Ibunya, Cindy langsung keluar dari rumah untuk kembali ke toko bunga.

Cindy mengeratkan hoodie miliknya dan berjalan dengan menunduk. Bukan tanpa alasan dia melakukan ini. Cindy harus menghindari segala pemandangan yang bisa membuatnya iri hati nantinya.

***

Seorang pria berjalan dengan tegak memasuki ruangan atasannya. Anton terlihat seperti robot dengan tuntutan pekerjaannya sebagai asisten Chris. Pria itu baru saja menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Chris, yaitu menemui Bibi Jane.

Dengan otak cerdiknya, Chris telah membuat skenario untuk hidup Cindy. Dia memang membantu Cindy dalam diam, tapi di satu sisi dia juga telah berhasil mengambil seluruh hidup gadis itu. Mulai dari sekarang, Chris akan selalu mengawasi Cindy.

"Jadi?" tanya Chris sambil bersandar pada kursinya.

Anton menggeleng pelan, "Bibi Jane tidak tahu alasan Mr. Auredo. Dia juga melaksanakan perintah Ayah Anda tanpa tahu akar masalahnya."

Chris mendengus dan memutar kursinya untuk menatap gedung-gedung tinggi di belakangnya. Dahinya berkerut dalam menandakan jika dia sedang berpikir keras sekarang.

Cindy...

Gadis itu...

Chris cukup pusing dengan latar belakang Cindy. Sebenarnya apa yang menyebabkan Ayahnya melakukan semua ini? Chris masih tidak tahu jawabnya sampai sekarang. Semua orang suruhan Ayahnya pun tidak tahu kenapa mereka harus melakukan perintah pria itu.

Chris merasa aneh pada dirinya sendiri. Baru beberapa hari dia mengenal Cindy, tapi gadis itu sudah berani untuk menghantui pikirannya. Seperti sekarang, ketika masih bekerja pun dia masih tetap memikirkan Cindy, mengawasi gadis itu dari jauh melalui Anton.

Chris sadar jika ada yang aneh, tapi dia tidak tahu apa yang membuatnya aneh.

"Saya akan mencari tahu semuanya, Tuan. Beri saya waktu."

Chris mengangguk dan kembali berbalik menatap Anton, "Kupercayakan padamu dan aku harap Nenek tidak akan tahu tentang hal ini."

"Baik, Tuan."

"Oh ya, cari tahu tentang adik Cindy." Perintah Chris sebelum Anton sempat pergi.

"Caleb? Saya dengar dari sekolah jika dia tersendat biaya untuk turnamen."

Chris mengangguk sambil mengelus dagunya. Dia baru sadar ternyata kehidupan Cindy benar-benar menyedihkan, "Kalau begitu bantu dia, carikan dia pekerjaan untuk membantu kakaknya."

Anton mengangguk paham, "Baik, Tuan. Saya akan lakukan setelah ini."

"Ingat Anton, beri dia pekerjaan. Aku tidak suka jika dia hanya diam dan menikmati uang pemberian kakaknya." Pesan Chris sebelum Anton keluar dari ruangannya.

Chris kembali menatap dokumen di mejanya dengan malas. Setelah mendapat informasi dari Anton tentang Cindy, pikirannya langsung buyar. Dia tidak ingin melakukan apa-apa lagi setelah ini. Gadis itu benar-benar membawa efek buruk padanya.

***

Cindy berjalan di trotoar dengan perasaan senang. Dinginnya malam tidak membuatnya resah sedikitpun, bahkan dia tidak merasa takut ketika melewati gang kecil untuk sampai ke rumahnya dengan cepat.

Semua itu terjadi karena dengan mudahnya Bibi Jane mengizinkannya untuk mengurangi jam kerja, sehingga Cindy bisa membagi waktu antara sekolahnya nanti.

Cindy pikir, Bibi Jane akan marah atau yang lebih parahnya akan memecatnya, tapi ternyata pikirannya salah. Wanita paruh baya itu terlihat senang begitu Cindy menceritakan semuanya. Untuk pekerjaannya dengan Rose, Cindy pikir itu tidak masalah. Dia hanya akan menjaga Violet jika Rose bekerja dan selebihnya wanita itu sendiri yang mendampingi anaknya.

Cindy berbelok untuk keluar dari gang sempit menuju jalan raya, tinggal beberapa meter lagi dia sampai di rumah. Begitu akan menyeberang jalan, langkah kakinya terhenti saat melihat mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depannya.

Dengan bingung, Cindy memutari mobil itu dengan cepat. Dia takut jika orang itu adalah orang jahat mengingat malam sudah semakin larut. Ketika berusaha memutari mobil, mobil itu kembali bergerak untuk menghalangi langkahnya. Dengan kesal Cindy memukul mobil itu keras. Peduli setan dengan rasa takutnya. Bisakah siapapun itu tidak merusak perasaan baiknya malam ini?

Jendela mobil yang gelap itu perlahan terbuka dan menampilkan wajah Chris yang tersenyum konyol. Cindy menghela nafas lega saat tahu jika pria itu yang berada di balik kemudi mobil.

Chris masih tersenyum tipis mengingat wajah cemberut Cindy yang kesal. Oh ayo lah, dia hanya bermain-main tadi. Dia suka mengganggu gadis kaku itu.

"Ada apa?" tanya Cindy mendekat. Dia tidak berani marah karena biar bagaimanapun Chris yang telah memberikan beasiswa gratis untuknya secara cuma-cuma.

"Masuklah." Perintah Chris menunjuk pintu samping mobilnya.

"Ada apa? Aku harus pulang." Cindy terlihat mundur selangkah untuk menjauh dari mobil.

Chris berdecak dan mulai membuka pintu dari dalam, "Hanya bicara sebentar, masuklah!"

Dengan ragu Cindy mulai masuk ke dalam mobil. Perlahan, mobil Chris mulai bergabung dengan mobil lainnya di jalanan kota yang ramai. Cindy mengulum bibirnya dan memainkan tangannya bingung. Sebenarnya dia tidak ingin ikut, tapi dia juga tidak bisa untuk menolak.

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Cindy pelan.

"Hanya seputar kuliahmu nanti." Chris membelokkan setirnya ke sebuah restoran cepat saji, tapi dia hanya melakukan drive-thru, "Kau ingin pesan apa?"

Cindy menggeleng cepat. Dia tidak ingin apa-apa untuk sekarang. Dia hanya ingin pulang.

Cindy masih diam saat Chris memesan makanannya. Begitu telah menerima makanannya, Chris meletakkan kantong besar itu ke pangkuan Cindy, "Makanlah, atau kau bisa membawanya pulang. Aku tahu itu tidak sehat, tapi lain kali akan aku traktir yang lain."

Cindy menatap Chris tidak percaya. Pria itu berbicara dan meminum kopinya tanpa menatapnya sama sekali. Kenapa? Kenapa Chris bersikap seperti ini padanya?

"Kenapa? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?" tanya Cindy dengan suara pelan.

Chris menoleh sebentar, "Seperti ini bagaimana maksudmu?"

"Ya seperti iniMenawariku beasiswa, dan.. dan membelikanku makanan." Tunjuk Cindy pada makanan yang ada di pangkuannya.

"Memangnya kenapa? Kau bisa memberikannya pada adikmu."

"Tunggu." Dengan mata yang menyipit Cindy menatap Chris curiga, "Kau tahu jika aku punya adik?"

Chris terdiam dan menatap Cindy dalam, "Percayalah Cindy, aku mengetahui semuanya."

"Jangan seperti itu, kau terdengar seperti psikopat."

Chris tersenyum sinis, "Kau tidak akan menemukan psikopat tampan sepertiku."

"Jangan berbelit-belit. Cepat katakan apa tujuanmu membawaku pergi?" ucap Cindy begitu kesabarannya sudah mulai menipis.

"Apa kau sudah mempunyai peralatan untuk sekokahmu?"

Pertanyaan Chris membuat Cindy terdiam. Benar, dia belum menyiapkan apa-apa untuk sekolahnya. Kalaupun dia harus membeli peralatan sekarang, maka uang tabungan untuk operasi Ibunya akan terpakai nanti.

"Biar kutebak, kau pasti belum menyiapkannya." Tanpa sadar mobil Chris telah berhenti tepat di depan rumah Cindy.

Cindy sempat ingin bertanya, tapi Chris lebih dulu bergerak untuk mengambil sesuatu dari kursi belakang. Sebuah kantong plastik besar yang tidak ia ketahui apa isinya.

Lagi-lagi Chris meletakkan kantong plastik itu ke pangkuan Cindy hingga membuat gadis itu berdecak kesal, "Apa lagi ini, Chris?"

"Kebutuhanmu untuk minggu depan." Chris mengangkat bahunya acuh.

Dengan cepat Cindy membuka kantong itu dan benar saja, dia menemukan banyak peralatan gambar di sana. Dia menatap Chris tidak percaya.

Kenapa Chris melakukan semua ini padaku?

"Kenapa?" tanya Cindy dengan pelan.

Chris berdecak dan mendekat ke arah Cindy, sempat gadis itu ingin marah tapi ternyata pria itu hanya membuka pintu mobil untuknya, "Tidak perlu banyak tanya, sekarang kau masuk sebelum adikmu kelaparan."

"Tapi Chris—"

"Masuk, Cindy. Ini sudah malam."

"Bagaimana dengan ini semua?" Cindy mengangkat semua pemberian Chris termasuk makanan tadi.

"Ambil lah, aku tidak menerima penolakan."

"Tapi—"

"Masuk, Cindy!" bentak Chris pada akhirnya. Dia kesal begitu Cindy selalu membantah ucapannya dan tidak langsung menurut.

Chris menghela nafas kasar begitu melihat Cindy terdiam dan menunduk. Oh ayo lah, ucapannya tadi tidak begitu tajam, kenapa Cindy malah ingin menangis seperti ini?

"Maaf, aku tidak bermaksud membent—"

"Cukup! Aku tahu kau memang mempunyai segalanya, tapi kau tidak bisa berbuat semaumu!" Dengan kesal Cindy meletakkan semua barang pemberian Chris di pangkuan pria itu dan berjalan keluar. Dia tidak menoleh sedikitpun meskipun Chris terus memanggilnya.

"Cindy, jika kau tidak kembali lihat saja nanti!" teriak Chris kesal.

Tanpa ragu Chris keluar dari mobil dengan membawa semua barang yang dia berikan untuk Cindy. Dengan langkah cepat, dia berjalan ke rumah Cindy dan mengetuk pintunya keras.

"Cindy!" teriak Chris tanpa tahu waktu.

"Cin—" Pintu langsung terbuka dan muncul Caleb yang melipat kedua tangannya di dada.

"Siapa kau? Kenapa membuat kakakku menangis?"

Chris menatap Caleb aneh, "Menangis? Bisakah aku bertemu dengannya?"

"Tidak," jawab Caleb cepat.

"Suruh kakakmu keluar atau beasiswanya akan aku cabut," ucap Chris mulai kesal. Mau tidak mau dia harus menunjukkan kekuasaannya sekarang.

"Tunggu, beasiswa katamu?" Caleb bertanya dengan gugup.

"Jika kakakmu masih ingin bersekolah, cepat suruh dia keluar." Tanpa menjawab, Caleb langsung masuk ke dalam rumah.

Chris menunggu dengan kesal. Terdengar suara rusuh di dalam rumah, mungkin terjadi pertengkaran kecil antara Cindy dan adiknya.

"Demi Tuhan, Caleb! Aku tidak mau ber—" Ucapan Cindy terhenti begitu tahu jika usahanya akan sia-sia karena sekarang dia sudah berada tepat di hadapan Chris.

"Apa lagi?" tanya Cindy kesal.

Chris berdecak dan memberikan semua barang yang dia bawa tadi kepada Cindy, "Dengar, kau tahu aku bisa melakukan apapun dalam hitungan detik. Jadi aku harap kau harus berhati-hati dan tetap memperhatikan sikapmu, karena di sini akulah yang memegang kendali."

Cindy terkejut mendengar itu, dia seolah menemukan sisi lain dari dalam diri Chris. Apa pria itu sudah mulai menunjukkan sifat iblisnya?

"Aku tidak ingin mendengar bantahanmu. Hanya satu hal yang harus kau ketahui, berhenti protes atau segalanya akan berjalan diluar dugaanmu." Tekan Chris sekali lagi.

"Apa maksudmu?" Cindy mulai ketakutan.

Chris tersenyum miring, dia senang begitu berhasil membuat gadis kaku itu ketakutan, "Tidak perlu tahu, kau hanya perlu mengingat ucapanku."

Chris berbalik untuk pergi, tapi baru satu langkah dia kembali berbalik menatap Cindy, "Ah ya, untuk Ibumu, aku harap dia cepat sembuh."

Cindy membulatkan matanya mendengar itu. Tadi Caleb, dan sekarang Ibunya? Chris benar-benar mengetahui segalanya. Haruskan Cindy mulai waspada sekarang?

Pikiran baik tentang Chris di otaknya langsung hilang begitu melihat tingkah tak terbantahkannya pria itu.

Apa dia harus menyesal sekarang telah bertemu dengan Chris?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status