Kuembuskan napas panjang sebagai tanda lega. Hampir saja truk pengangkut barang itu menghantam mobilku.
Kutolehkan pandangan ke arah Diana. Matanya terbelalak dan terkesan sangat kaget. Aku pikir dia sangat trauma dengan kejadian barusan.
“Hampir aja, Adrian,” ucapnya dengan nada datar.
Walau demikian, dia pun terkikik pelan seolah-olah urusan hidup dan mati barusan merupakan sebuah lelucon yang patut ditertawakan.
Oh, hebat sekali perempuan ini. Dia sama sekali tidak syok atas kejadian tersebut dan justru tertawa sekarang.
“Lo … ketawa? Apa lo sama sekali nggak syok?”
Setelah tawa Diana reda, dia menanggapi pertanyaanku.
“Maaf, Adrian. Aku syok banget tadi. Tapi, akhirnya kita bisa selamat. Aku pikir kita bakalan mati hari ini.”
Seperti bertolak belakang dengan apa yang dia ucapkan. Ah, terserah sajalah. Mungkin memang benar bahwa perempuan ini terlalu menikmati hidupnya.
Bahka
Diana melempar tasnya ke atas sofa, lalu mengempaskan pantat sambil mengembuskan napas lega.“Sampai juga, deh, kita!”Sementara itu, aku masih berdiri dan membisu menyaksikan tingkah Diana yang seperti para perempuan pada umumnya.“Ada apa, Adrian? Apa kamu nggak suka sama rumahku?”“Oh, nggak, kok. Rumah lo bagus dan besar. Udah kayak istana.”Dia tertawa pelan mendengar tanggapanku. Dan aku masih menatap ke sekeliling ruangan luas ini. Ada berbagai foto yang dipajang di dinding dengan berbagai ukuran bingkai.Juga televisi di sebelah lemari besar berisi barang-barang koleksi, entahlah apa saja.“Ayo, duduk dulu. Aku akan buatkan kamu minuman sama kue yang enak banget.”Mendengar tawaran tersebut, segera aku duduk di sofa kecil. Namun, sebelum pantatku menyentuh sofa, Diana berujar, “Aduh, jangan di situ, dong!”“Hah? Kenapa emangnya?”Kini,
“Melakukan? Maksud lo?” Aku sedikit bergeser untuk memberikan sedikit jarak dengan Diana.Namun, dia masih memegang rahangku. Apalagi, kepalanya sangat dekat sehingga embusan napasnya pun terasa jelas menerpa wajahku.“Melakukan, ya, melakukan, Adrian.”Lantas, aku mengernyit. Sebenarnya aku tidak bingung dengan kalimatnya. Sudah jelas, “melakukan” yang ia maksud mengarah pada aktivitas seksual.Lagi pula, raut wajah seriusnya itu sudah mengatakan dengan jelas. Dia tak lagi terlihat riang seperti gadis di bangku sekolah.“Nganu maksud lo?”“Ya. Apa pun istilahnya. Itu yang aku maksud. Gimana menurutmu?”Segera aku lepaskan tangan Diana yang mencengkeram rahangku semakin erat, lalu mengalihkan pandangan dari tatapnya.Bisa-bisa aku tersihir oleh pesonanya. Lagi pula, aku tidak ingin menambah beban di kehidupanku yang sekarang. Meski memang melakukan hal panas itu sudah
Sebelum Diana menyambar bibirku, segera kuhentikan dengan menempelkan tangan di bibirnya.“Sorry, gue kebelet kencing. Gue boleh pinjem toilet?”Diana pun mengembuskan napas gusar. Dia menarik kepalanya dan duduk tegak, lalu menjauh dari tubuhku.“Ya, ampun. Ada aja, deh. Ya, udah. Kamu tinggal lurus ke sana aja. Toiletnya ada di sana.”Tak menunggu lama, aku pun segera berjalan menuju tempat yang Diana tunjukkan. Sebenarnya, sih, aku tidak begitu ingin kencing.Hanya saja, aku berusaha untuk mempersiapkan diri. Tiba di toilet, aku menatap wajah pada cermin yang terpasang di atas wastafel sambil memikirkan apa yang seharusnya kulakukan agar terhindar dari jerat Diana.“Mampus, dah! Gue harus gimana, lagi?” gumamku menatap cukup lama bayangan diriku pada cermin.Tidak munafik juga, sih. Tubuh sintal mungil Diana itu kupastikan sudah bisa membuat diriku berkhayal sampai langit ketujuh.Benar-be
Kenikmatan telah berakhir, yang tersisa hanya rasa lelah. Diana masih berbaring di dada bidangku dengan napas menderu.“Aku nggak nyangka. Baru kali ini aku dapat kenikmatan yang bener-bener indah, Adrian.” Senyumannya mengembang. Matanya menatapku dengan teduh.Tak lama, dia bangkit dan menjauh dari tubuhku. Diana memasang kacamatanya kembali, lalu menarik napas yang begitu dalam.“Aku bersyukur banget bisa pindah dari luar negeri.”Ketika aku duduk dan berniat menyeruput kopi yang masih tersisa setengah cangkir, smartphone di saku celanaku bergetar.Segera aku rogoh dan melihat di layar telah tampil nama penelepon. Ada sekitar 50 panggilan tidak terjawab, seketika membuatku terbelalak.“Kenapa, Adrian?” Diana mulai meneliti diriku.“Nggak ada.”Semua panggilan tersebut dari Carissa. Dia pasti sangat khawatir dengan diriku karena hingga pukul 03.00 dini hari belum juga pulang.
Di dapur, kulihat Carissa berkutat dengan masakan. Dia tampak memotong-motong wortel. Segera kuhampiri dan meraih pinggangnya.Carissa cukup terkejut, lalu menyadari keberadaanku.“Adrian?” Bola matanya memicing.“Ini gue, Carissa.”Wanita ini menghentikan aktivitasnya. Sesekali, ia tersenyum dan tertawa kecil.“Apa yang kamu lakukan, Adrian?”“Nggak boleh?”“Boleh, tapi saya sedang memasak, Adrian.”“Nggak apa-apa. Gue akan melihat lo memasak. Gue cuma mau ngasih perhatian sama lo. Soalnya, udah lama banget gue sibuk sendiri sampai lupa sama lo.”Tangan Carissa kembali bergerak, memotong beberapa wortel untuk dijadikan sup, kurasa.Sementara itu, aku menatap rambutnya yang diikat dengan gaya kucir. Kudekatkan kepala di leher wanita ini dan membaringkannya di bahu Carissa.“Apa selama ini gue udah bikin lo sedih?”Dia
“Wah, rumahmu bagus banget, ya, Adrian!” seru Diana sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu.Sedangkan aku begitu takut dengan kehadiran perempuan ini.“Ada apa lo datang ke sini, Diana?” tanyaku dengan jantung yang berdebar dan pikiran bahwa Carissa pasti akan terluka lagi akibat kehadiran perempuan ini.“Hmm? Emangnya aku nggak boleh datang ke rumahmu ini, Adrian?”Kini, Diana menghadap diriku. Sebelum menjawab pertanyaannya, hidungnya menciumi aroma masakan Carissa.“Kamu tinggal sama siapa di rumah besar ini, Adrian? Apa kamu punya pembantu?”Aku tak menanggapi pertanyaan tersebut. Lagi pula, aku tidak akan membiarkan Diana bertemu secara langsung dengan Carissa.“Kok diem? Ah, boleh aku ke dapurmu, kan? Aku mau bantuin masak juga kalau perlu.”Kontan saja kucegah Diana yang baru akan melangkah. Aku merentangkan kedua tangan dan berkata, “Nggak
“Diana?!”Seperti yang sudah kuduga, masalah ini akan menjadi semakin rumit. Lagi pula, aku sudah mengetahui dari awal bahwa Diana tidak akan tinggal diam karena seperti itulah dirinya.Dia terlampau penasaran dan akhirnya melakukan kebodohan seperti mengacak-acak privasi orang lain.Atau mungkin aku juga yang salah. Entahlah.“Oh, gitu. Jadi, alasan kamu nggak mau aku bantu-bantu di dapur karena ada cewek super cantik ini, Adrian?”Senyuman Diana miring, tatapannya menyipit. Sementara itu, kulihat Carissa mengernyit.Diriku? Jangan tanya. Berkali-kali aku menelan saliva dan berusaha menenangkan diri atas pertemuan dua perempuan ini.Diana bergerak maju mendekati diriku dan Carissa. Kini, dia berdiri di hadapanku sambil meneliti Carissa.“Tamunya dia, Adrian?”Mendengar pertanyaan Carissa, terlihat kerutan di dahi Diana. Mungkin dia tidak suka disebut sebagai tamu. Yah, aku juga tidak
Aku terkejut bukan main atas tindakan yang diambil Carissa. Dengan sangat keras, dia menampar Diana hingga bergeming.Pipi kanan perempuan berkacamata ini terlihat merah, terlihat bekas tangan Carissa. Suasana di penjuru ruangan menjadi pekat. Aku belum bisa buka suara. Terkatup bungkam karena tatapan Carissa yang begitu tajam mengintimidasi Diana.“Maaf, tangan saya terpeleset.”Hanya itu yang Carissa katakan, lalu membuang pandangan ke sembarang arah sambil menyilangkan tangan.Benar-benar diriku tidak menyangka bahwa sang kekasih ternyata bisa seganas itu. Mungkin emosi telah tidak bisa ia kendalikan dengan baik, hingga akhirnya meledak ke permukaan.“Terpeleset, ya,” lirih Diana dengan kepala menunduk.Mampus! Aku jadi tak tahu harus melakukan apa. Tak tahu diriku bagaimana untuk mendinginkan suasana.“Maaf.”Carissa melangkah dan kembali berkutat dengan panci dan penggorengan.Nap