Share

[7]-Kami-sama, Dia Sangat Keren!

Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya.

Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur.

“Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu di SMA Jepang?” lanjut Tsubaki.

“Biasa saja, tak ada yang khusus.”

“Begitu. Apa kau membutuhkan sesuatu?” Tsubaki kembali bertanya.

“Aku hanya ingin minum,” ujar Izumi.

Ja, mau ocha?” tawar Tsubaki yang dibalas dengan anggukan pelan dari Izumi.

Tsubaki mengambil satu gelas lagi, mengisinya dengan ocha lalu menyerahkannya kepada Izumi. Setelah itu ia mengeluarkan seloyang chiffon cake coklat dari dalam oven lalu mulai memotong-motongnya. Tangan wanita itu bergerak dengan cekatan membagi-bagi potongan chiffon cake itu ke atas piring mungil yang telah ia siapkan. Sambil menyesap ocha-nya, Izumi memperhatikan ibunya dalam diam. Siluet seorang pria dan wanita serta anak kecil yang tengah tersenyum tiba-tiba muncul di benaknya yang langsung menghilang ketika suara Tsubaki kembali terdengar.

“Izumi-kun, Mama tinggal ke depan dulu, ya. Mama mau menyuguhkan ini untuk tamu Makoto-san.” Tsubaki mengangkat gelas ocha serta piring kue coklat yang telah ia tata di atas baki. Sebelum langkahnya mencapai pintu, Tsubaki menoleh sebentar ke arah Izumi sembari berkata, “Kuenya masih ada di atas meja, lalu di kulkas juga ada buah-buahan. Ambil saja sesukamu, jangan merasa sungkan.” Tsubaki mengakhiri ucapannya dengan senyuman kemudian berlalu meninggalkan dapur.

Izumi menatap kue yang dimaksud Tsubaki, terlihat begitu manis membuat pemuda itu ragu untuk mencobanya. Sejak tinggal di Amerika entah mengapa toleransi indra pengecap Izumi terhadap rasa manis menurun drastis. Ia tak bisa makan makanan manis.

Izumi menghabiskan ocha-nya kemudian mencuci gelas yang sudah kosong itu lalu meletakkannya kembali di atas rak. Setelah itu ia kembali naik menuju kamarnya. Di atas tangga ia bertemu dengan Ryu yang ternyata baru kembali dari sekolah.

Yo,” sapa Ryu canggung.

Izumi hanya menanggapinya dengan anggukan. Pemuda itu lalu melangkah menuju kamarnya. Namun ketika tangannya baru menyentuh kenop pintu dan belum sempat membukanya, suara Ryu membuat Izumi kembali menoleh.

Ano, maaf untuk yang kemarin. Aku tidak bermaksud menyinggung Kakak.” Ryu mengucapkan kalimatnya dengan cepat sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Setelah itu dengan sedikit tergesa-gesa ia menuju kamarnya sendiri. Melihat tingkah Ryu dalam hati Izumi tersenyum geli. Ia melepaskan pegangannya dari kenop pintu dan melangkah menghampiri Ryu sebelum pemuda itu masuk ke dalam kamarnya.

“Ryuzaki-kun.”

Gantian Ryu yang menoleh. Sorot matanya sedikit terkejut menyadari Izumi kini sudah berada di dekatnya. “Ya?”

“Kumaafkan. Tapi tolong jangan tanyakan hal-hal seperti kemarin. Itu urusanku, biarkan aku yang menanganinya sendiri.” Ekspresi Izumi melunak. Ia menepuk pundak Ryu sekilas sebelum akhirnya pemuda itu kembali ke dalam kamarnya.

Hubungan Izumi dan Ryu mulai akrab sejak saat itu layaknya saudara. Namun meskipun begitu hubungan Izumi dengan ibunya sama sekali belum mengalami perkembangan. Pemuda itu masih bersikap kaku kepada Tsubaki. Bahkan setiap kali wanita itu berbicara dengannya, Izumi hanya menanggapinya dengan singkat.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Satu bulan telah berlalu sejak Izumi pertama kali tiba di Jepang. Pemuda itu mulai terbiasa dengan kehidupan di sana, termasuk kesehariannya di sekolah barunya yang ternyata tak jauh berbeda dengan sekolah lamanya di Amerika.

Suasana perpustakaan sekolah hari itu terlihat lumayan ramai dikunjungi oleh para siswa termasuk Izumi. Mei sudah tiba, itu berarti ujian mid semester sudah dekat. Hal itu yang membuat Izumi akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan. Sembari menenteng bukunya, Izumi melangkah menuju tempat duduk yang terletak di dekat jendela­­­­­—tempat yang menjadi spot favoritnya.

Izumi membuka buku paket Sejarah Jepangnya lalu membacanya dengan seksama. Tangan pemuda itu sesekali memberi garis bawah atau catatan kecil pada bagian yang penting agar mudah diingat.

“Izumi-Senpai?”

Izumi mengalihkan pandangan dari buku yang sedang ia baca lalu menatap orang yang baru saja memanggilnya. “Ternyata kau, Fujihara-san,” balas Izumi.

Yuki tersenyum tipis. Ia meletakkan setumpuk buku yang dibawanya di atas meja lalu ikut duduk di kursi sebelah Izumi. “Apa yang kau baca, Senpai?” tanya Yuki. Izumi mengangkat bukunya memperlihatkan sampul buku tersebut kepada Yuki. Gadis itu membaca susunan huruf-huruf yang tertera di sana lalu menganggukkan kepala tanda mengerti. Setelah itu Yuki sendiri mengambil salah satu dari sekian buku yang ia bawa dan mulai membacanya.

Selagi membaca bukunya, Yuki sesekali mencuri-curi pandang ke arah Izumi yang tengah duduk di sampingnya. Wajah pemuda itu tampak serius. Kedua bola matanya bergerak menelusuri setiap kata dan kalimat yang tertulis di halaman bukunya. Yuki tanpa sadar mengangkat sebelah tangannya untuk menyangga wajahnya. Buku yang ia baca dibiarkan tergeletak terbuka begitu saja di atas meja. Kedua iris gadis itu tertuju pada Izumi, menatap tanpa terlewat setiap gestur kecil pemuda itu.

Izumi-Senpai, ekspresinya serius sekali. Sejak dia pindah ke sekolah ini, kami memang sering mengobrol. Hanya saja aku tak pernah begitu memperhatikannya dari jarak sedekat ini. Matanya terlihat begitu indah, dengan kedua iris yang sehitam batu obsidian. Lalu bulu matanya terlihat begitu panjang dan lentik. Sampai-sampai aku yang seorang perempuan iri melihatnya. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi terlihat begitu proporsional di wajahnya. Dan bibirnya begitu menarik dengan warna merah muda alaminya. Kami-sama, ini pertama kalinya aku memperhatikannya sampai sedetail ini. Wajah Izumi-Senpai benar-benar tampan.

“…hara, Fujihara-san!”

Panggilan Izumi  membuat Yuki tersentak. Saat ia menyadarinya pandangan Izumi kini sudah tak lagi tertuju pada bukunya, melainkan ke arah dirinya. “Y-ya?”

“Ada sesuatu di wajahku? Dari tadi kau terus melihat ke arahku,” ujar Izumi.

Wajah Yuki terasa panas, malu karena tertangkap basah oleh Izumi kalau ia sedari tadi terus memperhatikan pemuda itu. Sebelum Izumi menyadari perubahan rona wajahnya, Yuki menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Izumi menghela napas pelan lalu menutup buku yang ia baca. “Jam istirahat hampir habis. Aku akan kembali ke kelas. Sampai nanti.” Izumi menepuk puncak kepala Yuki dengan pelan kemudian berlalu meninggalkan perpustakaan. Itu pertama kalinya, dia menatapku seperti itu. Izumi menutup sebagian wajahnya dengan buku yang ia bawa, menyembunyikan rona merah yang mendadak muncul di sana.

Sementara itu Yuki yang masih berada di perpustakaan, memegang kepalanya sendiri. Meski hanya sekilas namun sentuhan tangan Izumi seperti masih terasa di puncak kepalanya. Wajahnya kembali terasa panas sedangkan jantungnya terasa berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kenapa jantungku malah berdebar tak karuan begini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status