Wajah ayahnya yang tersiksa dengan nafas yang tersengal-sengal, seolah nyawanya sudah di ujung kerongkongan, selalu terbayang jelas di mata Ishita. Kalau terjadi apa-apa dengan ayah bukan saja Ishita yang terluka, tapi Ririn akan lebih menderita dan selalu menyalahkannya.
Ishita terus meruntuki dirinya sendiri yang masih ragu dan dilema dengan pilihannya. Jalan keluar yang tidak akan terbuka untuk kedua kalinya, masih membuat Ishita ragu dan terus berkecambuk dalam benaknya.
"Bagaimana kalau aku terlambat karena terlalu banyak berpikir? Apakah perlu Mas Affan mengetahui semua ini?" pikirnya dalam hati.
Wajah ayahnya kembali hadir di pelupuk mata Ishita. Menambah lengkap penderitaan dan rasa sakitnya. Luka karena operasi dan sakit di seluruh tubuh Ishita, tidaklah sesakit menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dengan nafasnya di ujung kerongkongan.
"Sampai kapan kamu terus berpikir, Ishi? Ayahmu sudah separah itu, apa sih yang menjadi pertimbangan berat kamu sehingga kamu masih ragu menentukan jalanmu?" tanya Intan yang masih berdiri mematung di samping Ishita.
Dret... Dret ... Dret...! Ririn lagi yang menelepon. "Apakah dia mengabarkan kalau ayah ... oh tidak!" pikir Ishita.
"Iya, Ririn?" tanyanya saat telepon diangkat.
"Kak Ishi, aku butuh uang untuk perawatan ayah di ICU, perawat menyuruh aku ke administrasi sekarang."
"Iya Ririn," jawab Ishita sambil menatap Intan dengan tak ragu lagi. Kemudian dia menutup teleponnya.
"Aku bersedia memberimu seorang bayi, tapi ada syaratnya," kata Ishita datar, setelah salaman dia merenung dan berpikir.
"Syarat? Katakan!" jawab Intan dengan tanpa ragu lagi.
"Yang pertama, aku ingin dinikahi secara sah di kampung halamanku. Ayahku seorang pemuka agama, aku tidak mau melukai hatinya dengan hamil di luar nikah. Aku ingin melahirkan anak yang sah menurut agama maupun negara demi statusnya. Mbak Intan jangan khawatir, setelah anak itu lahir kita bercerai," jawabnya menyakinkan.
Intan terbelalak dengan permintaan sebagai syarat pertama itu. Walaupun sebenarnya masuk akal juga. "Bagaimana kalau di belakang hari banyak masalah timbul karena ini? Ah tidak, kamu belum tahu siapa aku, kamu tidak bisa bermain-main denganku!" pikir licik Intan.
"Ok, aku terima syarat pertama dari kamu, apa syarat keduanya?" tanyanya dengan ringan.
"Syarat kedua, aku tidak mau inseminasi buatan, aku ingin proses alami. Inseminasi adalah jalan terakhir kalau kemungkinan karena ada masalah dan mengharuskan jalan itu ditempuh." kata Ishita penuh keyakinan.
"Jadi kamu berharap disentuh suamiku? Kamu yakin? Suamiku sudah berumur lo, kamu mau tidur dengan om-om," gertak Intan.
Dalam hati Intan sangat geram dengan persyaratan kedua Ishita. Tidak pernah terlintas dibenak Intan, dia tersudut dengan persyaratan yang di ajukan Ishita.Tak pernah juga terlintas dibenak Intan, suaminya menikah lagi dan tidur dengan istri barunya. Ini dilema berat bukan saja buat Intan tapi juga buat Ishita.
"Aku yang harus kendalikan permainan ini bukan kamu , Ishita! Aku akan buat perjanjian tertulis yang kelak akan menjeratmu. Kubuat kamu tidak pernah melihat suamiku, sampai dia menceraikan kamu." pikirnya bersiasat licik.
"Sebenarnya syarat kedua itu sangat berat buat aku, tapi aku terpaksa menyetujuinya. Tapi nanti ada perjanjian pranikah yang harus kamu tandatangani, bersediakah kamu?"
"Perjanjian pranikah? Setuju, aku bersedia, Mbak Intan," jawab Ishita.
"Oke, deal?" tawar Intan sambil menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan.
"Deal," jawab Ishita sambil menyambut tangan Intan.
"Sekarang juga ku transfer, mana nomer rekening adik kamu? Sekalian nomer telepon kamu dan adik kamu juga!" pinta Intan.
"Kenapa butuh nomer telepon Ririn, Mbak Intan?" tanya Ishita.
"Kamu jangan berpikiran jelek dulu, aku cuma ingin mengetahui kabar ayahmu lewat dia langsung," jawab Intan.
Akhirnya Ishita mengirimkan nomer yang dibutuhkan Intan lewat chat.
Dan saat itu juga Intan mentransfer sebesar 100 juta ke rekening Ririn untuk biaya operasi Herlambang. Dan saat itu juga Ishita mengabari Ririn agar bisa melakukan tindakan operasi secepatnya. Ternyata karena keadaan Herlambang belum stabil membuat operasi harus di tunda. Dua hari kemudian operasi itu baru bisa dilakukan, kare tergolong operasi besar.
***
Intan bergegas masuk ke ruang kerja papanya. Sebagai pemilik rumah sakit dimana Ishita sedang dirawat. Kebahagiaannya dicurahkan kepada Indrayana. Mereka berpikir daripada mencari anak angkat atau anak pungut, ini adalah jalan yang terbaik. Apalagi wanita penyewa rahim itu Intan yang mencarinya, dan kebetulan sekali bukan kriteria Ahem.
"Bagaimana dengan wajahnya?" tanya Indrayana.
"Cantik sih, tapi dia pendek dan kecil, norak serta dekil. Dia anak udik banget, baru datang dari kampung, Pa," kata Intan menjelaskan.
"Emangnya Ahem mau gadis macam itu, bukan tipenya?" sahutnya bertanya.
"Papa, aku cari anak, bukan istri baru buat Ahem. Kalau aku kasih yang sempurna entar dia jatuh cinta, gimana hayo?" hardik manja Intan.
"Pinter juga kamu."
"Yang jelas mereka harus saling tutup mata saat bercinta. Biar Ahem bisa mencumbu wanita udik dan dekil itu, hik ...hik ...hik ..!" tawanya penuh siasat.
"Dan jangan sampai gadis itu melihat suamimu, bisa tertarik dan tergoda dia nanti ...,"
"Tuh Papa paham juga rencana otakku!" sahut Intan.
"Papanya siapa dulu...?" Kemudian mereka ngakak bersama.
"Yang paling penting lagi sayang, jangan sampai dia tahu kalau Ahem seorang CEO. Bisa silau dia nanti, terus tidak mau pergi!" usul Indrayana.
"Kan ada Papa, kalau tidak mau pergi secara halus, bisa...," kata Intan terputus.
"Hust! Itu urusan Papa, sayang."
***
Intan pulang dengan membawa harapan besar, hatinya berbunga-bunga. Cepat-cepat dia ingin menyampaikan kabar gembira ini kepada Ahem.
Bayangan Intan rumah besar dan sepi itu sebentar lagi akan berubah. Ahem dan Intan sudah lama menginginkan kehadiran suara tangis dan tawa anak kecil di rumahnya.
Bagaimana tanggapan Ahem mengenai sewa rahim itu? Setujukah dia bercinta dengan Ishita?
Bersambung ...
Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah. "Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan. Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang." "Ahem?" pekik Intan terkejut. Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas. Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba
Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem. Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita. Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter. Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya. "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat. "Kamu masih di r
Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri. Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam. "Ayolah Ishita! Kita nant
Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan
Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b
Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak
Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny
Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi