Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya.
"Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya.
"Iya beginilah," jawab Affan asal.
"Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut.
"Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim.
"Terima kasih, Kak Nazim."
Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali.
"Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem.
"Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita.
Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
"Awas, Nek!" Ishita menjerit dan mendorong seorang nenek yang sedang menyeberang jalan. Bragk! Ishita tertabrak dan jatuh terguling di atas jalan aspal. Dia tak sadarkan diri. Masyarakat berkerumun mulai menolongnya. Ada beberapa pemuda geram dengan ulah sopir yang mengebut. "Turun kamu! Tadi kamu nyetir sambil main telpon kan?" hardik salah seorang. "Dia perempuan!" seru yang lain. "Ayo turun, atau kita hancurkan mobil ini! Tanggungjawab dong!" sahut yang lain lagi. "Iya saya tanggungjawab, jangan main hakim sendiri dong!" ketus sopir wanita itu. "Bawa dia masuk ke mobilku, aku akan bawa dia ke rumah sakit!" lanjutnya lebih ketus lagi. Mereka membantu Ishita masuk ke mobil dan dua orang sedang menemaninya. Sesampai di rumah sakit sopir cantik yang bernama Intan itu berteriak, "Dokter ... Suster ...!" Dua orang perawat datang dengan membawa brankar. Dengan hati-hati Ish
Wajah ayahnya yang tersiksa dengan nafas yang tersengal-sengal, seolah nyawanya sudah di ujung kerongkongan, selalu terbayang jelas di mata Ishita. Kalau terjadi apa-apa dengan ayah bukan saja Ishita yang terluka, tapi Ririn akan lebih menderita dan selalu menyalahkannya. Ishita terus meruntuki dirinya sendiri yang masih ragu dan dilema dengan pilihannya. Jalan keluar yang tidak akan terbuka untuk kedua kalinya, masih membuat Ishita ragu dan terus berkecambuk dalam benaknya. "Bagaimana kalau aku terlambat karena terlalu banyak berpikir? Apakah perlu Mas Affan mengetahui semua ini?" pikirnya dalam hati. Wajah ayahnya kembali hadir di pelupuk mata Ishita. Menambah lengkap penderitaan dan rasa sakitnya. Luka karena operasi dan sakit di seluruh tubuh Ishita, tidaklah sesakit menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dengan nafasnya di ujung kerongkongan. "Sampai kapan kamu terus berpikir, Ishi? Ayahmu sudah separah itu, apa sih yang menjadi pert
Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah. "Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan. Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang." "Ahem?" pekik Intan terkejut. Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas. Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba
Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem. Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita. Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter. Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya. "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat. "Kamu masih di r
Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri. Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam. "Ayolah Ishita! Kita nant
Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan
Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b