Share

5. Pernikahan Kedua Ahem

     Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. 

    Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri.

    Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan  lama sekitar empat jam.

    "Ayolah Ishita! Kita nanti masih perjalanan jauh dan lama!" teriak Intan yang menunggu dengan kesal.

    Ishita keluar, diikuti Ririn, bibi dan pamannya. Kemudian Ishita memeluk Ririn, bibi Jamilah dan pamannya sebelum kemudian berpamitan pergi dan mengucapkan salam perpisahan.

   Ishita dengan bantuan kruknya masuk ke mobil dan melambaikan tangan kepada Ririn, paman dan bibi. Mobil mewah itu perlahan membawanya pergi. Air matanya meleleh teringat ayahnya yang tidak bisa menikahkan dirinya. Dia diam terpaku hatinya sedih, pasrah dengan apapun yang akan terjadi dengan keputusannya menikah.

     Mobil mulai masuk gang menuju tempat kosan Ishita. Gang memang kecil tidak cukup untuk berpapasan mobil lain. Mobil sudah berhenti tepat di rumah kos Ibu Dewi, tapi Intan masih menahannya.

    "Sebentar, masih ada yang ingin aku bicarakan!" kata Intan sambil memegang lengan Ishita.

    "Iya Mbak?" Ishita berhenti dan kembali duduk tenang di mobil.

    "Berarti minggu depan kamu sudah masa subur. Apakah kamu sudah siap? Aku tidak mau menunda-nunda lagi. Bila fisikmu sudah bagus saya kira semakin cepat semakin baik." Kata Intan dengan kaku dan tegas.

    "Kalau minggu depan aku siap, aku akan belajar berjalan lepas dari kruk." Katanya berjanji.

  "Ya sudah, aku akan siapkan semuanya. Pergilah!" Perintah Intan.

  "Baik." Jawabnya sambil mengeluarkan kruknya dan menatanya untuk menopang tubuhnya agar bisa keluar dari mobil. Baru beberapa jejak kakinya melangkah teman-temannya datang menghampiri dan menyambutnya.

   "Ishita, selamat!

   "Ishita, selamat!

   "Sahabatku selamat ya!" seru ketiga sahabatnya bergantian mengucapkan selamat.

     Ishita kebingungan tidak tahu harus bahagia atau bersedih atas ucapan teman-temannya. Apalagi dia juga tidak tahu dari mana berita mengenai pernikahannya, tiba-tiba tercium oleh orang lain. Ishita merasa tidak nyaman takut Intan beranggapan dia telah menyebarkan berita itu. Ishita melirik Intan dan memberi kode ke teman-temannya.

   "Dari mana kalian tahu sih mengenai pernikahanku?" tanya Ishita heran.

   'Dari Ririn, dia mengunggahnya di IG nya. Aku kan mengikuti IG dia." Jawab Nana teman kerja juga teman sekosannya. 

   "Iyakah?" tanyanya tak percaya sambil menggandeng teman-temannya setengah berlari menjauh dari Intan dan mereka diajak masuk. Kebetulan Ishita mengenakan gaun putih gaun pernikahan, yang sederhana tapi lebih nampak kharismatik dan bersinar. Sayang suaminya tidak bisa melihat kecantikannya, dan betapa bersinarnya Ishita dengan gaun pengantin.

   "Dasar orang udik, ember ...aku lupa memberitahu bahwa dia harus merahasiakan pernikahan ini." Pikir Intan dalam hati.

  "Mana suamimu, Ishita? Dia tadi kakaknya ya? Kenapa kamu tidak langsung ke rumah suamimu justru pulang ke kosan?" Nana menyerbu dengan pertanyaan.

  "Kapan-kapan aku cerita, sekarang mari kalian semua aku traktir. Untuk sementara kita makan di rumah makan sederhana, tapi sebentar lagi aku ajak kalian semua makan di restoran ternama untuk orang-orang kelas atas.

  "Memangnya suami kamu orang kaya? Termasuk kalangan orang atas?" tanya Susi salah satu temannya.

  "Aku tidak tahu Susi, tapi aku harus kerja keras untuk mengumpulkan uang agar aku bisa traktir kalian di restouran berkelas." Ungkapnya seolah menyembunyikan sesuatu. Dia tidak mungkin mengatakan kepada teman-temannya bahwa dirinya hanyalah istri simpanan. Yang hanya menyewakan rahimnya untuk seseorang demi uang.

    "Aku bersiap dulu, mandi dan ganti baju. Setelah itu kita makan malam!" ujar Ishita kemudian berlalu pergi ke kamar mandi.

    "Kamu yakin sudah baikan, kamu sudah bisa jalan?" tanya Susi memeriksa.

    "Santai aja, yang penting pelan-pelan. Soalnya masih sedikit ngilu dan sakit. Tapi kuat kok....kita bersenang-senang!" seru Ishita.

    "Oke tarik....!" Seru ketiga temannya.

      ***

    Akhirnya mereka berempat  berboncengan naik motor. Ishita  berboncengan dengan Nana, dan Susi berboncengan dengan Tika. Sambil berkeliling untuk cuci mata sebelum kemudian mencari tempat makan. 

    Ishita dan Nana memang sudah kenal lama karena mereka kebetulan berasal dari desa yang sama. Sepanjang perjalanan mereka berdua bercanda kesana kemari dengan akrabnya. Tiba-tiba mobil mewah mengerem mendadak, membuat Ishita yang pegang setir tidak kuasa mengendalikan rem.

    Brag!

    Ishita menubruk mobil mewah sedan hitam BMW X6.

    "Ishita, apa yang kau lakukan? Kau menubruk mobil mewah!" seru Nana. 

   "Diam, aku tidak salah dia mengerem mendadak." Bentak Ishita.

    Bersamaan itu muncul pemilik mobil mewah itu menghampiri dengan muka seram dan garang, dia adalah Ahem Alfarizi.

    "Apa yang kau lakukan dengan mobilku?" bentaknya dengan emosi. "Oh si hitam manis ku! Lihat, buka matamu... sampai penyok begini ....aduh tergores parah. Kalian harus bertanggungjawab. Ini mobil mahal, untuk catnya saja saya harus inden lama."

    "Kenapa harus aku yang bertanggungjawab? Kan situ yang ngerem mendadak, siapa tahu situ mau berhenti? Tuh ada rambu-rambu dilarang berhenti, tau rambu-rambu ndak?" hardik Ishita berusaha mengelak.

    "Eh orang udik...tolol sok pintar, itu rambu-rambu artinya dilarang parkir disini, sok tau. Dan Kamu tahu aku tidak parkir, aku mengerem. Sok pinter! Harusnya  tuh, kamu jaga jarak." 

    "Situ yang salah kenapa orang lain yang disuruh bertanggungjawab?" bentak Ishita.

    "Tidak bisa, kamu harus bertanggungjawab! Apa aku lapor ke polisi saja?" tantang Ahem.

    "Waduh kalau lapor polisi urusannya jadi panjang dong, kan SIM ku udah mati dua tahun yang lalu." Pikir Ishita dalam hati.

    "Gimana? Mau aku panggil polisi? Aku tahu orang kayak kalian pasti SIM aja tidak punya. Sok kaya.... jangan-jangan motor juga pinjam, bukan punya sendiri?" umpat Ahem.

    "Dasar sombong! Angkuh! Mobil bagus paling juga hasil menipu! Baik aku ganti, aku minta waktu!" jawab Ishita.

    Ketiga temannya saling berbisik, seolah dia mengetahui sesuatu dan ingin disampaikan kepada Ishita. Tapi Ishita tetap fokus pada perdebatan yang akhirnya menyudutkan dirinya.

    " Apa hasil menipu? Mau disumpal itu mulut.....!" Hardik Ahem emosi. "Minta waktu sampai kapan, hah? Satu tahun ...dua tahun? Kalau tidak mampu bilang aja, biar kujadikan kau tukang cuci di rumahku!" ujarnya dengan sombong.

    "Aku pasti tanggungjawab, ini KTP ku cari aku, kalau kau takut aku lari. Dan ingat daripada jadi tukang cuci di rumah kamu mending jadi pengamen jalanan." Gumamnya menahan geram.

    "Pantas!  Aku sekarang lagi sibuk, tidak punya waktu, kalau saja aku longgar pasti akan segera kuselesaikan!" katanya dengan sombong dan berlalu pergi meninggalkan Ishita dan kawan-kawannya.

    Ahem kembali duduk di kursi kemudi, tak sadar dia menyelipkan KTP Ishita di dalam dompetnya dan  kemudian melajukan mobilnya dengan kencang.

    "Ishita, kayaknya om tadi wajahnya kok familier sekali ya?" kata Nana seolah sedang mengingat-ingat.

    "Kamu tuh kalau ada lelaki agak bening dikit pasti ngefans...langsung hafal diluar kepala." Ketus Ishita.

    "Ih kamu bisa aja." Sahut Nana sambil nyengir.

    "Ishita, hari ini apa hari naas mu ya? Kamu ada mimpi ndak semalem? Trus nanti kalau kamu harus ganti rugi mahal sekali, gimana? Tapi kamu kan sudah punya suami, bisa dibicarakan sama dia nanti!" ujar Susi. Tika dan Susi adalah teman sesama kos disitu, mereka bekerja di Supermarket.

   "Iya deh, anggap saja hari ini hari naas ku. Tapi tidak usah dipikirin, kita makan-makan aja!" hibur Ishita pada teman-temannya dan dirinya sendiri.

    Akhirnya mereka berempat makan malam di restouran masakan Padang.

    Membayangkan seandainya mereka tahu, bahwa lelaki yang barusan diajak  berantem adalah lelaki yang dinikahinya tadi siang. Dan wanita yang sedang dipersulit barusan adalah wanita yang baru dinikahinya. Dia adalah istrinya yang diharapkan keturunannya.

    ***

    Ini hari pertama Ishita kembali masuk kerja. Dia masih menggunakan kruk meskipun jalannya sudah mulai normal hanya sedikit linu. 

    Tak lupa Ishita berpesan pada Nana agar berita mengenai pernikahannya, harus dirahasiakan. Dan sebagai sahabat itu merupakan permintaan yang tidak sulit.

    "Pagi Ishita?" sapa Afandy yang nampak bahagia melihat Ishita sudah masuk kerja. Saat Ishita sakit, Afandy sering juga menjenguk. Saat di tumah sakit dia sekali menjenguk. Tapi kalau di rumah dia sudah tiga kali menjenguk. Kini dia sudah mulai masuk kerja. Hati Afandy mulai lega dan nampak bahagia, tidak seperti hari-hari sebelumnya saat Ishita cuti selalu mendung.

   "Kamu yakin sudah sehat, Ishita?" tanya Afandy menghampiri Ishita.

    "Sudah Pak Afan, saya sudah tidak apa-apa." Jawab Ishita.

    "Alhamdulillah, kalau begitu nanti boleh dong temani aku makan siang?" pinta Afan merajuk.

    "Boleh, Pak Afan." Jawab Ishita.

     "Aku harus menerima ajakan pak Afan, aku harus tetap berbaur pada mereka semua. Tidak apa-apa aku sudah menikah. Toh aku belum melihat siapa suamiku. Mungkin suamiku juga belum melihat wajah aku. Aku harus tetap berbaur pada mereka seolah tidak pernah terjadi apa-apa." Batin Ishita.

     Tiba-tiba ponsel Ishita bergetar, dan sesaat dia menatap layar ponselnya. Tertulis nama Mbak Intan pada layar ponsel Ishita.

    "Iya mbak?" sapa Ishita dengan suara pelan.

    "Aku di kosan kamu, kamu dimana?" tanya Intan.

    "Saya masuk kerja Mbak Intan?" Jawabnya. 

    "Kamu sudah masuk kerja? Berarti tubuhmu sudah sehat kan, Ishita?" tanya nya.

     "Maaf Pak Afan, saya terima telepon dulu!" pamit Ishita sambil berdiri dan  meninggalkan Afan.

    "Siapa dia... pacar mu?" tiba-tiba Intan menanyakan itu.

    "Kepala ruangan, Mbak Intan. Ada apa Mbak Intan?

    "Persiapkan dirimu, kamu sudah selesai haid kan? Hitunglah masa suburnya mulai kapan, kamu bisa sampaikan kepadaku. Nanti aku atur pertemuannya dengan suamiku!" pinta Intan penuh rencana.

   "Besuk mulai masa subur, Mbak Intan."

    "Benarkah? Persiapkan dirimu. Besuk siang kita ketemuan. Membahas masalah ini. Ya sudah, selamat bekerja!" ujar Intan. 

    Setelah telepon ditutup, Ishita mulai ganti baju kerja dan mulai kerja. Afan tidak memberikan pekerjaan berat, dikarenakan kondisinya.

    Seperti yang dijanjikan Afan mengajak Ishita makan siang bersama. Akhirnya dia pergi keluar naik mobil Afan untuk pergi makan siang.

Bagaimana suasana malam pertama Ishita dan Ahem?

     Bersambung....

   

    

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status