Share

5

"Laa...kamu itu Jangan terlalu judes, nanti enggak ada yang mau sama kamu," ucap seorang remaja wanita sambil mencolek hidung Adiknya.

    "Kan ada Kakak," jawab Adiknya memeluk erat Kakaknya yang duduk tepat di depannya.

     Lana tersenyum melihat Adik nya, "Laa...Kakak enggak bisa selalu berada di samping kamu. Akan ada waktu nya di mana Kakak bakalan pergi, dan yang pasti waktu itu semakin dekat"

     Lana tersenyum menatap kearah luar jendelanya. Dirinya menerawang kedepan seolah-olah sedangkan menyaksikan apa yang akan terjadi di masa depan.

     "Kakak kenapa? Ada yang nyakitin Kakak? Bilang sama Ila nanti Ila kasih pelajaran orangnya."

     Lana mengelus rambut Adik nya dengan sayang, "Enggak ada. Kakak selalu mendapatkan 'hadiah' di sekolah"

     "Tunggu beberapa bulan lagi, nanti aku bakal pindah ke sekolah Kakak. Dan Kakak harus janji untuk selalu menunggu Ila."

     Ila menyodorkan jari kelingkingnya yang di sambut dengan genggaman tangan oleh Lana. Dirinya memeluk Adila dengan erat, seolah-olah itu adalah pelukan terakhir mereka.

*****

     Adila tersentak dalam tidurnya. Kilasan mimpi di dalam otaknya membuatnya sedikit terkejut, dirinya berusaha bangun yang justru membuat tubuh bagian kakinya ngilu.

     "Shh. Aw aw aw kaki gue!"

     Suara Adila mengalihkan perhatian beberapa orang di dalam kamar yang sedang menyantap sarapan. Mereka semua menoleh dan melihat Adila yang berusaha bangun.

     "Adila, akhirnya kamu bangun juga sayang. Mama panggil dokter dulu, tunggu sebentar," ucap Mamanya dan bergegas pergi memanggil dokter.

     (Kenapa harus dokter? Kenapa enggak panggil polisi? Kan keamanan rakyat tanggung jawab polisi) batin Adila.

     Aqia menghampiri Adila dengan sedikit ragu, "Kamu enggak papa, La?"

     Adila hanya melihatnya sekilas, dan kembali fokus kepada tangannya yang terpasang infus. Tanpa aba-aba dia mencabutnya— Adila paling benci bau rumah sakit apalagi infus, dirinya sangat menghindari itu.

     "Adila!" teriak Afia dan Aqia terkejut karena perbuatan Adila.

     Aqia mengulurkan tangannya berniat untuk melihat tangan Adila, "Tangan lo..."

     Adila menepis tangan Aqia dengan kasar, "Gapapa, cuma berdarah dikit"

     Tanpa memperdulikan suasana ruang rawat inap nya yang canggung, Adila melipat tangannya di depan dada dan melihat kedua orang yang berdiri di samping kirinya.

     "Ngapain kalian ke sini?"

     "Karena lo sakit," jawab Afia yang mendapatkan tatapan tajam dari Adila dan cubitan geratis di pinggang dari Afia.

     (Benar-benar keturunan Om Dirga. Mata setajam silet!) Afia meringis mendapatkan reaksi begitu mempesona dari saudara nya.

     "Kita nyari kamu. Ada beberapa hal yang harus di lurusin" jelas Aqia menengahi— jika di antara Adila dan Afia bertengkar makan Aqia lah yang menengahi, Afia yang mencairkan suasana, dan Adila yang meminta maaf terlebih dahulu. Mereka melengkapi satu sama lain.

     Jika mereka memiliki kemiripan, makan itu bisa di ibaratkan dengan sebuah magnet yang memiliki kutub sejenis, jika di dekat kan akan saling tolak menolak, begitu sebaliknya jika yang di temukan adalah kutub yang berbeda makan mereka akan saling menarik satu sama lain.

     Di dalam kehidupan tidak ada yang sempurna, semua di ciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain untuk menciptakan suatu keutuhan seperti magnet.

     "Enggak ada yang perlu di jelasin. Semua sudah jelas, Gina udah jelasin semuanya!" tegas Adila.

     "Enggak, Laa...apa yang kamu lihat itu semua bohong. Waktu itu, aku sama Afia enggak di sini. Kami ke sanghai untuk berlibur, dan seharusnya kamu ikut tapi..."

     Flashback.

    "Yess akhirnya kita liburr! Yuhu sanghai im  coming!" teriak Adila sambil melompat-lompat di atas kasur Afia.

     "Gusti! Kasur gue bisa jebol gara-gara lo! Turun nggak!" Afia yang sedang membereskan bajunya segera berlari ke arah kasurnya, yang sebentar lagi sepertinya akan roboh.

     "Enak aja! Badan gue itu body goals paripurna tiada tara!"

     "Body goals? Bodyguard kali"

     "Iri? Bilang boss"

     "Iri sama lo? Mimpi"

     Dan terjadilah perang lempar bantal di dalam kamar yang cukup untuk di huni lima orang. Sedangkan Aqia tidak menghiraukan mereka dan tetap sibuk membereskan barang-barang nya dan saudaranya.

     Keesokan hari nya, tepat satu jam sebelum mereka berangkat, Adila menghilang. Dan itu membuat mereka panik karena waktu penerbangan mereka sebentar lagi tiba.

     "Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA737 tujuan Sanghai dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12. Terimakasih."

     Pengumuman boarding dari pesawat tujuan mereka membuat mereka terpaksa meninggalkan Adila.

*****

     "Aku harap kamu enggak lupa" Afia kembali mengingatkan Adila.

     "Oke, mungkin itu memang benar. Tetapi bagaimana mana penjelasan kalian tentang Kak Lana? Kenapa kalian diam? Kenapa kalian tidak membantunya? Dan yang paling gue pertanyakan...kenapa kalian enggak memberitahu Gue!" Adila meninggikan suaranya beberapa oktaf di akhir kalimat.

     Afia dan Aqia menundukkan kepalanya tidak bisa menjawab.

     "Ah gue tahu. Karena kalian adalah orang paling pengecut di dunia ini. Sekarang mending kalian pergi! Dan jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!" bentak Adila kepada mereka berdua. 

     Tanpa sepatah kata pun mereka berdua meninggalkan Adila sendirian di kamar, tidak ada yang membuka suara untuk berbicara sampai mereka berpapasan dengan Mama Adila di lorong.

     "Kalian mau kemana?" tanya Vara bingung melihat kedua gadis di depannya.

     "Emmm, itu tante kami mau pulang dulu" jelas Aqia

     "Oh yaudah hati-hati ya. Dan jangan lupa besok pagi kalian udah bisa pindah"

     Mereka berdua menyalami Vara dan bergegas pergi menuju ke tempat mobil mereka terparkir.

*****

     "APA?!?!"

     "Jangan teriak-teriak, Adila...anak cewek enggak boleh teriak-teriak"

     "Kenapa sih? Kalau mau pergi yaudah pergi aja! Enggak usah ngurusin hidup orang lain." Adila memperotes tentang keputusan Mama nya.

     "Mama bukannya mau ikut campur, ini juga demi kebaikan kamu. Lihat, kamu sekarang lagi sakit dan di rumah cuman sendiri, gimana Mama enggak khawatir. Kalian itu tumbuh bersama, kalau ada masalah ya di selesaikan jangan cuman diem-dieman aja. Pokoknya ini sudah menjadi keputusan Mama, kamu mau setuju atau tidak terserah."

     Adila menghela napas melihat punggung tegap Mama nya yang mulai menghilang di balik pintu. Apa yang Mama nya bilang memang benar, tapi bukan berarti dirinya tidak mau menyelesaikannya, hanya saja dia belum siap membuka kembali luka lama di hatinya.

     Setiap dia mengingatnya, kepalanya serasa akan pecah. Otaknya memaksa dirinya mengingat suatu hal yang terlupakan, tetapi semakin dia mengingatnya semakin sakit kepalanya.

     "Kak, apakah aku melupakan sesuatu yang sangat penting? Kenapa aku merasa ada yang sesuatu yang terlupakan?" tanya Adila kepada wanita cantik dengan dress putih yang berdiri di depannya.

     "Aku cuman ingat...pertandingan dengan Noval beberapa bulan yang lalu, tetapi kenapa ada yang janggal? Dan siapa yang merencanakan kejadian di sekolah? Itu tidak mungkin hanya kebetulan. Seolah-olah ini semua sudah ada yang merencanakan, tetapi siapa? Black Lotus? Fairi? Atau siapa?"

     Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otaknya, tetapi satupun tidak ada yang bisa dia jawab. Dirinya seperti sedang mengalami lupa ingatan.

     (Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap. Perlahan-lahan semuanya akan kembali lengkap, siap tidak siap itu semua harus kamu hadapi)

TBC.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status