Affan mulai mewujudkan keinginan Ishita dengan mendirikan sekolah musik yang diberi nama "Trio Angel Music." Saga dan Tifa juga sudah mulai masuk sekolah di Sekolah Dasar Internasional. Promosi pembukaan sekolah musik bukan saja di televisi melainkan juga di sosial media, radio maupun di surat kabar.
"Nazim, aku besuk lusa harus ke Singapura, tolong jaga Ishita dan anak-anakku ya?" pinta Affan.
"Kok mendadak?" sahut Nazim.
"Sebenarnya sudah rencana sejak kemarin sih tapi belum sempat memberitahukannya."
"O begitu?" kata Nazim bisa menerima.
Affan harus berbohong kalau dia harus ke Singapura untuk urusan kerja. Padahal beberapa hari ini dia sering mimisan bahkan badannya semakin lemah. Dia ingin kembali menemui Dokter Roby yang menangani penyakit kanker Affan.
"Tapi kamu tidak lama kan di Singapura?" tanya Nazim.
"Mungkin dua Minggu di sana, Nazim!" jawab Affan ragu.
"Papa, antar Tifa cari sepatu olah raga yuk!" pinta Ti
Ishita memeluk dengan penuh kasih sayang. Dadanya sesak mendengar pertanyaan Bella yang menyentuh hatinya. "Allah sayang sama Bella, di balik kekurangan Bella, pasti ada sesuatu yang bisa mama dan papa banggakan. Mungkin sekarang belum ada yang tahu, suatu saat pasti semua orang akan bangga," kata Ishita menghibur. "Apa yang bisa dibanggakan dari anak cacat seperti saya, Tante?" "Kamu cantik dan berhati mulia, pasti sekolah kamu cerdas kan?" tanya Ishita dengan lembut. "Saya selalu rangking satu, Tante," jawab Bella bangga. "Tuh dia, dari sinar mata kamu yang indah dan bersinar tajam Tante yakin kamu anak yang berbeda," jawab Ishita menghibur. "Suara Tante seperti Tante Shita, mamanya Tifa dan Saga," ujar Bella pelan. Kedua tangannya yang mungil mengusap kedua pipi Ishita. Perlahan tangannya bergeser ingin melepas masker dan Ishita hanya diam dan pasrah. Kini masker itu telah terlepas dan Bella menatap kagum kepada Ishita.
"Pa, jangan paksa Bella bermain piano! Papa tahu itu tidak mungkin, tangan Bella yang sebelah tidak berfungsi. Aku hanya akan jadi bahan tertawaan orang lain, Pa," gumam Bella pelan dan putus asa. "Sayang, jangan putus asa, kalau kamu bersemangat pasti bisa. Darah yang mengalir di tubuh kamu adalah darah pianish terkenal," jawab Ahem bangga. "Siapa pianish itu? Papa?" sahut Bella bertanya. "Bukankah papa terinspirasi Tante Shita dan kedua anaknya?" tanya Bella lagi sambil berbisik lirih. Ahem terperanjat dan menatap tajam gadis cilik itu. Ada pertanyaan yang tak terucap dari bibir Ahem. "Apakah kamu tahu bahwa mereka adalah keluargamu? Apakah Intan keceplosan dan membuka segalanya?" "Pa, aku cacat, tidak seperti mereka yang sehat, papa jangan berharap banyak dari Bella ya! Aku takut papa kecewa," ujar Bella bersedih. "Ya udah yang penting Bella mau mencoba ya? Jangan menyerah dulu!" Ahem meminta. "Iya Pa, tapi papa jangan berhara
Ahem dan Bella terpaku dan terpana menyaksikan penampilan Ishita yang luar biasa. Lagu Bollywood Hamari Adhuri Kahani adalah lagi yang pas dengan perasaan mereka bertiga. "Pa, aku mau belajar piano juga biola kepadanya," pinta Bella kepada Ahem. "Iya, papa setuju, tadi papa meremehkan dia sebagai gadis culun yang udik, tidak meyakinkan. Tapi ternyata papa salah," gumamnya lirih. "Dia tampil sangat memukau," gumam Bella lirih. Mereka berdua menatap penuh kekaguman. Begitu permainan musiknya selesai tepuk tangan dari Ahem dan Bella bersamaan. "Kenapa aku jadi ingat Ishita. Ingat saat kita kolaborasi di atas panggung saat ulang tahunku sepuluh tahun yang lalu," batin Ahem. "Kenapa aku jadi ingat mama Ishi," batin Bella. "Terima kasih," ucap lembut Ishita sambil membungkukkan tubuh sebagai penghormatan. "Luar biasa!" ucapnya di tengah-tengah tepuk tangannya. "Dari 25 orang pelamar kamulah yang terhebat," lanjutnya.
Ishita terus menguping pembicaraan Indrayana dengan Intan dan mamanya. Meskipun dia memunggungi mereka dan pura-pura fokus melatih senam jari kepada Bella. "Pa, desak anak buah papa untuk lebih serius lagi mencari keberadaan Ishita dan dan anak-anaknya. Kalau mereka bersatu sama Ahem hancurlah hidupku, Pa! Lebih baik aku mati!" ujar Intan mengancam. "Sayang, kamu bilang apa? Sekarang papa lagi mengusahakan yang terbaik demi kebahagiaanmu," sahut mamanya sambil mendekap tangan Intan memberi dukungan. "Percayakan semua sama papa, sayang! Aku tidak mau hidupmu kamu sia-siakan begitu," hibur Indrayana. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel Indrayana berdering telepon dari anak buahnya masuk. "Iya halo?" sapa Indrayana. "Bos ada kabar dari Singapura," ujar anak buah Indrayana melapor. "Singapura? Kabar apa?" tanya Indrayana terkejut. "Tuan Affan sedang sakit dan berobat ke rumah sakit," ujarnya. "Apa Affan sakit
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan
Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te
Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se