Share

Dandelion, Wish, and Wind
Dandelion, Wish, and Wind
Penulis: Sasakiya

[1]-Back to Japan

Hari-hari silih berganti. Di sini, di kota ini, banyak hal yang telah berubah. Namun kurasa hanya aku satu-satunya yang tak berubah. Orang-orang datang dan pergi. Kau tahu, aku masih di sini. Di tempat yang sama di mana kita biasa melihat matahari terbenam. Aku masih di sinimenunggumu seperti janji kita. Aku tahu, suatu hari kau pasti akan datang. Musim terus berganti. Musim semi berganti menjadi musim panas, lalu musim gugur, kemudian menjadi musim dingin. Setiap tahun akan selalu terulang. Dan kau tak pernah datang. Apa kau sudah melupakannya? Apa aku satu-satunya orang yang masih mengingat janji itu?

Angin berhembus pelan membuat padang rumput yang dipenuhi ribuan dandelion, terlihat seperti buih ombak di lautan. Beberapa bunga putih kecil itu terlepas dari tangkainya dan beterbangan mengikuti hembusan angin. Sepasang iris berwarna coklat terang, menatap kelopak-kelopak putih yang beterbangan melewati kepalanya. Ia mengangkat tangan seakan berusaha untuk meraihnya. Namun tangannya berakhir menggenggam udara kosong. Sembari mengamati kelopak dandelion yang terbang semakin menjauh, dalam hati ia membisikkan sebuah permohonan kecil.

“Di manapun kau berada, kuharap kelopak dandelion itu membawa harapanku padamu. Aku menunggumu di sini.”

                                                                *****

New York City, Amerika Serikat

Izumi, come on! You’ll be late for the flight!”

“Okay, I’m coming!”

Pemuda yang dipanggil Izumi itu memasukkan barang terakhir ke dalam kopernya dan bergegas membawanya keluar. Begitu keluar senyuman ramah dari sepasang suami istri menyambut langkahnya.

“Are you ready My Boy?” sambut laki-laki itu seraya mengambil alih koper dari tangan Izumi dan membawanya ke dalam mobil. Sembari menggandeng tangan Izumi, sang istri mengikuti langkah suaminya. Dengan penuh perhatian wanita itu membukakan pintu mobil untuk Izumi yang dibalas dengan senyuman penuh terima kasih dari pemuda itu. Dari dalam mobil yang mulai bergerak, Izumi memandang rumahnya yang kini tak lagi berpenghuni. Satu persatu kenangannya di rumah itu tiba-tiba mengalir deras layaknya air hujan, membuat perasaan pemuda delapan belas tahun itu menjadi sesak. Jangan menangis! perintah Izumi pada dirinya sendiri. Ia mengalihkan pandangan, tak lagi menatap ke arah rumahnya. Dari balik kaca kemudi Mr. Sharon menatapnya dengan seksama.

“Are you okay?”

Izumi mengangguk pelan. “I haven’t even gone yet, but I’d missed him already. It’s look like my heart didn’t want to go anywhere,” ujar Izumi. Mr. Sharon tak menjawab. Sebaliknya kini iris amber milik istrinya, Ms. Sharon, menatap Izumi dengan lekat.

“It’s okay. If you don’t want to go, then you don’t have to. You can stay here with us.” Ucapan Ms. Sharon tentu saja membuat iris obsidian milik Izumi membulat, tak percaya dengan ucapan wanita itu.

“Darling! What did you say? You can’t forbid him to go!” tegur Mr. Sharon pada istrinya.

“I didn’t, but why does he have to go while his heart wants to stay. He’ll end up by hurting himself. Izumi, it doesn’t too late. If you want to stay then I’ll talk to them.” Mengabaikan tatapan tajam dari suaminya, Ms. Sharon menatap Izumi dengan penuh kesungguhan. Izumi terdiam sesaat. Kepalanya berusaha merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Ms. Sharon.

“I do love too, but I’ve already promised to him. And I must fulfill what I've promised,” ujar Izumi pelan. Meskipun begitu hatinya memberontak meneriakkan keinginan yang berlawanan. Izumi sangat mengetahui apa yang ia inginkan. Andai saja kembali ke Jepang bukan permintaan terakhir dari ayahnya, pemuda itu lebih suka menghabiskan waktunya di Amerika. Meskipun Jepang adalah tanah kelahirannya, ia tak pernah berharap untuk kembali ke sana suatu saat nanti. Kenangan masa kecil yang menyakitkan, perpisahan kedua orang tuanya, dan pengkhianatan wanita yang ia sebut “ibu” membuat Izumi membenci segala hal yang berkaitan dengan Negeri Sakura itu. Termasuk kenangannya akan cinta pertamanya terkubur bersama dengan rasa bencinya.

“Izumi, kemarilah!” Suara lirih ayahnya yang semakin lemah membuat perhatian Izumi teralihkan. Pemuda itu menutup bukunya dan berjalan mendekati ayahnya. Laki-laki itu menatap putranya dengan lekat. Seulas senyum terukir di wajah pucatnya.

“Tolong, kembalilah ke Jepang. Ibumu merindukanmu.”

Izumi tersentak, tak percaya dengan ucapan yang baru saja ia dengar. Hampir selama sepuluh tahun ini, ayahnya tak pernah menyinggung sedikitpun tentang Jepang ataupun tentang ibunya. Tapi mengapa sekarang

“Bagaimana kalau aku bilang aku tidak ingin kembali?” ujar Izumi lirih.

“Izumi!”

“Apa Ayah lupa bagaimana dia meninggalkan kita dulu. Hanya untuk mengejar kekayaan dia membuang keluarganya. Bagaimana bisa kau memintaku untuk kembali. Aku” Tangan Izumi mengepal menahan emosi. Yoshino Takumi menatap wajah putranya. Mata obsidian yang senada dengan miliknya terlihat begitu terluka.

“Ayah tidak melupakannya, tapi Ayah memilih untuk memaafkan ibumu, terlepas dari rasa sakit yang ia berikan aku sudah memaafkannya. Karena itu, kau juga harus melakukan hal yang sama. Tolong maafkan ibumu dan kembalilah ke Jepang,” ujar Takumi.

“Tou-san....”

“Ayah tahu ini sulit untukmu. Namun Ayah percaya kau bisa melakukannya, Haruki.” Takumi tersenyum memanggil nama kecil putranya.

“We’re arrived.” Suara Mr. Sharon memutus ingatan Izumi tentang percakapan terakhirnya dengan ayahnya. Dengan satu tarikan napas panjang Izumi melangkah keluar dari dalam mobil.

“Hubungi kami jika kamu sudah sampai. Kapanpun kau ingin kembali, kami menyambutmu dengan tangan terbuka,” pesan Ms. Sharon sesaat sebelum Izumi memasuki ruang tunggu. Pemuda itu mengangguk pelan.

“Terima kasih untuk semuanya, Mr. dan Ms. Sharon. Aku pasti akan merindukan kalian,” ujar Izumi. Mr. Sharon  tersenyum dan menjabat tangan Izumi dengan erat. Sementara itu Ms. Sharon memeluknya dengan erat sembari mengusap kepala Izumi dengan sayang.

“Hati-hati di jalan. Kami pasti akan  merindukanmu,” bisik Ms. Sharon dengan suara bergetar. Ia melepas pelukannya dan memandang Izumi dengan lekat. Aura hangat seorang ibu memancar dari wajahnya yang tersenyum. Meskipun begitu Izumi bisa melihat kedua iris amber itu berkilau karena air mata. Izumi mengangguk dan melemparkan senyuman terakhir kepada Mr. dan Ms. Sharon. Pemuda itu kemudian menarik kopernya menuju ruang tunggu bandara.

Izumi menatap gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Di bawahnya Kota New York terlihat seperti ribuan kotak kecil yang tersusun rapi. Izumi menyandarkan kepalanya, berusaha mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata. Dalam hati ia berharap ketika membuka mata nanti semuanya adalah mimpi. Seiring dengan pesawat yang terbang semakin tinggi, Izumi tenggelam dalam mimpinya. Kilasan memori masa kecilnya silih berganti bermunculan dalam mimpi Izumi, seperti sebuah film lama yang diputar berulang-ulang.

“Haruki, selamat datang.”

Izumi tersentak kaget, pemuda itu membuka mata dan menatap sekeliling. Lampu kabin pesawat menyala redup sementara di luar jendela tak satupun pemandangan yang terlihat karena gelap, menandakan malam telah tiba. Izumi menyeka wajahnya dengan tangan, sementara pikirannya kembali mengingat-ingat mimpi yang muncul dalam tidurnya. Sosok anak kecil yang mengucapkan selamat datang padanya, meski wajahnya tak terlihat. Namun iris coklat terang seperti yang selalu muncul dalam mimpinya beberapa hari terakhir ini membuat Izumi yakin bahwa itu adalah “dia”.

Apa kau tahu kalau aku akan kembali? Bahkan kau sampai mengucapkan selamat datang dalam mimpiku, pikir Izumi.

Pemuda itu memandang keluar jendela yang gelap dan kembali tenggelam dalam lamunannya. Tak lama kemudian lamunan Izumi terputus karena kehadiran seorang pramugari yang menawarkan makanan kepadanya. Namun ditolaknya dengan halus. Entah mengapa penerbangan panjang ini tak membuat Izumi merasa lapar sama sekali. “Apa penerbangannya masih lama?” tanya Izumi sebelum pramugari itu pergi.

“Kita akan sampai di Jepang sekitar tiga sampai empat jam lagi.  Anda yakin tak ingin makan sekarang?” tawar pramugari itu lagi. Izumi menggeleng pelan. “Kalau begitu jika membutuhkan sesuatu jangan ragu untuk memberi tahu kami,” ujar pramugari itu seraya tersenyum ramah.

“Baik. Terima kasih,” balas Izumi.

Semburat sinar jingga perlahan muncul dari balik awan yang terlihat sedikit kelabu. Bersamaan dengan itu muncul pengumuman bahwa pesawat yang Izumi tumpangi telah tiba di tempat tujuan—Jepang. Jadi ini benar-benar bukan mimpi ya, batin pemuda itu. Tubuhnya sedikit terguncang ketika pesawat mendarat di landasan pacu. Izumi mengintip keluar dari balik jendela kabin. Tiba-tiba ia merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri. Begitu turun dari pesawat, angin yang sedikit dingin mengacak rambut hitamnya dengan lembut, seolah mengucapkan selamat datang padanya.

Tak kusangka aku akan kembali ke sini, ke tempat yang sangat tak kuingin kuingat lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status