Saat mereka tengah asyik berbincang, mendadak langit yang tadi cerah berubah menjadi gelap. Angin berhembus kencang dan gerimis turun secara tiba-tiba. Izumi, Makoto, dan Tsubaki pun serempak beranjak ke beranda untuk berteduh. Beberapa saat kemudian terdengar suara gerbang yang dibuka dengan terburu-buru. Ryu berlari kecil menuju mereka menghindari gerimis yang turun semakin deras diikuti oleh Kuma dan Shiro di belakangnya.
“Haah, safe~ untungnya hujan baru turun ketika kami hampir sampai di rumah,” ucap Ryu sedikit terengah.
Sementara Tsubaki dan Makoto masuk ke dalam rumah, Izumi dan Ryu tetap tinggal di beranda depan, menikmati waktu sore melihat hujan yang turun membasahi bumi. Angin sesekali berhembus menghantarkan udara yang terasa cukup dingin di kulit. Namun Izumi dan Ryu hanya bergeming. Izumi menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah yang basah oleh hujan.
“Sepertinya akhir-akhir hujan semakin sering turun,” kata Ryu memecahka
Selepas makan malam, Makoto kembali menyinggung rencana piknik yang sempat dia utarakan tadi sore kepada Ryu. Pemuda itu tak banyak berbicara dan hanya mengatakan, “awas saja kalau Tou-san membatalkannya di saat-saat terakhir,” membuat Makoto meringis pelan mendengarnya. “Kau masih dendam dengan Tou-san perihal waktu itu? Padahal itu sudah lama,” ujar Makoto. Ryu hanya mengangkat bahu lalu melengang keluar meninggalkan ruang makan. Izumi ikut pamit menyusul Ryu. Beberapa saat yang lalu Ryu sempat meminta Izumi membantunya menyelesaikan tugas sekolahnya dan diapun mengiyakannya. Kali ini mereka belajar di kamar Ryu. Itu pertama kalinya Izumi masuk ke dalam kamar saudara tirinya. Suasana kamar Ryu sedikit berbeda dengan Izumi. Seluruh bagian dinding di ruangan itu ditempeli stiker dinding berwarna terang, seolah menggambarkan kepribadian Ryu yang ceria. Hampir tiga perempat bagian dindingnya juga ditempeli dengan berbagai poster tim basket dan sepak b
“Haruki-kun.” “Haru.” Izumi membuka kedua matanya dan yang pertama kali terlihat olehnya adalah dua pasang mata yang berbeda warna, lavender dan obsidian, menatapnya dengan wajah penuh senyum. Izumi mengerjapkan matanya bingung. Berpikir bahwa itu hanyalah mimpi belaka, Izumi kembali memejamkan matanya. Namun sentuhan tangan yang mengusap kepalanya saat itu terasa begitu nyata. Mau tak mau membuat Izumi membuka matanya kembali. “Masih mengantuk? Ayo bangun. Hari ini kita akan melihat hanami.” Hanami? Bukankah ini sudah musim panas? pikir Izumi. Dengan segala kebingungannya, Izumi bangkit dari tidurnya. Dia mengucek matanya seolah ingin kembali memastikan kalau semuanya bukan hanya ilusi semata. Saat itu Izumi menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Tangannya terasa lebih kecil dan jari-jarinya terlihat lebih pendek dari sebelumnya. “Eh, tanganku kenapa menjadi kecil begini?” ucap Izumi. Ternyata tak hanya tangannya,
Izumi tersentak dan membuka matanya dengan paksa. Mimpi yang baru saja dia alami, terasa begitu membekas membuat hatinya kembali berdenyut nyeri saat mengingat suara tangisan dirinya yang lain. Tangisan itu terdengar begitu pilu dan putus asa. Izumi menyeka kedua matanya dan mendapati jejak air mata yang belum sepenuhnya mengering di sana. “Eh, kenapa aku juga menangis?” lirih Izumi pada dirinya sendiri. Izumi lantas bangun dan mengedarkan pandangan sekeliling ruangan. Pandangannya sempat berhenti pada jam yang tergantung di dinding. Dalam keremangan Izumi melihat jam itu masih menunjukkan pukul enam pagi kurang sepuluh menit. Dilihatnya Ryu masih tertidur pulas beralaskan futon yang digelar tak jauh dari tempat tidurnya. “Seharusnya dia membangunkanku agar tak perlu tidur di bawah seperti itu,” Izumi kembali bergumam. Dia beranjak turun dari tempat tidurnya dan merapikan selimut milik Ryu seperti semula. “Arigatou, Ryuzaki-kun,” ucap Izumi pada pe
Izumi berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Sampai di area loker kelas 3-A dia bertemu dengan Kaito yang sedang mengganti sepatunya. “Ohayou, Izumi,” sapa Kaito. “Ohayou.” Izumi membuka lokernya, mengganti sepatu kets hitamnya dengan uwabaki putih yang diwajibkan oleh sekolah. Baru setelah itu dia naik menuju kelas bersama Kaito. “Oi, kau baik-baik saja? Wajahmu kelihatan sedikit pucat,” komentar Kaito. “Aku baik-baik saja. Mungkin karena semalam aku kurang tidur saja.” “Eh, begitu. Aku juga sama. Semalam suara hujannya berisik sekali, ditambah suara petir yang menggelegar. Aku bahkan tak bisa memejamkan mata sama sekali. Kuharap di jam pertama tidak ada ulangan mendadak dari Fuyuko-Sensei,” kata Kaito penuh harap. Izumi mengerutkan kening mendengar ucapan Kaito. Dia pikir semalam hanya hujan deras saja. Petir? Apa aku sudah tertidur sehingga tak mendengarnya? pikir Izumi. Mendadak dalam hati ada sedikit rasa tak nyaman yang mengganjal di sana. Pemuda itu menarik nap
Izumi membuka matanya. Sosok gadis berambut silver panjang yang mengenakan seragam olahraga berdiri di hadapannya. “Fujihara-san?” ucap Izumi pelan. Fujihara Yuki, gadis itu, duduk di samping Izumi. “Senpai, daijoubu? Aku sempat melihatmu menggigil tadi. Apa kau demam? Permisi sebentar.” Tanpa Izumi sempat mengatakan apapun, tangan Yuki sudah berada di kening Izumi. Sedangkan tangan gadis itu yang satunya lagi memegang keningnya sendiri. “Sepertinya Senpai sedikit demam,” ucap Yuki sembari menurunkan tangannya dari kening Izumi. “Apa tidak apa-apa jika Senpai diam di sini? Mau kubantu ke UKS?” lanjut Yuki. Izumi menggelengkan kepalanya, kembali menolak orang kedua yang menawarkan bantuan padanya. “Aku akan baik-baik saja setelah beristirahat sebentar,” balas Izumi meski itu bertentangan dengan kehendak tubuhnya setelah itu. Izumi terbatuk, mengerang pelan sambil memegang kepalanya. Saat itulah dia baru menyadari kalau suhu tubuhnya terasa sedikit lebih panas dari biasanya. “Senpai?
[… dokter bilang dia akan baik-baik saja setelah beristirahat dua atau tiga hari ini. Saat ini dia masih belum sadar. Kurasa malam ini aku akan menginap di sini untuk berjaga-jaga…] [… tolong beritahu Ryu-kun agar tak perlu khawatir … arigatou, Makoto-san …] Sayup-sayup suara itu mengusik pendengaran Izumi. Dia membuka mata perlahan. Ruangan bercat putih, aroma disinfektan yang menguar memenuhi udara, cukup memberitahu Izumi di mana dirinya berada saat ini. Iris obsidiannya bergulir lemah mengitari seisi ruangan dan berhenti pada sosok yang berdiri tak jauh dari ranjang tempatnya berbaring. Sosok itu—Tsubaki, terlihat baru saja mengakhiri percakapannya dengan orang yang dia telepon. Wanita itu membalikkan badan menghampirinya dan Izumi bisa melihat rasa lega yang terpancar dari kedua irisnya ketika melihat dirinya sudah terbangun. Tsubaki menarik sebuah kursi mendekat ke sebelah ranjang Izumi lalu duduk di sana. Tangan wanita itu terulur mengelus kepalanya dengan lembut. “Izumi-kun
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi