Share

[6]-Hari Pertama di Sekolah Baru (2)

Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain.

Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?”

Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi.

Kaichou?”

“Namaku Misumi Nana.” Ia memperkenalkan namanya kepada Izumi. “Mau berkeliling sekarang?” Gadis itu tersenyum canggung.

“Baik,” balas Izumi. Mengikuti langkah gadis bernama Misumi Nana itu Izumi melangkah keluar kelas.

“Gedung yang kita tempati ini terdiri dari tiga lantai ditambah lantai dasar khusus untuk loker sepatu. Lantai satu terdiri dari ruangan untuk kelas satu dan ruang guru. Lantai dua untuk ruang kelas dua dan begitu seterusnya.” Nana mulai menjelaskan tentang lingkungan sekolah pada Izumi. Pemuda itu menyimak dengan seksama. Keduanya sekarang berada di luar ruangan. “Lalu gedung ini—” Nana menunjuk bangunan dua lantai yang terletak berseberangan dari tempat mereka keluar tadi. “—di lantai satu ada perpustakaan, ruang audio visual, dan lab bahasa. Sedangkan di lantai dua ruang OSIS serta lab sains. Aku tak perlu masuk untuk menunjukkanmu ruangannya, kan?” Izumi mengangguk sebagai jawaban. Mereka kembali berpindah tempat. Kali ini Nana menunjukkan kepada Izumi ruang klub untuk para siswa yang ikut kegiatan ekstrakulikuler, lapangan olahraga, kantin dan kolam renang sekolah. “Kira-kira begitu area sekolah ini,” ucap Nana mengakhiri ‘tour’ singkat mereka.

“Sekolah ini ternyata lebih luas dari dugaanku,” komentar Izumi.

Nana mengangguk membenarkan ucapannya. “Ja, kalau begitu ayo kita kembali. Atau kau mau ke kantin? Jam istirahat masih tersisa tujuh menit lagi.”

“Tidak, aku mau ke kelas saja,” ujar Izumi. “Arigatou Kaichou,” lanjutnya.

Douitashimashite. Kalau tak keberatan panggil saja aku Nana atau Misumi,” timpal Nana.

“Aa, baiklah … Nana.”

Nana menatap Izumi dengan lekat lalu tersenyum tipis kepada pemuda itu. “Kau tahu Yoshino-kun, aku sedikit terkejut ketika kau memperkenalkan diri tadi,” terang Nana selagi mereka kembali menuju kelas. Izumi mengerutkan kening sedikit bingung dengan ucapan gadis itu. Namun ia tak menanyakan apapun. Hingga akhirnya Nana meneruskan kalimatnya. “Aku ingat dulu aku juga punya teman yang memiliki nama keluarga yang sama denganmu. Sungguh kebetulan yang aneh, bukan?” Nana terkekeh membuat kedua matanya menyipit hampir menyembunyikan iris coklatnya.

“Temanmu itu …” ucap Izumi pelan.

Nana menoleh, “Ah dia dulu teman SD ku meskipun hanya beberapa bulan saja. Kami cukup sering bermain bersama. Tapi di pertengahan semester kelas tiga, dia berhenti datang ke sekolah. Kudengar dia dan keluarganya pindah ke luar kota. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu atau mendengar kabar darinya selama sepuluh tahun ini. Aku jadi sedikit penasaran di mana dan apa yang ia lakukan sekarang.” Nana menghentikan langkahnya sejenak. Pandangannya lalu tertuju pada semak dandelion yang tumbuh di antara tanaman bunga sekolah. “Dandelion,” ia lalu bergumam pelan.

“Apa?”

“Bunga itu, dandelion,” tunjuknya. “Dulu temanku bercerita kalau dengan meniup bunga dandelion harapan kita akan dikabulkan.” Kekehan tawa kembali terdengar dari bibirnya. “Lucu sekali bagaimana kami dulu mempercayai hal semacam itu. Bahkan ketika dia pergi aku mulai melakukan hal itu dengan harapan suatu saat kami bisa bertemu lagi. Lambat laun aku mulai sadar, kalau itu hanya fantasi untuk menyenangkan anak-anak. Ah, maaf. Yoshino-kun pasti bosan karena aku malah bercerita hal yang tak perlu. Karena kalian memiliki nama yang mirip aku jadi teringat dengannya,” ujar Nana sembari memutar-mutar helaian rambut hitamnya dengan jari telunjuknya.

Daijoubu,” balas Izumi.

Setelah melewati area taman sekolah mereka berdua kini sudah masuk kembali ke gedung awal. Kali ini Izumi dan Nana hanya berjalan tanpa suara. Sampai di ujung tangga sebelum lantai tiga, Nana menghentikan langkahnya secara tiba-tiba membuat Izumi yang berjalan di belakangnya juga ikut berhenti secara refleks.

“Yoshino-kun, apa kau punya adik?” tanya gadis itu tiba-tiba. Mata coklatnya menatap Izumi dengan serius. Izumi mengangguk singkat membuat kedua iris itu sedikit membelalak karena terkejut.

“Hanya saja kami memiliki nama keluarga yang berbeda.”

Rasa terkejut itu berubah menjadi kecewa. Nana menghela napas pelan. “Souka,” ucapnya lalu kembali melangkah menaiki tangga.

Ne, kenapa kau begitu penasaran dengannya? Maksudku selama sepuluh tahun ini dia tak pernah berusaha menghubungimu. Memangnya sepenting apa dia bagimu?”

Nana menoleh. “Aku hanya ingin tahu kabarnya dan mengapa dia tiba-tiba pergi hari itu. Aku tak bisa memberitahumu alasannya, tapi sejak dulu sampai sekarang Haru-kun bagiku….” Nana kembali tersenyum lalu melanjutkan langkahnya. Gadis itu tak menyadari kalau tangan Izumi mengepal sesaat setelah Nana menyelesaikan kalimatnya.

Haru, huh?

Seringaian kecil terbit di wajah Izumi meskipun hanya sesaat. Setelah itu ia melangkah menaiki anak tangga satu persatu, menyusul Nana kembali ke kelas mereka. Di depan kelas setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi, Izumi menuju tempat duduknya. Begitu duduk ia langsung mengarahkan pandangannya keluar jendela melihat pemandangan langit biru Bulan April yang sedikit terik sampai akhirnya suara bel masuk membuat fokusnya teralihkan.

Pukul empat sore bel pulang berdentang dan hari pertama Izumi di Sakurai Goukou berjalan dengan lancar. Pemuda itu tanpa kesulitan langsung bisa menyesuaikan dirinya dengan kegiatan belajar di Jepang. Tanpa beranjak dari tempat duduknya, Izumi memperhatikan teman-teman sekelasnya yang mulai meninggalkan ruang kelas satu persatu. Sore itu Izumi tak langsung pulang dan memilih untuk menikmati waktu sore dari jendela kelasnya. Ruang kelas 3-A sudah sepi dan hanya Izumi satu-satunya orang yang masih berada di sana.

Izumi kembali mengeluarkan buku Fisika dan Matematikanya dari dalam tas. Hari ini ia mendapat PR untuk dua mata pelajaran itu. Kuselesaikan saja di sini agar tak perlu repot nanti, batin Izumi. Ditemani alunan musik dari earphone yang terpasang di telinganya, tangan dan otak Izumi mulai bekerja. Tiga puluh menit berlalu PR Matematikanya selesai dikerjakan. Izumi lalu berlanjut membuka buku Fisikanya. Pensil mekanik yang dipegangnya bergerak dengan lincah mentransfer hasil pikiran Izumi ke atas kertas. Izumi menghembuskan napas lega begitu selesai menuliskan jawaban terakhirnya. Kedua PRnya sudah terselesaikan semua dan ia memutuskan untuk pulang sekarang. Izumi merapikan buku dan alat tulisnya kembali ke dalam tas lalu berjalan keluar meninggalkan ruang kelasnya.

Sampai di depan gerbang sekolah, Izumi sejenak berhenti melangkah. Ia mendongak. Pemandangan langit musim semi sore itu menarik perhatiannya. Gumpalan awan yang disinari oleh matahari sore terlihat seperti seekor kuda berbulu keemasan. Tak ingin melewatkan pemandangan itu, Izumi mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera. Setelah mendapat beberapa foto Izumi kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Belum sempat ia melangkah tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

“Izumi-Senpai?” Izumi menoleh. Ternyata Fujihara Yuki. “Ternyata benar, kupikir orang lain,” lanjut Yuki.

“Habis kegiatan klub?” tanya Izumi sedikit penasaran karena gadis itu meninggalkan sekolah sedikit terlambat seperti dirinya. Yuki menggeleng.

“Aku kebagian piket hari ini,” jawab Yuki. “Senpai sendiri? Piket juga?”

“Tidak, aku hanya sengaja menghabiskan waktu di kelas saja,” jawab Izumi.

“Aa souka,” timpal Yuki.

Lalu di sepanjang perjalanan pulang Yuki dan Izumi banyak mengobrol. Gadis itu ternyata memiliki sifat luwes dan mudah akrab dengan orang lain, bahkan dengan Izumi yang notabene baru dikenalnya dua hari. Ia tak terlihat canggung mengajak Izumi bercanda.

Di persimpangan jalan keduanya berpisah. Sebelum pergi Yuki menunjukkan jalan yang mengarah ke perumahan yang ditinggali oleh Keluarga Nakagawa. “Dari sini tinggal lurus saja, nanti akan ketemu jalan yang Izumi-san lewati tadi pagi. Kalau begitu aku duluan, ya. Jangan tersesat lagi, Senpai.” Yuki tertawa kecil mengakhiri ucapannya. Dari kalimatnya terdengar seperti gadis itu sedang meledeknya. Namun Izumi tak mempermasalahkannya dan menanggapinya dengan senyuman. Setelah mengucapkan kalimat ‘sampai besok’ yang dibalas dengan ucapan yang sama oleh Yuki, keduanya berjalan pulang mengambil jalan berbeda menuju rumah mereka masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status