Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita.
"Auh sakit, Kak!" pekiknya.
"Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir.
"Auh sakit, Kak!" jerit Ishita.
"Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya.
"Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b
Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak
Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny
Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi
Akhirnya Ahem mengangkat telepon dari Intan. Dia bisa menahan perasaannya untuk suatu tujuan yaitu memiliki anak. "Halo sayang?" sapa Intan. 'Kenapa sih ponsel kamu tidak aktif sejak kemarin malam?" hardik Ahem. "Sayang, ponsel aku ketinggalan di butik saat aku membeli baju. Dan aku baru saja mengambilnya pagi ini. Kamu pasti gelisah ya? Aku yakin kamu pasti merindukan aku, meskipun ada wanita lain disishmu, iya kan?" tanya Intan menggoda. "Kamu sudah mengenalku luar dalam, Intan? Sehingga apa yang aku rasakan kamu pun mengetahuinya. Kapan kamu pulang?" tanya Ahem datar. "Besuk Ahem. Bukankah malam ini adalah malam terakhir buat kamu dan Ishita?" tanya Intan seolah mengingatkan. "Iya aku ingat, Intan." Kata Ahem sedih. "Kenapa kamu bersedih? Tidak rela ini menjadi malam terakhir? Udah waktunya ganti aku sayang?
Ahem mulai ditutup matanya dan duduk di bibir ranjang. Hamid mengetuk pintu dan mengajak Ishita masuk. Dia membawa Ishita duduk disamping Ahem. "Bos, saya pergi dulu!" pamit Hamid, kemudian menutup pintu. "Ishita?" sapa Ahem lirih serupa mendesah. Sambil tanganya maraba mencari tangan Ishita. Dan Ishita pun menyambutnya. Setelah tangan mereka bertemu, Ahem pun menarik tubuh Ishita untuk dipeluknya. Akhirnya mereka saling berpelukan. Malam ini Ahem sudah berencana untuk banyak berbagi hati. "Gimana kalau penutup mata ini kita buka saja, Ishita! Kita akhiri permainan gila ini, Ishita!" usul Ahem. "Tidak Kak! Jangan!" sahut Ishita. "Biarkan permainan ini sampai usai. Bila bulan ini aku belum hamil, kita masih akan bertemu lagi. Baru kita buka penutup matanya." Usul Ishita. "Tapi aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita!" pekik Ahem. "Sa
Ahem kembali meraih Ishita dan mendekap erat tubuhnya. "Aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita! Aku takut kita ketemu di jalan aku tidak bisa mengenalimu." Bisik Ahem ditelinga Ishita. "Aku belum siap, Kak!" jawab Ishita lembut. "Sementara ini aku lebih nyaman seperti ini." Lanjutnya. "Baiklah, aku tidak memaksamu. Tapi yang satu ini aku harus memaksamu." Kata Ahem sambil mengangkat dan menggendong tubuh Ishita dan membawanya masuk kamar mandi. Perlahan kaki melangkah karena dia harus hati-hati agar tidak terbentur dinding ataupun pintu. "Apa yang kau lakukan Kak? Kakak ini matanya masih tetap tertutup kan?" tanya Ishita ragu. "Ya iyalah sayang, kau ragu kenapa aku bisa berjalan dengan mata tertutup? Ini rumah aku, tanpa melihat aku hafal." Kata Ahem sambil menurunkan Ishita dibawah shower dan segera membuka krannya. "A
Ishita sampai rumah, langsung tidur tanpa mengecek hadiah dari Ahem. Badannya terlalu capek dan mengantuk. Paginya, seperti biasa dia bangun pagi sekali, setelah sholat subuh dia tidak pergi memasak. Melainkan membongkar hadiah dari Ahem. Dia mulai membongkar kotak perhiasan. Ada gelang dan giwang cantik. Sambil tersenyum Ishita memandangi gelang dan giwang cantik itu. Dia sadar bahwa Ahem sedang memanjakan dirinya. Dirabanya kalung yang sudah dikenakan Ahem, juga cincin berlian yang disematkan semalam. Dia merasa bahagia, bukan karena perhiasannya, tapi kehangatan cinta yang dirasakan semalam masih membekas. Satu persatu paperbag dibukanya, dia membuka gaun-gaun indah dan berkelas yang dibelikan Ahem untuknya. "Aku semakin mencintaimu, Kak Ahem. Kamu memperlakukan aku seperti Cinderella, Kak." Batinnya. Pagi ini, dia malas untuk pergi ke dapur. Badannya terlalu capek dan mengantuk, tapi dia
Dengan bengisnya Ishita marah saat semua kenangan masa lalu itu datang hanya dengan melihat mobil itu. "Kamu memutuskan kontrak dengan tiba-tiba, membuat perusahaan ayahku jatuh bangkrut. Ibuku yang hipertensi, karena terkejut, membuatnya pecah pembuluh darah otak, akhirnya meninggal. Kamu pembunuh ibuku! Sampai sekarang ayahku sakit-sakitan, aku tidak bisa kuliah. Kamu lelaki brengsek itu yang menghancurkan kebahagiaan keluargaku!" tangisnya makin histeris. "Dasar gila, kamu siapa? Aku tidak mengenalmu?" bantah Ahem heran. "Aku anaknya Herlambang, dan perusahaan ayahku Berlian group! Saking banyaknya orang yang kamu sakiti sehingga kamu tidak bisa mengingatnya, iya kan?" Umpatnya semakin berapi-api. "Herlambang? Berlian group?" Ahem masih berusaha mengingat-ingat. "Kembalikan nyawa ibuku! Kembalikan kebahagiaanku! Kamu merenggut semuanya dariku. Harusnya buka