Share

5. Mulai Sekolah

Dengan hoodie polos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.

Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.

Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gila sendiri nanti. Bagaimana tidak, jika kehidupan orang-orang di kampus ini benar-benar gila. Mereka begitu modis dan terlihat sialan kaya. Cindy menjadi takut sendiri untuk memulai pertemanan.

Dia sekarang menyesal dengan keinginannnya dulu untuk sekolah di tempat ini. Tidak Cindy pungkiri jika kampus desain ini memang paling bagus di kotanya tapi harusnya dia juga sadar jika sekolah swasta seperti ini pastinya akan diisi oleh orang-orang yang benar-benar beruang.

Cindy berjalan dengan menunduk, tangannya mengepal erat di dalam saku hoodie-nya. Dia berusaha mati-matian untuk mengabaikan semua bisikan setan di sekelilingnya. Cindy memang mendapatkan bully sejak hari pertama. Alasannya hanya satu, karena dia miskin.

"Memakai pakaian itu lagi, Cindy?"

"Ah sepatumu cocok dimasukkan ke museum antik!"

Cindy terjatuh dan memegangi lututnya dengan tangan yang gemetar. Bibirnya dia gigit dengan keras untuk menahan rasa sakit. Ingin rasanya dia memukul pria yang baru saja mendorongnya dari belakang hingga tersungkur seperti ini. Namun apa daya, semakin dia melawan maka semakin banyak yang akan mengganggunya.

Dengan perlahan Cindy bangkit, tapi dia langsung kembali duduk begitu kakinya terasa ngilu. Dia ingin menangis rasanya, tapi tidak mungkin jika harus menangis di depan banyak orang. Yang harus Cindy lakukan sekarang adalah berdiri dan pergi dari sini.

Aku kuat!

Dengan menyemangati dirinya sendiri, akhirnya Cindy berhasil berdiri dan berjalan pelan menuju toilet. Benar, toilet telah menjadi tempat favoritnya di kampus, karena hanya tempat itu saja yang membuatnya tenang dan terhindar dari banyak masalah.

Cindy masuk ke dalam toilet dengan mengusap matanya yang basah. Jika bukan karena pendidikan yang ia inginkan, tentu Cindy tidak akan mau dihina seperti ini. Dia harus tetap menjaga perilakunya atau Chris akan marah nantinya.

Tentang Chris, Cindy tidak bertemu lagi dengan pria itu setelah kejadian dirinya menangis seminggu yang lalu. Chris seolah menghilang, tapi malam sebelum Cindy mulai kuliah, pria itu mengirimkan pesan singkat kepadanya. Hanya pesan yang berisi seputar kuliahnya, itu saja.

Pintu toilet terbuka dan Cindy langsung menghapus air matanya. Dia tidak mau jika siapapun itu melihatnya menangis seperti ini. Tubuh Cindy bergeser begitu melihat wanita dengan rambut merahnya mencuci tangan di wastafel.

"Sakit?" Cindy menatap gadis berambut api itu dengan bingung.

"Kau berbicara padaku?" Tunjuk Cindy pada dirinya sendiri.

"Kau pikir aku gila bicara sendiri."

"Maaf," ucap Cindy dengan menunduk.

Gadis berambut merah itu berbalik menatapnya, "Kau seharusnya melawan mereka."

Cindy menggeleng dan tersenyum kecut, "Aku tidak mau beasiswaku dicabut karena membuat ulah."

"Kau tidak hanya seminggu-dua minggu di sini. Kau tidak mungkin selamanya ditindas seperti itu."

Wajah Cindy terangkat dan menatap gadis itu terkejut. Baru pertama ini ada seseorang yang berbicara dari hati ke hati padanya, "Aku tidak masalah dengan itu."

Gadis berambut merah itu memutar matanya jengah, "Jangan bodoh! Ini, obati luka di lututmu."

Cindy menerima plester itu dengan ragu, "Terima kasih."

"Namaku Alice dan jika kau butuh tempat duduk di kantin, kau bisa duduk di ujung sebelah taman." Cindy mengerutkan keningnya bingung.

Alice berdecak, "Itu tempatku dan aku harap kau berhenti makan siang di toilet, itu menjijikkan." Setelah mengatakan itu Alice berlalu pergi meninggalkan Cindy sendiri.

Dengan perlahan senyuman mulai terukir di bibir Cindy. Akhirnya dia bisa mempunyai teman sekarang. Sempat dia merasa kurang percaya diri dulu, tapi perkataan Alice ada benarnya. Dia tidak bisa diam saja seperti ini. Chris juga akan paham jika dia hanya membela diri.

Dengan masih tersenyum, Cindy keluar dari toilet. Kelas akan dimulai sebentar lagi dan sekarang dia tidak sabar untuk pulang. Dia ingin bercerita pada Ibunya jika dia telah berhasil mendapatkan teman. Konyol memang, tapi itulah yang ingin di dengar oleh Maria. Wanita paruh baya itu ingin anaknya hidup normal seperti remaja lainnya.

***

Cindy merangkai bunga di hadapannya dengan cepat, dia lihai dalam hal ini. Jika tentang kreativitas, tentu tidak ada yang meragukannya. Pesanan sebanyak 150 buket bunga telah diterima oleh Bibi Jane. Sebagai karyawan yang baik, Cindy telah merangkai setidaknya 32 buket dalam waktu 1 jam. Oh ayo lah, ini memang keahliannya!

"Apa tidak masalah jika kau lembur malam ini Cindy?" tanya Bibi Jane membawa minuman dingin yang membuat Ron mengusap tangannya senang.

"Tidak masalah, Bi. Aku tidak ada tugas."

"Bagaimana dengan Violet?" tanya Ron meminum minumannya.

"Rose sedang libur dan aku pikir mereka akan jalan-jalan nanti malam."

"Rose yang malang. Aku masih tidak terima jika dia bekerja sebagai wanita panggilan. Dia begitu sialan cantik!"

Bibi Jane mendengus mendengar ucapan Ron, "Jika kasihan sebaiknya kau mulai bekerja dengan giat sekarang, karena jujur saja Ron, kehidupanmu jauh lebih menyedihkan dibanding Rose."

"Bibi!" teriak Ron kesal, "Kenapa kau selalu memojokkanku? Jika ada, aku pun mau bekerja sesuai dengan bidangku."

"Ya ya ya, teruslah bermimpi, Ron." Bibi Jane pergi meninggalkan dua pekerjanya yang masih sibuk merangkai bunga.

Ron kembali duduk, dengan kesal dia meraih bunga dan kembali merangkainya dengan asal. Hal itu membuat Cindy berdecak gemas. Ron benar-benar tidak bisa jika harus bekerja menggunakan kreativitas.

"Jika kau ingin menghancurkan pekerjaanku lebih baik kau mundur Ron," ucap Cindy kesal.

Ron berdecak dan mendorong buket bunganya menjauh, "Kau juga Cindy! Kenapa kau jadi menyebalkan seperti Bibi!"

"Jangan cemberut seperti itu, kau jelek!" celetuk Cindy tanpa perasaan.

Ron mendengus dan duduk bersandar pada pot besar di belakangnya. Dia hanya memperhatikan tangan lincah Cindy dalam menata bunga. Sesekali matanya juga menatap wajah Cindy yang terlihat berbeda sore ini.

"Ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat berbeda." Ron mulai membuka suara.

"Apa maksudmu?"

Ron mendekat dan menatap wajah Cindy dengan teliti. Dengan pelan jari Ron menunjuk wajahnya sendiri, "Wajah itu, kau terlihat bahagia. Coba cerita, apa yang membuatmu bahagia?"

Cindy mulai mengangkat kepalanya dan tersenyum manis, "Aku sudah mempunyai teman."

"Kau serius?"

Cindy mengangguk semangat, "Namanya Alice. Dia terlihat dingin tapi dia sangat baik."

"Apa dia cantik?" tanya Ron keluar topik.

"Apa kau menyukai rambut merah? Jika iya berarti dia cantik dalam kamusmu."

"Ah, wanita nyentrik hah? Aku suka," gumam Ron sambil mengelus dagunya.

"Tapi aku pikir dia tidak akan menyukai pria sepertimu." Ucapan Cindy membuat senyum Ron luntur.

"Lagi Cindy? Berapa kali kau sudah menghinaku hari ini?"

Cindy mengusap peluh di dahinya, "Baru dua kali, Ron. Jangan berlebihan."

"Dasar gadis gila!" rutuk Ron kesal dan berjalan ke luar toko. Lebih baik dia mengerjakan sesuatu di depan sana dari pada mendengar penghinaan yang selalu Cindy dan Bibinya ucapkan.

Ketika masih sibuk membersihkan pupuk di atas jalan, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan toko. Ron yang tersadar langsung membuka sarung tangannya cepat.

Seorang pria dengan kaca mata hitamnya turun dari mobil dan menatap Ron dengan datar. Ron hanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal melihat tatapan aneh dari orang itu.

"Di mana dia?" tanya Chris melepas kaca mata hitamnya.

Ron tahu jelas arah pembicaraan Chris, "Dia ada di dalam."

"Sedang apa dia?"

Ron melirik ke dalam sebentar, takut jika Cindy akan keluar nanti, "Dia sedang merangkai pesanan bunga."

Alis Chris bertautan mendengar itu, "Dan kau tidak membantu?"

"Ah—itu!" Ron menggaruk sikunya yang tidak gatal, "Aku tidak ahli dalam merangkai bunga."

"Dasar bodoh! Pantas saja kau selalu dihina oleh Bibimu."

"Oh ayo lah! Apa kau juga akan menghinaku?" Chris mengabaikan Ron dan mulai masuk ke dalam toko.

Ketika masuk, mata Chris dimanjakan oleh bunga-bunga cantik yang bertebaran di seluruh ruangan. Matanya menjelajah ke seluruh tempat untuk mencari keberadaan Cindy dan tatapannya terhenti pada seseorang yang sedang terduduk di atas lantai dengan potongan bunga-bunga di sekitarnya.

"Cindy?" panggil Chris membuat gadis itu terlonjak terkejut.

Dia menatap Chris dan langsung berdiri tegak. Apa yang Chris lakukan di tempat kerjanya? Kenapa dia bisa tahu jika Cindy bekerja di toko bunga ini? Tentu saja! Cindy tidak lupa jika pria itu mengetahui segala sesuatu tentang dirinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status