Share

Bab 6 - Dijamin Masih Ting-Ting

Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam.

Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra.

“Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh bahunya.

“Kenapa, Pak Aksa? Tumben banget kelihatan nggak fokus gini,” ujar juru masak lain yang juga sedang menyiapkan hidangan untuk pelanggan yang baru datang.

Aksa memang masih muda, usianya baru menginjak seperempat abad. Di usia yang masih dibilang belia, pria tersebut sudah berhasil membangun sebuah restoran western yang terletak di kawasan ibukota. Maka tak heran jika ia dipanggil dengan embel-embel Pak oleh para chef lain yang bekerja di tempat ini.

Aksa yang memang pernah mengenyam pendidikan di bidang masak memasak, tentu saja dengan senang hati mengabdikan diri di restoran yang ia bangun. Ia mengelola sekaligus tetap memasak hidangan yang lezat untuk para pelanggan. Pria tersebut tinggal sendirian di kota padat ini. Sementara itu, keluarganya menetap di Surabaya, kota kelahiran Aksa.

“Ah, kayaknya saya kecapaian deh.” Pria berbibir seksi itu memanggil salah seorang pekerjanya. “Tolong kamu selesaiin dessert ini, ya. Sajiin sama Chicken Wings BBQ yang dibikin Davin.”

Aksa melepas celemek dan melenggang setelah lelaki yang ia beri amanah tadi mengangguk. Ia ke luar dapur restoran dan menaiki mobilnya. Baru saja pria tersebut masuk dan hendak menyalakan mesin, bayangan Ayra yang duduk di jok penumpang pun kembali hadir. Aksa mendecak keras-keras.

“Bego, bego, kenapa gue malah mikirin bini orang sih?” rutuknya penuh amarah, lalu segera melaju dengan kecepatan sedang.

*

“Ra, lo serius mau bikin gugatan cerai?” Dita masih terdiam seraya mengamati berkas-berkas yang tercecer di atas meja. Ia bahkan sudah tidak bernafsu melahap seblaknya yang semakin dingin.

“Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Dita. Gue itu enam sembilan rius mau bikin gugatan cerai. Saking seriusnya sampai berasa mau maninggoy di tempat! Hah, gila sih, seblak samping kampus emang the best,” kalimat Ayra yang diiringi desisan pengusir pedas. Ia kembali melahap seblak yang warnanya sudah sangat merah itu.

Mereka berdua sedang berada di warung seblak yang letaknya di sebelah kampus. Itu adalah tempat andalan Ayra dan Dita. Sebagai dua orang yang mendeklarasikan diri sebagai pecinta seblak, tempat ini adalah surga dunia. Ayra dan Dita sudah pernah berputar-putar keliling Jakarta dan mencicipi seblak di berbagai tempat, tapi tetap saja tidak ada yang seenak ini.

“Hari ini banget? Lo kan baru ngerasain surga dunia tadi malam. Masa udah mau cerai aja sih, nanti gimana kalau tiba-tiba lo pengin nganu? Sayang tahu, Ra. Lagian Pak Varo juga kelihatannya hot banget deh. Gue yang belum pernah ngerasain kawin aja udah pengin cepat-cepat kawin. Apalagi lo.”

Ayra tersedak kuah seblak begitu mendengar kalimat Dita yang menggelikan. Ia langsung meneguk minuman supaya rasa perih di kerongkongannya bisa segera sirna.

Ayra dan Dita memang dua orang gadis yang dari luar terlihat polos dan lugu. Tapi siapa yang menyangka jika isi kepala mereka berdua dipenuhi hal-hal ambigu yang terkadang membuat orang lain geleng-geleng kepala?

“Dita, gue siram muka lo pakai kuah seblak lo, ya! Please deh, gue tuh belum pernah nganu sama Pak Varo. Gue masih ting-ting, dijamin masih ting-ting, masih rapat seratus persen!” seru Ayra yang wajahnya sudah merah padam karena sensasi tersedak kuah pedas seblak.

“Lho, tadi katanya lo udah kawin! Gimana sih! Yang jelas dong kalau ngo—”

Ucapan Dita langsung berhenti saat Ayra dengan sigap membungkam mulut gadis itu menggunakan kerupuk. Gila saja, mulut Dita memang terkadang seperti knalpot bocor, volumenya sulit dikendalikan. Mereka berdua kan masih berada di warung seblak yang terletak di samping kampus. Di sini juga ramai, banyak mahasiswa yang juga tengah menikmati makanan tersebut.

“Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Dita! Gue jejalin sempaknya Kakek Sugiono juga lo!” desis Ayra yang membuat sahabatnya menyengir merasa bersalah. Ayra pun menceritakan kejadian yang semalam ia alami.

Selesai Ayra bercerita, Dita hanya bisa mengangguk-angguk pelan. Ia kira sahabatnya ini benar-benar sudah melakukan ‘kegiatan itu’ tadi malam. Tapi ternyata dugaannya salah, Ayra malah kabur dan sekarang sedang merasa layaknya seorang buronan.

“Ra, kalau lo emang nggak mau kawin sama Pak Varo, kenapa lo malah nge-iyain sih? Harusnya kan dari awal lo bilang aja terus terang kalau lo nggak mau kawin. Kalau jujur-jujuran kan jadinya enak, nggak belibet kayak gini,” timpal Dita setelah otaknya selesai mencerna kalimat demi kalimat Ayra.

“Gue udah jujur-jujuran, Dita. Tapi minggu lalu nyokap gue sakit gara-gara lihat gue sama bokap berantem tiap hari. Lo kan tahu kalau gue sesayang itu sama nyokap. Gue nggak mau nyokap meninggoy muda. Yah, sebagai anak yang baik, cantik, aduhai, dan tidak sombong, ya gue nurut lah.”

Ibu kandung Ayra memang sudah meninggal karena bencana kebakaran yang beberapa tahun lalu terjadi. Saat Ayra berusia lima tahun, Restu memutuskan untuk menikah yang kedua kalinya bersama Fatma. Selama mereka menikah, Fatma belum juga hamil. Maka dari itu, tak heran jika hampir semua waktu yang Fatma miliki ia curahkan untuk Ayra. Ayra sangat menyayanyi Fatma melebihi rasa cintanya kepada Restu.

“Bego! Kalau belum sehari kawin tapi udah mau cerai ya apa gunanya? Itu sama aja lo mau ngebunuh orang tua sendiri.”

Ayra menggerak-gerakkan tangan, memberi isyarat agar sahabatnya itu mau diam. “Nggak usah ceramah, gue lagi kepedasan.”

Dita tahu jika Ayra adalah orang paling keras kepala yang ia kenal. Jika Ayra sudah memiliki keyakinan yang kuat, maka ia akan mempertahankan keyakinan itu dan sulit menerima kritik atau apa pun dari orang lain. Dita kira gadis itu sudah benar-benar berniat serius dengan pernikahan yang baru kemarin digelar. Ternyata sama saja, Ayra masih kepala batu.

“Udah ah, gue cabut dulu. Keburu pengadilan tutup.” Ayra mengemasi dokumen yang berceceran di meja, setelah sebelumnya mengelap dahi yang penuh keringat menggunakan lengan baju.

Dita membuang napas khawatir. Ia masih tidak rela sahabatnya akan bercerai secepat itu. “Ra, lo baru kawin kemarin. Perkawinan itu bukan buat main-main lho,” ujarnya gusar. Dita memang tahu jika ucapannya itu tidak akan berguna. Tapi, apa salahnya mencoba? Siapa tahu ada keberuntungan datang.

“Dit, gue belum kawin, tapi gue udah nikah. Oke?”

“Apa bedanya?”

“Nikah itu di luar, kalau kawin itu di dalam, enak. Udah ah, bye!”

Ayra langsung melesat menggunakan motor skuternya. Ia tidak tahu jika sejak tadi ada orang yang memata-matai dan menguping pembicaraannya bersama Dita.

“Nyonya Ayra pakai motor ke pengadilan, Bos. Saya dengar dia mau menggugat cerai Bos Varo. Sekarang saya di belakang Nyonya Ayra dan saya pastikan Nyonya Ayra tidak menyadari keberadaan saya,” kalimat pria tersebut dengan pandangan masih awas, mengikuti ke mana arah motor Ayra.

“Kejar dia. Bawa dia ke sini. Jangan sampai dia berhasil ke pengadilan.”

“Siap, Bos.” Pria itu mengantungi ponsel begitu sambungan telepon diputus secara sepihak. Ia segera memacu kendaraannya dan menyalip motor Ayra.

_***_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status