“Carissa! Wow! Kamu sama ….”
Tiba-tiba saja, seorang perempuan menghampiri dan terlihat sangat terkejut sambil menunjuk diriku.
“Oh, kenalin. Adrian, dia teman saya, namanya Tika.”
“Salam kenal, Tika. Gue—”
“Kamu Adrian Satria Sanjaya?!” potongnya dengan segera, masih dengan wajah terkejut dan mulut menganga.
Carissa yang melihat ekspresi temannya itu pun tertawa kecil.
“Maafkan dia, Adrian. Orangnya memang seperti ini. Palingan, dia mengenalmu sebagai aktor film.”
“Ya! Gue tahu, dong, si Adrian ini. Ya, ampun. Sebuah keberuntungan bisa bertemu dengan orang yang sangat terkenal.”
Tak sungkan, teman Carissa bernama Tika ini memegang-megang rahangku, seperti sedang memeriksa keaslian wajahku saja.
“Tika, jangan lakukan itu. Kebiasaanmu dari dulu tidak pernah berubah,” ketus Carissa yang tak suka akibat perlakuan Tika padaku.
Sejak tiba di rumah setelah pulang dari resepsi pernikahan itu, Carissa tak pernah angkat bicara. Begitu juga denganku yang terlalu bungkam dan tak punya keberanian untuk mengatakan sesuatu.Bahkan, Carissa langsung menuju kamarnya tanpa mengucapkan apa pun padaku. Hal ini cukup membuatku kebingungan.Namun, hati meminta untuk melakukan sesuatu hingga akhirnya memutuskan untuk menuju kamar Carissa.Sayang. Kamar itu tertutup rapat. Aku tak tahu apakah dikunci atau tidak.“Carissa.”Aku mengetuk pintu berkali-kali. Belum ada tanggapan dari wanita ini.“Sorry, kalau gue bikin lo sedih. Gue bener-bener nggak bermaksud untuk ikut campur dalam masalah lo.”Aku tetap berdiri di depan pintu, berharap Carissa menampakkan diri dan mau bicara lagi denganku.Mungkin aku telah salah paham tentang hubungan kami. Carissa masih menutup diri dariku. Sehingga itulah dia tidak ingin menceritakan sesuatu yang sangat pribad
Cukup lama Carissa menatapku dengan mata terbelalak. Dia mungkin tidak percaya bahwa aku akan mengatakan kalimat tersebut.Atau kemungkinan lain ialah bahwa dirinya masih menutup hati untuk laki-laki lain.Akan tetapi, selang beberapa saat, dia justru tertawa terpingkal-pingkal.“Lah, kenapa lo malah ketawa?” tanyaku sembari menggaruk-garuk tengkuk.“Sebentar, sebentar. Berikan saya waktu buat tertawa dulu, Adrian.”Sebisa mungkin aku tak terpicu amarah. Sebab, kuyakin bahwa Carissa tak bermaksud menertawakan perasaanku.Aku memang tak mengatakannya secara gamblang. Namun, kutahu Carissa orang yang peka terhadap reaksi seseorang.Dia pun mengembuskan napas panjang. Tawanya mungkin telah habis dan kini siap bicara.“Jadi, apa maksud perkataanmu barusan, Adrian?”“Yah, seperti yang lo denger. Gimana kalau lo jadi istri gue?”“Istri?”“Iya, istr
Sambil tersenyum kecut, aku berkata, “Ah, mana mungkin lo suka sama cowok sakit jiwa kayak gue, Carissa.”Namun, wanita ini semakin erat menggenggam tanganku. Sehingga pada akhirnya, aku terlampau nyaman.Wajahnya yang sendu pun secara terus-menerus kusaksikan. Carissa yang sangat cantik. Jika terlalu memikirkannya, sangat tidak mungkin aku rela jika dia pergi dari hidupku.“Saya akan mengakui sesuatu, Adrian.”Terdiam diriku menanti Carissa melanjutkan perkataannya.Dia mengerjap beberapa kali, menarik napas yang cukup dalam. Kemudian, dia mulai buka suara.“Saya benar-benar telah jatuh cinta padamu.”Untuk kesekian kalinya, mataku terbelalak. Tak mungkin wanita ini begitu cepat memiliki perasaan cinta padaku.Aku merasa tak pernah melakukan hal istimewa padanya. Sedangkan, dirinya terlalu sering berbuat kebaikan padaku.“Saya tahu kamu tidak percaya, Adrian. Tapi, inilah yang s
Aktivitas panasku dengan Carissa terhenti seketika oleh sebuah suara yang bernada cukup tinggi. Segera aku turun dari ranjang, demikian dengan Carissa yang saat ini terlihat cukup terkejut.“Elaine?”Carissa terlihat cukup tegang menghadapi tatapan Elaine. Tatapan mereka cukup sengit.Akan tetapi, akhirnya Carissa kalah sehingga mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Bergantian Elaine menatapku.Kerutan di dahi dan kedua alisnya yang mulai turun, sudah tentu ini merupakan tanda-tanda bahwa dirinya tengah menahan amarah.“Sorry, gue nggak bermaksud ….”Secepat kilat tangan Elaine menyambar Carissa dan membawanya keluar kamar. Keduanya bicara setengah berbisik.Telingaku tak bisa menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi, ini hal yang sangat mencurigakan bagiku.Apakah Elaine cemburu padaku karena melakukan hubungan dengan Carissa yang merupakan saudarinya?Bisa jadi seperti itu, kan?
Bahkan meski semalam telah terjadi suasana menegangkan di antara kami, Carissa tetap tersenyum dan bersikap seperti biasanya di pagi ini.“Selamat pagi, Adrian.”Dan seperti yang kuduga, dia telah wangi. Rambutnya terlihat setengah basah yang berarti bahwa dia baru saja selesai mandi.Wangi parfumnya yang menguar di udara menjadi satu-satunya kesegaran yang membuat pagiku terkesan baik.“Oh, pagi, Carissa.”Segera aku bangkit dan merapikan tempat tidur.“Pagi ini, masak bareng, yuk.”Mulutku ternganga karena mendengar ajakan tersebut. Tak biasanya seorang perempuan mengajak laki-laki sepertiku untuk masak bersama.Yah, lagi pula, aku tidak pandai memasak. Menggoreng telur saja bisa berserakan di mana-mana dan aku terlalu takut terkena percikan minyak dari penggorengan.“Tidak mau?”“Mau, kok. Siapa bilang nggak mau.”“Habisnya, kamu tidak lan
“Kamu pasti capek, Adrian. Biar saya bantu saja, ya.”Carissa berusaha mengambil satu kertas plastik berisi bahan makanan. Sebenarnya, aku tak ingin membiarkan dirinya membantu.Sebab, isinya penuh dan cukup berat.“Nggak usah. Gue bisa sendiri. Lo siapkan aja peralatan dapurnya sana.”“Sudah. Jangan ngeyel. Sini, saya bantu.”Seperti yang terlihat, wanita ini memang keras kepala dan membuatku menyerah. Kuberikan saja padanya satu untuk dibawa masuk.Akan tetapi, saat membuka pintu, Carissa tiba-tiba sempoyongan. Tangannya bertumpu pada daun pintu.Aku segera berlari menggapai tubuhnya.“Carissa?!” Suaraku bernada panik. “Lo nggak apa-apa?”Digerak-gerakkannya kepala seperti orang yang tengah pusing.“Udah gue bilang. Gue aja yang bawa semuanya. Ya, ampun. Lo ngeyel banget, deh.”Kini, Carissa kembali berdiri. Namun, masih jelas kulihat
“Adrian.”Diriku terpukau, terkesiap, terkagum, dan entah kata apa lagi yang bisa mendeskripsikan keterkejutanku atas penampilan Carissa malam ini.Dia mengenakan Maxi Dress. Sebuah gaun panjang yang hampir menyapu tanah, didominasi warna merah dengan motif bunga.Hal yang paling membuatku terkejut ialah bahwa dua gundukannya yang terlihat sangat terbuka, sempat membuat kedua pipiku menimbulkan rona kemerahan.Apalagi melihat gaya rambutnya yang diikat dengan model Beehive. Itu semakin membuatnya terlihat sangat dewasa.Tidak, tidak. Ini penampilan yang jauh berbeda dari saat dia mengajakku ke resepsi pernikahan waktu itu.“Saya sudah siap.”Dia berdiri beberapa jarak dariku sambil membawa dompet besar menggunakan kedua tangan.Kuanggukkan kepala, sebab mulut masih terkatup bungkam.Sekarang, dia malah tertawa melihat ekspresiku.“Kamu kenapa, sih, Adrian?”“Eh? Ngg
Aku dan Carissa berjalan-jalan di sekitar taman setelah selesai makan bersama di restoran. Wanita ini menggandeng tanganku dengan mesra, lalu membaringkan kepala di bahuku. Tentu saja, sambil berjalan seperti itu.“Saya baru kali ini merasa sangat nyaman bersama seseorang, Adrian. Selain kamu, tidak ada lagi yang membuat saya begitu nyaman.”Memang benar bahwa Carissa memiliki raut wajah yang begitu dewasa. Hanya saja, kadang dia terlihat sangat manja dan childish.Bukan apa-apa, sih.Aku pun begitu senang ketika dia memasrahkan seluruh hidupnya untukku. Kurasa, diriku begitu berharga baginya dan itu kerap kali membuat suasana hatiku sangat baik.Kuhentikan langkah di bawah pohon yang cukup besar dan tinggi.“Lo ternyata bisa kelihatan kekanak-kanakan juga, ya.”Carissa mengangkat kepala dan menatapku.“Memangnya salah kalau saya bertindak kekanak-kanakan?”“Nggak salah, kok. Gue