Saat ini Adila dan yang lainya sedang berada di pasar, mereka berencana membuat nasi kuning. Sedangkan Erchan dan para laki-laki sedang mencari gudeg, sejak kemarin Erchan merengek meminta gudeg.
"Barangnya udah semua, 'kan?"
Aqia bertanya untuk memastikan tidak ada yang kurang, sehingga nanti mereka tidak susah-susah untuk kembali. Adila membaca catatan di kertas yang dia pegang, sedangkan Lisa dan Afia mengecek keranjang belanjaan yang mereka letakkan di bawah.
Merasa sudah lengkap, mereka kembali berjalan menuju parkiran, sampai sebuah suara membuat mereka yang tadinya bercanda terdiam seketik— terutama Aqia.
"Qia?"
Aqia yang melihat laki-laki di depanya pun seketika terdiam, dia menunduk dan berjalan mendahului yang lain. Andre, laki-laki
Adila terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya. Dia ingin menggerakkan tangan dan kakinya tetapi tidak bisa, seperti ada yang memeganginya. Adila membuka matanya dan melihat sekitarnya gelap, dia merasa seperti di sebuah ruangan yang sunyi dan dingin. "Gue enggak mati, 'kan?" gumamnya. Adila berteriak saat mengira jika dia sudah mati dan sedang berada di alam kubur. Di sisi lain Revano yang belum bisa tidur pun segera menghampiri kamar sebelah menggunakan senter handphone nya. Sekaramg jam tiga dini hari, dan sedang ada pemadaman listrik.Revano. Sudah satu jam gue hanya memandangi langit-langit ruangan yang gelap. Tepat pukul 03.00 listrik di sini mati. Gelap, sunyi dan dingin. Awalnya gue berniat membangunkan Raden, tetapi suara teriakan seseorang yang gue k
Setelah pertandingan minggu lalu, Adila tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu. Entah apa yang terjadi, saat ini dia seperti di musuhi satu sekolah, bahkan ke-dua sepupunya pun seperti membenci dia. "Bukan gue, La. Gue enggak ada hubungan apa-apa sama kekalahan lo di pertandingan." Adila mengernyitkan dahinya bingung. Tadi dia berencana menuju ke kantin untuk makan siang, tetapi entah datang darimana rubah sialan ini tiba-tiba menabraknya dan berperilaku seolah-olah dia sedang membully nya. "Kalah karena kemampuan sendiri yang buruk, tapi nyalahin orang." "Seketika gue menyesal karena merekomendasikan dia." "Kasihan Gina, padahal dia yang selalu membela Adila di saat yang lain menjelekkan nya." 
"Ara!" Suara teriakan menggema memenuhi seisi sudut ruangan, bahkan membuat seorang gadis yang masih berada dalam kamarnya di lantai dua menghela napasnya. "Kamu tidur sama pria lain lagi, Ara?" tanya Dirga kepada istrinya dengan intonasi rendah. "Kenapa? Bahkan Mas sendiri tidur sama jal** murahan, bahkan sampai memiliki anak darinya." Dirga memijat pangkal hidungnya. Dia ingin marah kepada istrinya tetapi, apa yang istrinya katakan adalah sebuah kebenaran. Di masalalu dirinya tidak sengaja memberikan benih kepada sekertarisnya, saat dia di bawah pengaruh alkohol. Dan sekarang, dia harus bertanggung jawab karena bagaimanapun anak sekertarisnya adalah darah dagingnya. Dia berniat menikahi sekertarisnya, da
Adila menatap heran kearah beberapa kelas yang sepertinya sudah dia lewati tadi, "Kantinya di mana sih. Perasaan gue muter-muter mulu dari tadi" Karena terlalu sibuk memperhatikan kanan dan kirinya untuk mencari petunjuk. Adila tidak menyadari jika di depannya ada rombongan pengurus sekolah yang akan menuju kelas 10, untuk melakukan pemeriksaan atribut seperti biasanya. Bruk. Adila yang tidak memperhatikan jalan nya menabrak salah satu di antara mereka, "Jalanya yang bener dong. Gue nabrak apa a****, keras bener" bentak Adila tidak sadar karena terkejut. Jovan Rahardjo. Ketua keamanan SMA UIHS sekaligus Ketua basket sekolah yang sangat terkenal di kalangan siswa-siswi terutama para kaum hawa. Bukan karena dirinya adalah Ketua keamanan dan juga basket tapi, dia terkenal karena parasnya yang tampan, juga playboy pastinya.
Adila berada di lapangan upacara bersama beberapa siswa-siswi yang mendapatkan hukuman berdiri di depan bendera sampai jam istirahat. "Gue dengar-dengar dari sekolah sebelah, ada yang mau ngedrop salah satu sekolah di daerah sini" Adila yang mendengarkan berita dari orang di depannya pun tertarik untuk mendengarnya. "Sekolah daerah sini kan ada tiga. Nah, yang mana yang mau di drop?" "Ya mana gue tau, gue kan cuman denger dari sekolah sebelah" "Kalau sekolah kita enggak mungkin mereka berani, kecuali mereka nekat berhadapan sama Jovan dkk" Saat asik mendengarkan percakapan mereka tiba-tiba ada siswa yang memberitahu Adila jika ada seseorang yang menunggunya di depan. "Tapi gue
Seorang wanita patuh baya berlari menuju kamar delima yang berada di lantai lima. "Raden!" panggil nya kepada seorang remaja pria yang duduk di depan ruang rawat inap. "Tante," Raden berdiri dan mencium punggung tangan wanita tersebut. "Bagaimana dengan Adila?" "Kata dokter kaki Adila patah, seharusnya ini bukan masalah serius tetapi...karena Adila sering mengalami cidera pada bagian kakinya, itu menyebabkan Adila tidak bisa menggunakan kakinya untuk pekerjaan berat. Dan kemungkinan kambuhnya sangat besar," jelas Raden. Vara terduduk mendengar penjelasan Raden. Dia tidak menyangka putrinya akan mengalami hal seperti ini, terutama Adila adalah tipe orang yang suka memaksakan diri. Sebelum nya putrinya memang pernah mengalami c
"Laa...kamu itu Jangan terlalu judes, nanti enggak ada yang mau sama kamu," ucap seorang remaja wanita sambil mencolek hidung Adiknya. "Kan ada Kakak," jawab Adiknya memeluk erat Kakaknya yang duduk tepat di depannya. Lana tersenyum melihat Adik nya, "Laa...Kakak enggak bisa selalu berada di samping kamu. Akan ada waktu nya di mana Kakak bakalan pergi, dan yang pasti waktu itu semakin dekat" Lana tersenyum menatap kearah luar jendelanya. Dirinya menerawang kedepan seolah-olah sedangkan menyaksikan apa yang akan terjadi di masa depan. "Kakak kenapa? Ada yang nyakitin Kakak? Bilang sama Ila nanti Ila kasih pelajaran orangnya." Lana mengelus rambut Adik nya dengan sayang, "Enggak ada. Kakak selalu mendapatkan 'hadiah' di se
"Api nya woi, matiin!" "Aaaa...kebakaran. Lontong, help me. Pangeran berkuda, tolong princess!" "Enggak usah halu, buruan matiin. Keburu hangus kebakar rumahnya" Suara teriakan-teriakan barusan, membangunkan Adila yang masih tidur nyenyak di kamar nya, entah jam berapa sekarang yang pasti ini hari libur dan dia ingin tidur dengan tenang. Tapi semua itu hanya angan-angan belakang, nyatanya tidurnya di ganggu oleh dua orang yang sedang melawan hukum alam. "Udah tau enggak bisa masak, masih aja maksa. Hobi banget melawan hukum alam," gumam Adila yang kembali merapatkan selimut nya, dan tidak perduli jika nanti rumah nya akan terbakar karena ulah ke-dua saudaranya. "Huh huh huh. Pokok nya gue enggak mau kalau di suruh masak lagi, titik!" Aqia menjitak kepala Afia yang duduk dengan nafas terengah-