Adila berada di lapangan upacara bersama beberapa siswa-siswi yang mendapatkan hukuman berdiri di depan bendera sampai jam istirahat.
"Gue dengar-dengar dari sekolah sebelah, ada yang mau ngedrop salah satu sekolah di daerah sini"
Adila yang mendengarkan berita dari orang di depannya pun tertarik untuk mendengarnya.
"Sekolah daerah sini kan ada tiga. Nah, yang mana yang mau di drop?"
"Ya mana gue tau, gue kan cuman denger dari sekolah sebelah"
"Kalau sekolah kita enggak mungkin mereka berani, kecuali mereka nekat berhadapan sama Jovan dkk"
Saat asik mendengarkan percakapan mereka tiba-tiba ada siswa yang memberitahu Adila jika ada seseorang yang menunggunya di depan.
"Tapi gue lagi di hukum"
"Gue udah bilang Jovan, katanya boleh tapi cuman 10 menit"
Tanpa menunggu lama Adila bergegas pergi untuk mencari tahu siap orang yang menunggunya. Saat Adila hampir sampai ke pintu yang menghubungkan halaman depan, dirinya di suguhkan pemandangan seorang siswi yang baru saja akan memasuki sekolah.
Deg.
Tatapan mereka bertemu. Satu dengan tatapan kebencian satu dengan tatapan rindu yang kentara di matanya.
Ingatan-ingatan masalalu Adila tiba-tiba berputar seperti kaset rusak yang membuat kepalanya pusing. Di ingatanya ada tiga orang gadis yang sedang bertengkar entah karena apa. Ingatan terakhir yang terputar di otaknya membuat dirinya ingin membenturkan kepalanya saat itu juga.
Seorang perempuan yang gantung diri tepat di depan matanya. Bahkan dirinya masih ingat senyum tulus perempuan itu yang di berikan untuk nya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Tiba-tiba suara sirine sekolah berbunyi, membuat Adila kembali tersadar dari pikirannya. Dari arah selatan tiba-tiba muncul segerombolan anak sekolah yang membawa balok di tangan mereka, seketika dirinya teringat percakapan di lapangan upacara tadi.
Adila melihat situasi di dalam sekolah yang tadinya aman terkendali menjadi gaduh, ada beberapa kaca kelas yang pecah karena di lempari batu. Beberapa pengurus sekolah dan guru-guru mengamankan siswa-siswi, sebagian berlarian kearah pintu masuk untuk menutup pintu gerbang sebelum mereka memasuki sekolah.
"Masuk bodoh. Jangan buat gue tambah benci sama lo!" teriak Adila kepada siswi tadi.
Menyadari jika siswi tadi tidak berniat beranjak masuk, Adila berlari keluar menghampirinya. Beberapa guru dan pengurus sekolah yang melihatnya berusaha mencegah, tetapi terlambat, Adila sudah berlari melewati pintu masuk.
"Adila, berhenti! "
"Ibu bilang berhenti, Adila Dirgantara! "
Teriakn-teriakn di belakangnya tidak membuatnya berhenti, justru itu membuatnya menambah kecepatan larinya. Tepat saat dirinya sampai di depan siswi tadi, Adila membalikkan tubuh mereka, dengan adila menghadap barat dan Aqia menghadap timur. Untuk menghalangi batu-batu yang akan mengenai Aqia.
Buk.
"Menyingkir. Bodoh!"
"Adila! lo nggak papa!" tanya Aqia panik saat salah satu batu yang di lempar mengenai kepala bagian belakang Adila.
"Lo itu orang paling bodoh yang gue kenal. Dan sekarang gue semakin benci sama lo!"
"Maaf..." lirih Aqia, "tapi itu enggak penting. Yang terpenting sekarang kita harus pergi dari sini" Aqia berusaha menarik tangan Adila tetapi Adila menepis nya dengan kasar.
"Bukan kita, tapi lo yang harus pergi. Gue masih ada urusan sama mereka, dan lo harus pergi mencari tempat aman"
"Tap-"
"Pergi dari sini sekarang juga, Aqia Megantara!" bentak Adila. Yang membuat Aiqa berbalik pergi meninggalkan Adila dengan perasaan tidak rela.
Buk.
Tepat saat Aqia berbalik, sebuah balok kayu mengenai punggung Adila.
"Jangan lihat kebelakang. Atau lo bakal menyesal!" teriak Adila memperingati Aqia.
Adila bangkit berdiri dan menatap seorang siswa yang memukul punggung nya.
"Noval Sebastian, benar?"
"Wow, lihat guys siapa yang ada di depan gue"
"Dia kan ad-"
Sebelum teman Noval menyelesaikan kalimatnya, Adila sudah menghajar Noval habis-habisan untuk melampiaskan rasa marahnya di masa lalu.
"Laki-laki br**** kayak lo nggak pantas menginjakkan kaki di sekolah gue!" raung Adila sambil memberikan bogem di pipi kiri Noval.
Buk.
Satu tendang mendarat di betis noval"Dan ini untuk lo yang berani nyakitin Lily"
Buk.
Kali ini bukan Adila yang memukul Noval, tapi teman Noval yang menendang betis Adila. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Noval langsung menginjak pergelangan kaki Adila dengan keras.
"Ups maaf gue lupa kaki lo cacat, karena pertandingan itu."
Noval tertawa mengejek ke arah Adila yang meringis kesakitan.
"Sakit hmmm? Kalau mau gue lepas lo harus ngasi-"
Adila meludah tepat di sepatu Noval yang di sertai darah, "Nggak sudi gue ngasih 'itu' ke orang kayak lo"
Krek— Noval menambah tekanan nya pada kaki Adila. Adila mati-matian menahan dirinya agar tidak berteriak.
Noval berjongkok tepat di depan Adila tanpa melepaskan pijakan kakinya, "Gue lepasin tapi lo jilat ludah lo di sepatu gue!"
"Nggak mau, dan enggak akan pernah!"
"Jangan salahkan gue kalau kaki lo kali ini bener-bener enggak bisa di gunain."
Noval menginjak kaki Adila semakin keras, membuat Adila mengigit pipi bagian dalamnya untuk mengalihkan rasa sakit. Aqia yang sudah berada di dalam sekolah merasa bersalah, karena dirinya Adila dalam bahaya.
"Kak, Tolongin Adila cepet" desak Aqia kepada kakak kelas di sampingnya.
"Lo yang tenang ya, itu Jovan sama Revano lagi mau nolongin Adila"
Saat Aqia menoleh kearah yang di tunjuk kakak kelasnya, ternyata benar ada orang yang sudah menolong Adila. Tapi yang anehnya Adila tidak ada di tempatnya, bahkan beberapa menit kemudian siswa-siswi dari sekolah musuh pergi tanpa sebab, seolah-olah apa yang mereka mau sudah tercapai.
*****
Adila berjalan terseok-seok ke samping sekolahnya. Dia tidak perduli dengan luka-luka di tubuhnya, yang terpenting adalah dirinya harus segera menjauh dari lingkungan sekolah—sebelum teman-teman nya menemukan nya dalam keadaan mengenaskan.
Karena sudah tidak kuat berjalan, Adila terduduk lemas bersandarkan tembok. Sekarang Adila mulai menyesal karena dirinya justru memilih jalan di gang kecil samping sekolah yang sepi, jangankan orang bahkan kendaraan pun tidak ada di sini.
Hanya tembok perpustakaan kota yang menjulang tinggi di depannya. Saat kesadarannya mulai menipis, Adila melihat sepasang sepatu fantofel di depannya.
"Nyusahin!"
"Gue enggak minta lo nolongin gue..."
Tanpa memperdulikan ucapan Adila, dirinya menyuruh Adila untuk segera berdiri.
"Buta mata lo. Kaki gue enggak kuat buat berdiri!" ringis Adila saat berusaha menggerakkan kakinya "lo bisa pergi kalau enggak mau bantu," ucap Adila saat melihat orang di depannya justru memasukan kedua tangan nya ke dalam saku celana, tanpa ada niatan membantunya.
Tiba-tiba Adila merasakan tubuhnya melayang, dan saat dirinya berusaha membuka matanya ternyata siswa tadi menggendong nya di punggung. Karena sudah tidak kuat, akhirnya kesadaran Adila benar-benar hilang.
"Gue enggak tau kalau lo udah balik, gue juga enggak tahu kalau kaki lo cidera," ucap siswa tadi sambil menoleh menatap wajah Adila yang babak belur, "kalau tadi enggak ada Jovan yang nahan gue, udah gue habisin orang yang udah berani membuat lo kayak gini, "
"lo harusnya bilang, kalau kaki lo sakit sama Jovan. Biar Jovan enggak menghukum lo berdiri di lapangan yang justru membuat kaki lo tambah sakit"
"Lo tahu? Sekian lama gue cari lo dimana-mana, dan akhirnya gue ketemu sama lo. Tapi kenapa setiap gue ketemu lo, pasti lo dalam keadaan terluka. Apa karena gue lo jadi terluka? Apa perlu gue pergi biar lo enggak terluka lagi? "
Tanpa mereka sadari sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka dari awal siswa tadi datang menghampiri Adila sampai sekarang—dirinya masih memperhatikan mereka.
"Gue sayang sama lo laa...tapi bukan sebagai Kakak Adik. Gue tahu rasa sayang gue enggak akan terbalaskan"
TBC.
Membuat seseorang yang kita sayang berbahagia memang menyenangkan.
Tetapi, mengingat kebahagiaan mereka bukan karena kita. Bukankah itu menyakitkan?Seorang wanita patuh baya berlari menuju kamar delima yang berada di lantai lima. "Raden!" panggil nya kepada seorang remaja pria yang duduk di depan ruang rawat inap. "Tante," Raden berdiri dan mencium punggung tangan wanita tersebut. "Bagaimana dengan Adila?" "Kata dokter kaki Adila patah, seharusnya ini bukan masalah serius tetapi...karena Adila sering mengalami cidera pada bagian kakinya, itu menyebabkan Adila tidak bisa menggunakan kakinya untuk pekerjaan berat. Dan kemungkinan kambuhnya sangat besar," jelas Raden. Vara terduduk mendengar penjelasan Raden. Dia tidak menyangka putrinya akan mengalami hal seperti ini, terutama Adila adalah tipe orang yang suka memaksakan diri. Sebelum nya putrinya memang pernah mengalami c
"Laa...kamu itu Jangan terlalu judes, nanti enggak ada yang mau sama kamu," ucap seorang remaja wanita sambil mencolek hidung Adiknya. "Kan ada Kakak," jawab Adiknya memeluk erat Kakaknya yang duduk tepat di depannya. Lana tersenyum melihat Adik nya, "Laa...Kakak enggak bisa selalu berada di samping kamu. Akan ada waktu nya di mana Kakak bakalan pergi, dan yang pasti waktu itu semakin dekat" Lana tersenyum menatap kearah luar jendelanya. Dirinya menerawang kedepan seolah-olah sedangkan menyaksikan apa yang akan terjadi di masa depan. "Kakak kenapa? Ada yang nyakitin Kakak? Bilang sama Ila nanti Ila kasih pelajaran orangnya." Lana mengelus rambut Adik nya dengan sayang, "Enggak ada. Kakak selalu mendapatkan 'hadiah' di se
"Api nya woi, matiin!" "Aaaa...kebakaran. Lontong, help me. Pangeran berkuda, tolong princess!" "Enggak usah halu, buruan matiin. Keburu hangus kebakar rumahnya" Suara teriakan-teriakan barusan, membangunkan Adila yang masih tidur nyenyak di kamar nya, entah jam berapa sekarang yang pasti ini hari libur dan dia ingin tidur dengan tenang. Tapi semua itu hanya angan-angan belakang, nyatanya tidurnya di ganggu oleh dua orang yang sedang melawan hukum alam. "Udah tau enggak bisa masak, masih aja maksa. Hobi banget melawan hukum alam," gumam Adila yang kembali merapatkan selimut nya, dan tidak perduli jika nanti rumah nya akan terbakar karena ulah ke-dua saudaranya. "Huh huh huh. Pokok nya gue enggak mau kalau di suruh masak lagi, titik!" Aqia menjitak kepala Afia yang duduk dengan nafas terengah-
Hari ini, hari senin. Sekolah masuk seperti biasanya, upacara baru saja selesai di laksanakan, para siswa-siswi berbondong-bondong meninggalkan lapangan. Termasuk sang tokoh utama kita, Adila Dirgantara. Dia sedang berjalan bersama Bagas dan duo kembar. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya itu adalah hal serius. "Lo tau enggak?" tanya Farel kepada teman-teman nya. "Nggak!" Farel menatap sinis ke arah Kakak kembarnya, "Apa sih Bang, nyahut aja kayak listrik!" Farhan mengarahkan jari telunjuk dan jari tengahnya kearah mata Farel, "Mata lo mau gue colok pakek garfu!" "Kalian kalau berantem gue tampol nih!" ancam Adila kepada ke-duanya, yang membuat mereka segera diam "lanjutin!" "Ada anak baru katanya. Gila cuy cantik-cantik" Farel berujar dengan heboh, bah
Di dalam kamar, Adila hanya tiduran di kasur tanpa ada kegiatan apapun. Sampai suara notif handphone nya mengusir kebosanannya. Radenbagong. 'La... Datang ke tempat biasanya, sekarang!' 'Mau ngapain?' 'Udah, dateng aja. Aku tunggu di depan' 'Loh, eh Raden! Malah di tinggal off' "Ck. Kebiasaan, awas aja lo!" Adila meremat handphonenya karena kesal. Setelah beberapa menit bersiap-siap, Adila sudah duduk manis di motor besarnya. Dia menggunakan celana hitam panjang dengan sepatu booth warna coklat, jaket denim coklat dengan dalaman hitam. "Lepasin gue!" Saat melewati
"Sumpah, di pintu dapur rumah banyak cicak geprek. Kalau enggak percaya, besok liat sendiri!" Adila, Afia, dan Aqia sedang berkumpul di ruang tengah bersama para cowok yang bermain game. Mereka mendengarkan Adila yang bercerita tentang cicak geprek di pintu dapur rumahnya. Aqia bergidik mendengarkan cerita Adila, "Pantesan kemarin gue mau nutup pintu susah, taunya banyak cicak geprek" "Instagram lo gimana? Udah bisa pasang foto profil?" tanya Afia mengalihkan pembicaraan. Sejak tadi dia menahan mual mendengar cerita Adila, karena saat berangkat kesini dia makan sampai kekenyangan. "Jangankan pasang poto profil, instagram gue di pencet aja enggak bisa!" "Kok lo ngomong nya jadi lo/gue?" Adila merasa heran dengan saudranya itu. "Hehehe. Biasa, biar lo mau maafin kita. Siapa tau kalau lo lihat si
"Eh, kalian udah denger belum? Katanya ekstra PBB udah di mulai besok. Hari jumat!" Pagi-pagi sekali, sekolah di hebohkan dengan dimulainya ekstra PBB— lebih tepatnya kelas 10. "Yahhhh. Nanti kita di jemur donggg!" teriak salah satu siswi, yang selalu mementingkan penampilan. "Emang Pak Firman udah pulang?" tanya Bagas mewakili pertanyaan semua siswa-siswi. "Udah, barusan gue lihat ada di kantor" "Pak Firman siapa?" tanya Adila yang baru saja masuk kelas. "Itu, guru PBB di sekolah kita" Adila hanya mengangguk sebagai jawabannya. Pagi ini dirinya berangkat bersama ke-dua saudaranya menggunakan mobil yang di kendarai oleh Aqia. Asal kalian tahu, Adila mabuk kendaraan sepert
Adila sedang duduk dengan kepala menunduk di dalam UKS. Di depannya ada Raden, Jovan, dan ke-dua saudaranya yang menatap dirinya dengan tajam. Sedangkan di belakang mereka, ada Revano, marvin, Jenan, Dan Lean yang berdiri menyaksikan apa yang akan terjadi. Sedangkan sang pemeran utama hanya menunduk kan kepala menatap kakinya yang saling bertautan. Raden menegakkan duduk Adila, dan menyamakan tingginya dengan Adila, "Jadi..." tanya Raden menggantung. Adila menggaruk kepalanya, "Jadi...ya gitu" "Berapa kali harus gue bilang, jangan berantem, jangan cari masalah yang bikin kaki lo kambuh" sekarang giliran Jovan yang menceramahi nya. Dengan tatapan memelas, Adila menatap Afia memohon bantuan yang justru di hadiahi pelototan dari Afia.