Aku telah tidak tahu apa yang benar-benar diriku inginkan untuk saat ini. Gairah gelap yang aku miliki bahkan sudah tidak pernah kurasakan hadir ketika dekat dengan perempuan.
Oleh karena itu, aku mungkin akan berusaha untuk mendapatkan gairahku kembali. Aku tahu bagi beberapa orang, ini merupakan hal yang sangat menjijikkan dan kotor.
Akan tetapi, jika tak memiliki gairah nafsu, bagaimana bisa aku merasakan cinta dan kasih sayang?
Dalam sebuah hubungan, gairah sangat dibutuhkan dan aku kini bertekad untuk mendapatkannya kembali.
Di sebuah bar, kulihat beberapa perempuan tengah menikmati beberapa botol bir. Kuhampiri mereka tanpa berbasa-basi, langsung duduk di meja yang satu kursinya masih tersedia.
Ketiga perempuan tersebut segera menatapku heran.
“Yo! Gue boleh, kan, gabung di sini? Kalian nggak keberatan, kan?”
Satu dari mereka terlihat agak cuek, lalu dua lainnya menanggapiku dengan senyuman getir.
“Ada a
Sebelumnya, aku tidak pernah terlibat sebuah perkelahian dengan siapa pun. Sekesal dan semarah apa pun diriku pada seseorang, lebih baik pergi daripada harus merepotkan diri sendiri.Setelah mendapatkan pukulan yang cukup telak menghantam wajah, aku segera bangkit dan mengelap darah yang telah mengalir dari gusi.“Gue kasih lo kesempatan. Kalau lo nggak mau dapet bogem gue lagi, jangan ikut campur dan pergi dari sini!” kelakar laki-laki berambut gondrong yang sekarang sedang mencengkeram tangan Tasya.Menanggapi kebaikan hati si lelaki gondrong, aku hanya tersenyum dan sesekali mengeluarkan tawa. Yah, kata-katanya memang cukup keren.Hanya saja, aku merasa tidak bisa lepas dari sebuah tanggung jawab untuk membantu orang lain yang terlibat masalah. Apalagi masalah yang jelas-jelas di depan mataku.“Nggak apa-apa. Thanks atas kesempatan lo. Tapi, kayaknya gue lebih milih buat nolongin itu cewek.”Para pelanggan lain di
Kini, kami tengah duduk di ranjang sebuah hotel mewah terdekat dari bar. Sejak beberapa menit yang lalu, Tasya tampak telah mempersiapkan diri untuk melakukan hubungan panas denganku.Walau demikian, gairah di dalam diriku tetap tak merespons. Ibarat memanggil seseorang, tapi karena tuli, akhirnya tak ada tanggapan berarti.Yah, setidaknya hanya seperti itulah perumpamaan yang bisa kutuliskan.“Kita tadi udah pemanasan, kan, nih. Terus ….”Tasya tak melanjutkan. Dia terlihat jauh lebih canggung dari sebelumnya. Ketika melakukan kissing beberapa waktu lalu, aku menduga bahwa perempuan ini sudah cukup ahli.Maksudku, bibir dan pengecapnya terkesan sudah biasa melakukan kissing sehingga tidak terasa kaku.Sebelum mengambil tindakan berarti, aku mengembuskan napas panjang, lalu menarik Tasya agar menatapku.“Apa … perlu gue buka dulu? Pakaian gue.”Mungkin karena diriku seorang bintang film ini
Suasana yang begitu tenang di sebuah restoran mewah tengah kota diiringi oleh gesekan alat musik biola. Sungguh syahdu dan terasa damai.Kutatap Kiana yang sedang menyantap makanan yang beberapa waktu lalu dipesannya. Steak ukuran jumbo.“Kenapa kamu menatap aku kayak gitu, Adrian? Kamu nggak makan? Hampir dingin makanannya.”Walau demikian, mataku tak berpaling sedikit pun. Entah mengapa, akhir-akhir ini ada keraguan yang bersemayam di kepala mengenai kehadiran gadis tersebut.Aku terlampau berpikir tentang pertemuan kami dan segala hal yang pernah kami lewati bersama-sama.Emosiku pun tak stabil. Suasana hati yang buruk telah tidak ingin pergi dari hati.“Nggak ada. Gue cuma seneng lihat lo makan dengan lahap.”Dia pun tertawa pelan, lalu menghabiskan potongan Steak terakhirnya.Sambil mengambil segelas air putih yang tersedia di hadapan, dia berkata, “Orang makan, kok, dilihatin? Seharusnya kamu
Usai kejadian di restoran, aku mengurung diri lagi di kamar yang diselimuti kegelapan. Tidak ada yang tahu secara pasti ke mana Kiana setelah itu.Bahkan aku sendiri yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba saja gadis tersebut tidak lagi ada di tatapanku. Oleh hal tersebut, aku benar-benar syok sampai-sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak.Aku menekuk kedua kaki dan bersandar di sudut ruangan sambil menelungkup diri dengan selimut. Teramat dalam luka yang aku dapatkan.Kejadian itu semakin menguatkan pendapat Carissa dan Elaine bahwa diriku tengah mengalami penyakit mental.Tidak, tidak. Jauh di lubuk hati, aku berharap ini hanya sebuah tekanan mental biasa yang sering terjadi dan menyerang siapa pun.Bisa saja aku stres dan tidak sadar bahwa kesehatanku menurun.Dan entah mengapa, aku tertawa seorang diri meratapi hal-hal aneh yang akhir-akhir ini terjadi. Emosi di dalam diri naik-turun. Amarah kadang tidak bisa kukendalikan sehingga mel
“Berhenti, Karina. Gue udah nggak bisa ngerasain gairah apa pun. Percuma aja lo berusaha bikin gue terangsang.”Seketika itu, tangan Karina yang tengah mengelus-elus beberapa bagian tubuhku berhenti. Dia menatapku dengan lamat.“Apa gue nggak boleh berusaha agar lo bisa lagi bergairah?”“Nggak bisa. Gue udah mencobanya berkali-kali. Gue nggak ada keinginan untuk melakukan aktivitas panas sama siapa pun.Bahkan gue udah mencobanya dengan gadis yang baru gue kenal. Percuma aja. Gue hanya mempermalukan diri sendiri dengan memperlihatkan kebodohan gue.”Tatapan yang dipenuhi rasa simpati. Kutahu bahwa Karina merupakan orang yang paling tidak bisa melihat sahabatnya bersedih atau kesusahan.Sejak dulu, dia selalu memaksa diri sendiri melakukan sesuatu agar sahabatnya bisa tersenyum kembali dan tidak terluka.Seperti itulah Karina yang kuketahui sejak dulu. Kurasa, dia sekarang menjadi sosok yang sangat p
Dengan pace yang cukup cepat, pengecap Karina bergerak di leher dan turun ke perutku. Sementara itu, tangannya mengelus-elus pahaku.“Gimana, Adrian?” tanyanya, lalu melanjutkan aktivitasnya yang sebenarnya tidak pernah kuinginkan.Dengan pasrah, aku telentang, membiarkan perempuan ini melakukan apa pun dengan tubuhku. Kini, kedua tangannya membuka kancing kemeja yang kukenakan.Aku merasa bahwa tindakannya sangat buru-buru. Bahkan terkesan bahwa dialah yang menginginkan hal ini.Mungkin dia telah merasakan gairah itu memuncak secara drastis setelah masing-masing emosi kami bergelora, meledak ke permukaan.“Gue nggak ngerasa pengin.”Terlepas sudah semua kancing kemeja, kini ia melepaskan kain bermotif kotak-kotak yang didominasi warna merah tua.Dengan posisi menindih tubuhku, Karina menggosok-gosokkan tangannya di amunisi kelelakianku. Matanya memancarkan harapan dan gairah yang telah berada di luar kendali.
Kiana masih membaringkan kepalanya di dada bidangku sambil sesekali mengelus bagian punggung.Sementara itu, diriku belum juga bisa memahami arti kalimatnya barusan. Yah, maksudku, aku tahu dia mengakui sebuah kebenaran bahwa telah menyayangi lelaki sepertiku.Akan tetapi, biasanya Kiana mengucapkan kata-kata cinta meskipun dia hanya menganggap diriku sebagai seorang teman. Tak lebih dari itu.“Maksud lo mencintai gue sebagai seorang teman? Bukannya lo udah sering bilang gitu?”Dengan tetap berbaring, dia menggeleng-gelengkan kepala.“Bukan, Adrian. Maksudku dalam arti yang lebih spesifik dari sekadar teman.”Dan pikiranku mulai menebak-nebak maksud dari kalimatnya tersebut. Tak ada arti lain yang bisa menjelaskan kalimat Kiana. Jika bukan mencintai sebagai teman, itu berarti dirinya sudah jatuh ke lubang pesonaku.Sesuatu yang lebih spesifik itu kurasa merupakan cinta yang artinya telah dipersempit sebagai jal
Hubungan panas yang kami lakukan berakhir dalam satu malam yang begitu indah, penuh kenikmatan. Aku tidak menyangka bahwa Kiana benar-benar bisa membangkitkan gairah di dalam diriku.Rasanya sungguh berbeda dengan bagaimana aku melakukannya bersama beberapa perempuan lain.Dan saat ini, Kiana masih tidur lelap di balik selimut dengan menggunakan dadaku sebagai bantal. Dia amat manis. Aura cantiknya terasa sangat kental. Aku sangat menyukainya.Permainan kami yang liar betapa kuingat di dalam pikiran. Sungguh tak dibayangkan bahwa Kiana memang tipe perempuan yang selama ini aku cari.Perlahan, Kiana membuka mata, lalu melihatku yang tak juga tidur.“Kamu belum tidur, ya, Adrian? Nggak baik, loh. Tidur aja sebentar,” ucapnya dengan nada suara yang begitu pelan dan perhatian.Salah satu hal yang paling aku takutkan sebenarnya adalah kehilangannya lagi, sehingga itulah aku cukup takut mataku terpejam.“Nggak apa-apa, Kia