Share

2. Bernegosiasi

Wajah ayahnya yang tersiksa dengan nafas yang tersengal-sengal, seolah nyawanya sudah di ujung kerongkongan, selalu terbayang jelas di mata Ishita. Kalau terjadi apa-apa dengan ayah bukan saja Ishita yang terluka, tapi Ririn akan lebih menderita dan selalu menyalahkannya.

Ishita terus meruntuki dirinya sendiri yang masih ragu dan dilema dengan pilihannya. Jalan keluar yang tidak akan terbuka untuk kedua kalinya, masih membuat Ishita ragu dan terus berkecambuk dalam benaknya.

"Bagaimana kalau aku terlambat karena terlalu banyak berpikir? Apakah perlu Mas Affan mengetahui semua ini?" pikirnya dalam hati.

Wajah ayahnya kembali hadir di pelupuk mata Ishita. Menambah lengkap penderitaan dan rasa sakitnya. Luka karena operasi dan sakit di seluruh tubuh Ishita, tidaklah sesakit menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dengan nafasnya di ujung kerongkongan.

"Sampai kapan kamu terus berpikir, Ishi? Ayahmu sudah separah itu, apa sih yang menjadi pertimbangan berat kamu sehingga kamu masih ragu menentukan jalanmu?" tanya Intan yang masih berdiri mematung di samping Ishita.

Dret... Dret ... Dret...! Ririn lagi yang menelepon. "Apakah dia mengabarkan kalau ayah ... oh tidak!" pikir Ishita.

"Iya, Ririn?" tanyanya saat telepon diangkat.

"Kak Ishi, aku butuh uang untuk perawatan ayah di ICU, perawat menyuruh aku ke administrasi sekarang."

"Iya Ririn," jawab Ishita sambil menatap Intan dengan tak ragu lagi. Kemudian dia menutup teleponnya.

"Aku bersedia memberimu seorang bayi, tapi ada syaratnya," kata Ishita datar, setelah salaman dia merenung dan berpikir.

"Syarat? Katakan!" jawab Intan dengan tanpa ragu lagi.

"Yang pertama, aku ingin dinikahi secara sah di kampung halamanku. Ayahku seorang pemuka agama, aku tidak mau melukai hatinya dengan hamil di luar nikah. Aku ingin melahirkan anak yang sah menurut agama maupun negara demi statusnya. Mbak Intan jangan khawatir, setelah anak itu lahir kita bercerai," jawabnya menyakinkan.

Intan terbelalak dengan permintaan sebagai syarat pertama itu. Walaupun sebenarnya masuk akal juga. "Bagaimana kalau di belakang hari banyak masalah timbul karena ini? Ah tidak, kamu belum tahu siapa aku, kamu tidak bisa bermain-main denganku!" pikir licik Intan.

"Ok, aku terima syarat pertama dari kamu, apa syarat keduanya?" tanyanya dengan ringan.

"Syarat kedua, aku tidak mau inseminasi buatan, aku ingin proses alami. Inseminasi adalah jalan terakhir kalau kemungkinan karena ada masalah dan mengharuskan jalan itu ditempuh." kata Ishita penuh keyakinan.

"Jadi kamu berharap disentuh suamiku? Kamu yakin? Suamiku sudah berumur lo, kamu mau tidur dengan om-om," gertak Intan.

Dalam hati Intan sangat geram dengan persyaratan kedua Ishita. Tidak pernah terlintas dibenak Intan, dia tersudut dengan persyaratan yang di ajukan Ishita.Tak pernah juga terlintas dibenak Intan, suaminya menikah lagi dan tidur dengan istri barunya. Ini dilema berat bukan saja buat Intan tapi juga buat Ishita.

"Aku yang harus kendalikan permainan ini bukan kamu , Ishita! Aku akan buat perjanjian tertulis yang kelak akan menjeratmu. Kubuat kamu tidak pernah melihat suamiku, sampai dia menceraikan kamu." pikirnya bersiasat licik.

"Sebenarnya syarat kedua itu sangat berat buat aku, tapi aku terpaksa menyetujuinya. Tapi nanti ada perjanjian pranikah yang harus kamu tandatangani, bersediakah kamu?"

"Perjanjian pranikah? Setuju, aku bersedia, Mbak Intan," jawab Ishita.

"Oke, deal?" tawar Intan sambil menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan.

"Deal," jawab Ishita sambil menyambut tangan Intan.

"Sekarang juga ku transfer, mana nomer rekening adik kamu? Sekalian nomer telepon kamu dan adik kamu juga!" pinta Intan.

"Kenapa butuh nomer telepon Ririn, Mbak Intan?" tanya Ishita.

"Kamu jangan berpikiran jelek dulu, aku cuma ingin mengetahui kabar ayahmu lewat dia langsung," jawab Intan.

Akhirnya Ishita mengirimkan nomer yang dibutuhkan Intan lewat chat.

Dan saat itu juga Intan mentransfer sebesar 100 juta ke rekening Ririn untuk biaya operasi Herlambang. Dan saat itu juga Ishita mengabari Ririn agar bisa melakukan tindakan operasi secepatnya. Ternyata karena keadaan Herlambang belum stabil membuat operasi harus di tunda. Dua hari kemudian operasi itu baru bisa dilakukan, kare tergolong operasi besar.

***

Intan bergegas masuk ke ruang kerja papanya. Sebagai pemilik rumah sakit dimana Ishita sedang dirawat. Kebahagiaannya dicurahkan kepada Indrayana. Mereka berpikir daripada mencari anak angkat atau anak pungut, ini adalah jalan yang terbaik. Apalagi wanita penyewa rahim itu Intan yang mencarinya, dan kebetulan sekali bukan kriteria Ahem.

"Bagaimana dengan wajahnya?" tanya Indrayana.

"Cantik sih, tapi dia pendek dan kecil, norak serta dekil. Dia anak udik banget, baru datang dari kampung, Pa," kata Intan menjelaskan.

"Emangnya Ahem mau gadis macam itu, bukan tipenya?" sahutnya bertanya.

"Papa, aku cari anak, bukan istri baru buat Ahem. Kalau aku kasih yang sempurna entar dia jatuh cinta, gimana hayo?" hardik manja Intan.

"Pinter juga kamu."

"Yang jelas mereka harus saling tutup mata saat bercinta. Biar Ahem bisa mencumbu wanita udik dan dekil itu, hik ...hik ...hik ..!" tawanya penuh siasat.

"Dan jangan sampai gadis itu melihat suamimu, bisa tertarik dan tergoda dia nanti ...," 

"Tuh Papa paham juga rencana otakku!" sahut Intan.

"Papanya siapa dulu...?" Kemudian mereka ngakak bersama.

"Yang paling penting lagi sayang, jangan sampai dia tahu kalau Ahem seorang CEO. Bisa silau dia nanti, terus tidak mau pergi!" usul Indrayana.

"Kan ada Papa, kalau tidak mau pergi secara halus, bisa...," kata Intan terputus.

"Hust! Itu urusan Papa, sayang."

***

Intan pulang dengan membawa harapan besar, hatinya berbunga-bunga. Cepat-cepat dia ingin menyampaikan kabar gembira ini kepada Ahem. 

Bayangan Intan rumah besar dan sepi itu sebentar lagi akan berubah. Ahem dan Intan sudah lama menginginkan kehadiran suara tangis dan tawa anak kecil di rumahnya.

Bagaimana tanggapan Ahem mengenai sewa rahim itu? Setujukah dia bercinta dengan Ishita?

Bersambung ...

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status