Kiana masih membaringkan kepalanya di dada bidangku sambil sesekali mengelus bagian punggung.
Sementara itu, diriku belum juga bisa memahami arti kalimatnya barusan. Yah, maksudku, aku tahu dia mengakui sebuah kebenaran bahwa telah menyayangi lelaki sepertiku.
Akan tetapi, biasanya Kiana mengucapkan kata-kata cinta meskipun dia hanya menganggap diriku sebagai seorang teman. Tak lebih dari itu.
“Maksud lo mencintai gue sebagai seorang teman? Bukannya lo udah sering bilang gitu?”
Dengan tetap berbaring, dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Bukan, Adrian. Maksudku dalam arti yang lebih spesifik dari sekadar teman.”
Dan pikiranku mulai menebak-nebak maksud dari kalimatnya tersebut. Tak ada arti lain yang bisa menjelaskan kalimat Kiana. Jika bukan mencintai sebagai teman, itu berarti dirinya sudah jatuh ke lubang pesonaku.
Sesuatu yang lebih spesifik itu kurasa merupakan cinta yang artinya telah dipersempit sebagai jal
Hubungan panas yang kami lakukan berakhir dalam satu malam yang begitu indah, penuh kenikmatan. Aku tidak menyangka bahwa Kiana benar-benar bisa membangkitkan gairah di dalam diriku.Rasanya sungguh berbeda dengan bagaimana aku melakukannya bersama beberapa perempuan lain.Dan saat ini, Kiana masih tidur lelap di balik selimut dengan menggunakan dadaku sebagai bantal. Dia amat manis. Aura cantiknya terasa sangat kental. Aku sangat menyukainya.Permainan kami yang liar betapa kuingat di dalam pikiran. Sungguh tak dibayangkan bahwa Kiana memang tipe perempuan yang selama ini aku cari.Perlahan, Kiana membuka mata, lalu melihatku yang tak juga tidur.“Kamu belum tidur, ya, Adrian? Nggak baik, loh. Tidur aja sebentar,” ucapnya dengan nada suara yang begitu pelan dan perhatian.Salah satu hal yang paling aku takutkan sebenarnya adalah kehilangannya lagi, sehingga itulah aku cukup takut mataku terpejam.“Nggak apa-apa, Kia
“Hentikan semua ini, Adrian!” pekik Carissa ketika dia melihatku tak mengenakan sehelai pun kain. “Tidak saya sangka, penyakit mentalmu semakin parah, Adrian!”Dia menatapku dengan tajam, berusaha mengintimidasi diriku. Sedangkan, aku sendiri terbengong dengan mata terbelalak.Carissa tak sendirian, tetapi ia bersama Elaine yang tengah bersandar di dinding sambil menyesap rokoknya.“Kamu sangat mengecewakan, Adrian!”“Woy, woy! Yang benar aja! Lo nggak lihat gue lagi—”Kosong. Kiana benar-benar lenyap hingga akhirnya membuatku lebih terkejut mengetahui kenyataan tersebut.“Kiana?! Kiana! Kiana!” Berkali-kali aku berteriak, perempuan itu tak juga menampakkan keberadaan.Aku mungkin telah menjadi gila. Sekarang, diriku hanya bisa menutup wajah menggunakan dua tangan, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangku.“Dari awal, saya sudah mengatakannya p
Saat membuka mata, lalu melihat jam yang terletak di atas nakas, jarum pendek telah menunjukkan pukul 10.00 pagi.Aroma masakan menguar hingga kamarku dan memicu rasa lapar yang sangat kuat. Akhirnya, tak berselang lama, perut pun berbunyi, menandakan telah ingin diisi oleh makanan yang lezat.Ternyata, aku bisa tidur juga. Dini hari itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang jelas, aku hanya mengingat bahwa Carissa dan Elaine bisa lebih banyak menenangkan diriku.“Hai, Adrian! Selamat pagi, Sayang! Kamu sudah bangun ternyata.”Suara Carissa yang penuh semangat langsung menular pada diriku. Ditambah senyumannya yang merekah. Dirinya yang mengenakan celemek berwarna hitam terlihat sangat manis.Tak lupa, rambut panjangnya itu diikat dengan gaya kucir sehingga dirinya yang lebih tua dariku tidak terlihat cukup dewasa.“Bangunlah, Adrian. Ayo, sarapan dulu. Saya sudah membuatkanmu banyak sekali makanan. Kamu harus segera
Di suatu sore, ketika aku lagi-lagi termenung di sofa sendirian, ada banyak hal yang kepalaku coba telaah dan hati terbilang masih cukup sulit untuk merasa.Hal-hal yang telah terjadi terasa begitu ganjil dan seolah-olah ingkar dari kenyataan. Dunia yang penuh kebahagiaan, akhirnya menjadi dilema untuk terus dijalani atau ditinggalkan saja.Beberapa hari ini, Carissa tinggal di rumahku. Yah, aku memang sudah tak keberatan dengan keberadaannya. Sebab, dia telah jauh berbeda dari pertama kali bertemu dengannya.Tidak ada lagi pertengkaran yang terjadi di antara kami. Malah, dia dengan sukarela selalu membuatkan makan untukku, membelikan sesuatu jika perlu, serta melakukan beberapa pekerjaan rumah yang terbilang sangat malas aku kerjakan.Seperti yang kalian ketahui, aku tidak punya yang namanya asisten rumah tangga. Oleh sebab itu, Carissa-lah yang melakukannya untukku.“Kamu lagi nyantai, ya, Adrian.”Wanita ini duduk di sampingku
Aku mengakui cukup kebingungan dalam beberapa waktu dan hanya bisa tertunduk sambil berpikir. Sementara itu, Carissa tetap berbicara.Entah mengapa wanita ini sekarang berbicara dan bertindak seperti Kiana. Dan yang membuatku cukup tercengang ialah senyumannya yang begitu hangat dan hampir tak ada perbedaan dengan Kiana.“Ada apa, Adrian?” Carissa mungkin telah menyadari bahwa diriku sudah terlihat berbeda.Maksudku, aku tidak lagi terlihat menikmati obrolan kami. Memang benar, bahwa suasana hatiku perlahan-lahan kembali memburuk dengan praduga yang semakin membingungkan.Kuangkat kepala dan tatap wajah Carissa dengan tajam. Dia mengernyit heran.“Lo berusaha meniru Kiana!”Carissa terdiam sejenak. Kami hanya bersitatap dalam beberapa waktu terakhir. Tanganku masih Carissa genggam, tetapi elusannya telah perlahan berhenti.“Apa sekarang saya terlihat seperti Kiana bagimu?” Dia justru bertanya balik.
“Di taman inilah tempat gue pertama kali ketemu dengan Kiana. Bukan, maksud gue, saling bicara.”Carissa bergerak maju menuju bangku memanjang yang merupakan tempat diriku dan Kiana pertama kali saling berkomunikasi. Sebelum mulai duduk, dia menatap bangku tersebut.Setelah mengempaskan pantat, Carissa berkata, “Ayo, duduk di sini, Adrian.”Kutanggapi tawarannya dengan anggukan pelan, lalu duduk di sebelah Carissa. Hampir tak ada jarak di antara kami. Dan debaran jantungku masih sama seperti beberapa waktu lalu.Hal yang menjadi perhatianku ialah, Carissa yang selalu tampil begitu elegan. Mengenakan gaun dengan rok selutut yang membuat dirinya terlihat sepantaran denganku.Nyatanya, dia sedikit lebih tua dan dewasa dariku.Kini, aku tertunduk menatap rerumputan kering tempat kakiku berpijak. Tak lama, Carissa meraih lenganku dan menggandengnya.Kontan aku terkejut dan menatapnya. Dia pun tersenyum dengan kehang
Rembulan malam telah mulai meninggi di kubah langit. Para pengunjung taman, demikian telah berkurang satu per satu. Sementara aku dan Carissa, masih menikmati malam indah ini dengan saling memancarkan keyakinan agar lebih kuat dan terarah.Tiba-tiba, Carissa terkikik pelan.“Saya jadi merasa muda kembali malam ini, Adrian.”Padahal bagiku, Carissa masih sangatlah muda. Mungkin jiwanya yang terlewat dewasa. Hanya saja, secara fisik, dia masih terlihat muda dengan kulit yang kencang dan bersih.Sama seperti Elaine yang sebenarnya di usia yang tak lagi terbilang muda, seharusnya kecantikan wanita itu memudar. Akan tetapi, dalam pandanganku, dia masih terlihat sangat elegan. Dan tentu saja, kerap kali membangkitkan gairah di dalam diri.“Bagi gue, lo masih muda, Carissa. Mungkin jiwa lo aja yang kelewat dewasa.”“Oh, ya?!” Carissa terkesima. “Saya jadi senang sekali malam ini. Memang tidak ada penyesalan
Tak bisa aku memasrahkan seluruh tubuh diganyang habis oleh Carissa. Maka, hanya aktivitas ringan yang kami lakukan.Ketika bibirku menempel pada bibir tipis Carissa, seketika kulihat Kiana berdiri di belakang wanita ini sambil menyunggingkan sebuah senyuman.Kontan saja kuhentikan aktivitasku dengan Carissa. Dengan tatapan nanar, aku memandang lurus. Namun, Kiana tak benar-benar ada di tempatnya berdiri barusan.“Ada apa, Adrian?”Tentu saja, Carissa bertanya dan mulai meneliti arah pandangku.Aku begitu takut jika pada akhirnya Kiana akan marah dan berpaling dariku. Meski sebelumnya, ketika bersama Carissa, keberadaannya telah samar dan kepalaku melupakannya sejenak.“Kiana. Gue lihat Kiana di sana berdiri.”Dahi Carissa mengerut. Segera dia beranjak bangkit dari sofa dan menuju ke arah yang aku tunjuk.“Di mana, Adrian?”“Di samping lemari itu.”Wanita tersebut ba