“Kiana?”
Aku mengernyitkan dahi kala melihat seorang perempuan dengan wajah yang begitu mirip dengan Kiana tengah berjalan di tepian jalan.
Rasa penasaran yang tumbuh di dalam benak tidak bisa aku redam sehingga membuat diriku memarkir mobil di tepian jalan.
Setelah itu, aku mengikuti ke mana perempuan itu menjejak. Tak lama, smartphone-ku bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk.
“Halo.”
“ADRIAN! KAMU DI MANA?! INI SUDAH JAM DELAPAN LEBIH!”
Aku terkesiap mendengar teriakan Elaine di ujung telepon.
“Aduh, ngomong yang pelan, apa! Iya, iya. Gue segera ke agensi.”
“CEPAT! KAMU SUDAH DITUNGGU OLEH TIM!”
Sambungan telepon terputus. Karena panggilan barusan, aku jadi kehilangan jejak perempuan yang mirip dengan Kiana.
Sialnya, aku harus segera ke agensi karena ada pemotretan mendadak. Kuembuskan napas panjang dan kembali ke tempat mobilku terparkir.
Yang tak membuatku habis pikir ialah perempuan bernama Diana ini sangat mirip dengan sosok Kiana. Entah, sikap dan sifatnya.Akan tetapi, kesan pertamaku padanya begitu mencengangkan. Tak kusangka karena ini bukanlah ilusi semata.“Salam kenal, ya. Aku Diana Amel. Orang-orang sering memanggilku Diana.”Bahkan kini saat tersenyum pun, dia benar-benar terlihat seperti Kiana. Entah berapa kali lagi harus kukatakan, tetapi seperti itulah kenyataannya.“Diana?”Tatapanku masih saja kosong dan lebar.“Iya, Diana.”“Ada apa, Adrian? Teringat sesuatu?” Kilat cahaya di mata Elaine kembali muncul.Yah, dia pasti sudah bisa menebak bahwa diriku beranggapan tentang perempuan bernama Diana ini mirip dengan seseorang yang ada di dalam imajinasiku.“Nggak ada.” Maka, aku segera membenarkan ekspresi wajah. “Gue Adrian Satria Sanjaya. Lo bisa panggil gue Adrian.”
“Okay. Semua udah selesai, kan? Jadi, gue boleh pulang sekarang.”“Pulang?”Elaine mengurungkan niatku untuk beranjak bangkit.“Lah, emangnya apa lagi yang harus gue lakuin? Semuanya udah selesai, kan? Ya, lebih baik gue pulang, kan?”“Tidak bisa, Adrian. Kamu masih punya satu pekerjaan yang harus diselesaikan.”Yah, perasaanku tidak enak melihat senyuman licik di wajah Elaine. Bergantian aku menatap Diana yang sedari tadi hanya diam.“Ada apa?” Diana menyadari diriku yang tengah memperhatikannya.“Nggak apa-apa.”“Adrian dan Diana, kalian harus melakukan usaha pendekatan. Sebaiknya, kalian mengenal satu sama lain untuk kepentingan film yang akan kalian perankan.”Ah, sudah kuduga. Sepertinya, aku memang tidak akan bisa melarikan diri dari pekerjaan yang satu ini.Walau demikian, aku sebisa mungkin akan berusaha tidak membawanya ke
Kuembuskan napas panjang sebagai tanda lega. Hampir saja truk pengangkut barang itu menghantam mobilku.Kutolehkan pandangan ke arah Diana. Matanya terbelalak dan terkesan sangat kaget. Aku pikir dia sangat trauma dengan kejadian barusan.“Hampir aja, Adrian,” ucapnya dengan nada datar.Walau demikian, dia pun terkikik pelan seolah-olah urusan hidup dan mati barusan merupakan sebuah lelucon yang patut ditertawakan.Oh, hebat sekali perempuan ini. Dia sama sekali tidak syok atas kejadian tersebut dan justru tertawa sekarang.“Lo … ketawa? Apa lo sama sekali nggak syok?”Setelah tawa Diana reda, dia menanggapi pertanyaanku.“Maaf, Adrian. Aku syok banget tadi. Tapi, akhirnya kita bisa selamat. Aku pikir kita bakalan mati hari ini.”Seperti bertolak belakang dengan apa yang dia ucapkan. Ah, terserah sajalah. Mungkin memang benar bahwa perempuan ini terlalu menikmati hidupnya.Bahka
Diana melempar tasnya ke atas sofa, lalu mengempaskan pantat sambil mengembuskan napas lega.“Sampai juga, deh, kita!”Sementara itu, aku masih berdiri dan membisu menyaksikan tingkah Diana yang seperti para perempuan pada umumnya.“Ada apa, Adrian? Apa kamu nggak suka sama rumahku?”“Oh, nggak, kok. Rumah lo bagus dan besar. Udah kayak istana.”Dia tertawa pelan mendengar tanggapanku. Dan aku masih menatap ke sekeliling ruangan luas ini. Ada berbagai foto yang dipajang di dinding dengan berbagai ukuran bingkai.Juga televisi di sebelah lemari besar berisi barang-barang koleksi, entahlah apa saja.“Ayo, duduk dulu. Aku akan buatkan kamu minuman sama kue yang enak banget.”Mendengar tawaran tersebut, segera aku duduk di sofa kecil. Namun, sebelum pantatku menyentuh sofa, Diana berujar, “Aduh, jangan di situ, dong!”“Hah? Kenapa emangnya?”Kini,
“Melakukan? Maksud lo?” Aku sedikit bergeser untuk memberikan sedikit jarak dengan Diana.Namun, dia masih memegang rahangku. Apalagi, kepalanya sangat dekat sehingga embusan napasnya pun terasa jelas menerpa wajahku.“Melakukan, ya, melakukan, Adrian.”Lantas, aku mengernyit. Sebenarnya aku tidak bingung dengan kalimatnya. Sudah jelas, “melakukan” yang ia maksud mengarah pada aktivitas seksual.Lagi pula, raut wajah seriusnya itu sudah mengatakan dengan jelas. Dia tak lagi terlihat riang seperti gadis di bangku sekolah.“Nganu maksud lo?”“Ya. Apa pun istilahnya. Itu yang aku maksud. Gimana menurutmu?”Segera aku lepaskan tangan Diana yang mencengkeram rahangku semakin erat, lalu mengalihkan pandangan dari tatapnya.Bisa-bisa aku tersihir oleh pesonanya. Lagi pula, aku tidak ingin menambah beban di kehidupanku yang sekarang. Meski memang melakukan hal panas itu sudah
Sebelum Diana menyambar bibirku, segera kuhentikan dengan menempelkan tangan di bibirnya.“Sorry, gue kebelet kencing. Gue boleh pinjem toilet?”Diana pun mengembuskan napas gusar. Dia menarik kepalanya dan duduk tegak, lalu menjauh dari tubuhku.“Ya, ampun. Ada aja, deh. Ya, udah. Kamu tinggal lurus ke sana aja. Toiletnya ada di sana.”Tak menunggu lama, aku pun segera berjalan menuju tempat yang Diana tunjukkan. Sebenarnya, sih, aku tidak begitu ingin kencing.Hanya saja, aku berusaha untuk mempersiapkan diri. Tiba di toilet, aku menatap wajah pada cermin yang terpasang di atas wastafel sambil memikirkan apa yang seharusnya kulakukan agar terhindar dari jerat Diana.“Mampus, dah! Gue harus gimana, lagi?” gumamku menatap cukup lama bayangan diriku pada cermin.Tidak munafik juga, sih. Tubuh sintal mungil Diana itu kupastikan sudah bisa membuat diriku berkhayal sampai langit ketujuh.Benar-be
Kenikmatan telah berakhir, yang tersisa hanya rasa lelah. Diana masih berbaring di dada bidangku dengan napas menderu.“Aku nggak nyangka. Baru kali ini aku dapat kenikmatan yang bener-bener indah, Adrian.” Senyumannya mengembang. Matanya menatapku dengan teduh.Tak lama, dia bangkit dan menjauh dari tubuhku. Diana memasang kacamatanya kembali, lalu menarik napas yang begitu dalam.“Aku bersyukur banget bisa pindah dari luar negeri.”Ketika aku duduk dan berniat menyeruput kopi yang masih tersisa setengah cangkir, smartphone di saku celanaku bergetar.Segera aku rogoh dan melihat di layar telah tampil nama penelepon. Ada sekitar 50 panggilan tidak terjawab, seketika membuatku terbelalak.“Kenapa, Adrian?” Diana mulai meneliti diriku.“Nggak ada.”Semua panggilan tersebut dari Carissa. Dia pasti sangat khawatir dengan diriku karena hingga pukul 03.00 dini hari belum juga pulang.
Di dapur, kulihat Carissa berkutat dengan masakan. Dia tampak memotong-motong wortel. Segera kuhampiri dan meraih pinggangnya.Carissa cukup terkejut, lalu menyadari keberadaanku.“Adrian?” Bola matanya memicing.“Ini gue, Carissa.”Wanita ini menghentikan aktivitasnya. Sesekali, ia tersenyum dan tertawa kecil.“Apa yang kamu lakukan, Adrian?”“Nggak boleh?”“Boleh, tapi saya sedang memasak, Adrian.”“Nggak apa-apa. Gue akan melihat lo memasak. Gue cuma mau ngasih perhatian sama lo. Soalnya, udah lama banget gue sibuk sendiri sampai lupa sama lo.”Tangan Carissa kembali bergerak, memotong beberapa wortel untuk dijadikan sup, kurasa.Sementara itu, aku menatap rambutnya yang diikat dengan gaya kucir. Kudekatkan kepala di leher wanita ini dan membaringkannya di bahu Carissa.“Apa selama ini gue udah bikin lo sedih?”Dia