Share

3. Keputusan

"Kau tidak boleh mendaftar untuk menjadi warrior!"

Suara bernada tinggi itu membuat Hana meringkuk ketakutan dengan tubuh yang bergetar. Hal itu termasuk wajar. Ia yang seorang omega akan secara otomatis tunduk pada wolf yang statusnya lebih tinggi darinya. Apalagi jika pasangannya yang berstatus gamma itu yang mengucapkannya meskipun kalimat itu sama sekali tidak ditujukan padanya.

"Kau boleh menggertakku di tempat lain, Ayah. Tapi jangan gunakan nada itu saat ada ibu di sini. Tidakkah kau tahu jika mate-mu ketakutan?"

"Jangan pernah panggil aku dengan sebutan Ayah! Aku bukan ayahmu!" bentak Eric, ayah angkat Lunar.

“Baik. Aku tak akan menyebutmu ayah lagi, Paman!”

Lunar membalas bentakan ayah angkatnya –yang kini berubah menjadi paman- dengan nada yang tak kalah tinggi darinya. Lunar merasa tak terima dengan bentakan itu karena ibu angkatnya yang terlihat ketakutan akibat suara bernada tinggi. Tak ada siapapun lagi di ruang utama rumah yang Lunar tempati belasan tahun itu. Hanya ada mereka bertiga, yakni Lunar, Hana, dan Eric, mate Hana.

Jujur saja, tak ada rasa gentar sedikitpun di hati Lunar mendengar gertakan Eric. Tidak seperti ibu angkatnya yang kini meringkuk ketakutan. Mungkin hal ini dikarenakan status Lunar yang hampir setara dengan Eric, sedangkan status Hana berada di bawah mereka. Untung saja kakak angkatnya itu tidak sedang berada di rumah. Jika mereka kumpul berempat, mungkin saja Lunar akan terpojok karena melawan dua gamma.

“Berhenti bertingkah semaumu, anak pungut! Aku sudah cukup bersabar selama ini akan tingkahmu yang seenaknya itu. Jangan lupakan posisimu di sini. Kau hanya anak yang tak memiliki siapa-siapa dan menumpang hidup di keluargaku selama belasan tahun!”

Bibir Lunar terkatup erat mendengar kalimat kasar yang di tujukan ayah angkatnya itu padanya. Lunar mengerti. Dan bahkan teramat faham jika ia hanya seorang yang menumpang hidup di keluarga orang lain. Ayah yang sudah meninggal dan ibu yang tidak jelas keberadaannya mempertegas hal itu. Tapi untuk kata tidak memiliki siapa-siapa, Lunar akan menyangkalnya. Dia masih memiliki bibinya, meski paman dan sepupunya sama sekali tak menghiraukannya atau menganggap keberadaannya.

Biasanya, ayahnya hanya akan memandangnya dengan dingin atau tidak menyerukan sapaan saat bertemu atau berpapasan dengannya. Tak pernah ada pembicaraan panjang di antara mereka. Bahkan untuk sekedar menanyakan kabar pada Lunar, pamannya itu enggan. Dan kini, ia terlibat perbincaraan yang dirasa akan panjang dan disertai bentakan-bentakan hanya karena ia mengungkapkan keinginannya untuk mendaftar ujian calon warrior beberapa waktu mendatang.

Memang untuk Lunar hal itu akan terasa sepele sekali. Ia hanya mengutarakan keinginannya dan tak membutuhkan kata persetujuan dari pamannya. Karena menurut Lunar, persetujuan dari bibinya saja sudah cukup mewakili. Tapi entah bagaimana ayah angkatnya –oh, sekarang pamannya- itu mengetahui hal ini dan langsung mencercanya dengan kata-kata menyudutkannya.  Seolah keputusan Lunar adalah hal yang membahayakan nyawanya.

Jujur saja, Lunar geram sekali dengan kata-kata pamannya yang mengatainya anak pungut. Ia memang bukan putri kandungnya, ia adalah keponakannya. Apa salahnya merawat keponakan yang sudah tidak memiliki orang tua sepertinya? Jika saja tangannya tak di genggam erat oleh bibinya, mungkin Lunar akan kehilangan kesabaran dan mengamuk pada pamannya itu. Atau bahkan mungkin yang lebih parahnya ia akan ber-shift1 dengan serigalanya.

Sepertinya, bertarung dengan serigala pamannya dalam wujud buasnya mungkin terdengar tidak buruk.

Baiklah, lupakan kalimat terakhir itu karena demi apapun ia telah berjanji kepada bibinya untuk menjaga diri agar tidak berubah sembarangan. Lunar juga sangat tahu jika nantinya ia berubah, bukan hal baik yang akan menyertai dirinya.

“Sejujurnya, Paman. Aku sama sekali tak membutuhkan izinmu untuk mendaftar ujian calon warrior. Aku sudah mengantongi izin bibi sebagai waliku dan aku sudah menyerahkan berkas itu.”

Nada bicara Lunar melunak karena genggaman pada tangannya dan ia yang tak sanggup melihat air mata bibinya mengalir terus menerus. Ia mengerti jika bibinya tengah memberitahu dirinya bahwa hal untuk menghadapi kekerasan pamannya adalah bukan dengan kekerasan juga, melainkan kesabaran dan kelembutan. Seperti yang selama ini bibinya lakukan. Dan dengan setengah mati Lunar menahan dirinya untuk tidak berkata keras pada pamannya itu.

“Kau! Kau sudah berada dalam keluargaku namun melangkahi izinku. Lancang sekali!”

“Siapa yang lancang, Paman! Sedari kecil kau sudah melepas pertanggung jawaban dan wali atasku hingga bibi yang mengambil kewalian penuh diriku. Dari dulu kau tak pernah peduli akan apa yang aku lakukan. Lalu mengapa sekarang kau memperdulikan kewalian itu? Dari dulu aku baik-baik saja saat bibi yang mengambil alih perizinan waliku. Lantas, mengapa untuk sekali ini kau menuntutnya? Tidakkah tindakanmu ini sangat terlambat, Paman?”

Eric menggeram. Ucapan Lunar memang ada benarnya. Ia yang selalu menolak ketika permintaan perwalian atas Lunar yang selalu datang padanya kini seolah meminta hak itu kembali setelah mengetahui Lunar telah mendaftar ujian calon warrior. Jika saja hak perwalian itu ia kantongi sedari dulu, pastilah Lunar akan meminta izinnya dan ia tak akan mengizinkannya.

Karena entah mengapa, Eric terlalu membenci Lunar dan dengan segala yang ada pada anak itu. Lunar memang tak pernah brbuat salah padanya. Hanya saja, ia sama sekali tak bisa memaafkan apa yang orangtua Lunar lakukan padanya di masa lalu. Ingatannya masih tajam. Dan semua kejadian itu masih terekam dengan jelas di otaknya.

“Baiklah! Lakukan semaumu, anak pungut. Tapi ingat hal ini baik-baik. Aku tak akan membuat jalanmu menjadi mudah untuk masuk ujian itu. Zoya akan mengikutimu. Dan aku akan pastikan jika kau sama sekali tak akan bisa berkutik.”

Dengan amarah yang masih bersarang di hatinya, Eric pergi meninggalkan Lunar yang masih terduduk dengan ditemani mate-nya yang menangis akibat ucapan kerasnya. Ia sudah tak sanggup berada lebih lama di satu tempat dengan orang yang tak ia sukai. Meski hati dan jiwa serigalanya melolong pilu karena melihat mate-nya yang tengah sedih seperti itu, ia tak gentar. Ia tetap menguatkan hati untuk tidak menghambur dan memeluk mate-nya serta memberi ketenangan padanya. Dirinya telah kebal. Bertahun-tahun menjadi pemimpin warrior membuatnya terlatih agar tidak selalu menuruti sisi serigalanya.

“Sayang, tetap panggil bibi dengan sebutan ibu, ya,” pinta Hana. Ia sudah bisa mengendalikan dirinya setelah mate-nya pergi menjauh darinya dan Lunar. Karena tekanan aura mate-nya yang tinggi, jiwa omeganya tertekan hingga tak mampu berkata atau bahkan mengangkat wajah meski sedikit pun.

“Tentu, Bu. Aku akan tetap memanggil Ibu meski mate Ibu kini ku panggil Paman. Bagiku, Ibu adalah sosok  yang tak terganti bagiku. Dan Ibu tak pantas mendapat panggilan bibi dariku,” balas Lunar.

Hana menggeleng pelan. “Lalu bagaimana jika kau bertemu dengan ibumu suatu hari nanti? Bukankah panggilan ibu sudah kau sematkan padaku?”

“Aku-“ Lunar menunduk dan menjeda, “-tidak yakin akan bertemu dengannya.” Dan suaranya melirih di akhir kalimat.

“Jangan begitu, sayang. Yakinlah jika suatu saat kau bisa bertemu dengan ibumu dan kau bisa berkumpul dengannya.”

“Sudahlah, Bu. Aku akan mengatasinya nanti. Lagi pula aku sama sekali belum memikirkan bagaimana nantinya jika aku bertemu dengannya. Aku tak ingin berharap banyak. Cukup ibu yang selalu ada di sampingku dan mendukungku.”

“Tentu, kau mendapat semua yang kau inginkan dari Ibu.”

Hana beringsut menggapai tubuh Lunar dan membawanya ke dalam pelukannya. Lunar memang masih lima belas tahun, namun tubuh Lunar sudah bisa menyamai tubuhnya. Mungkin karena Lunar seorang deltha dan ia omega yang membuat pertumbuhan Lunar menjadi lebih cepat.

Bohong rasanya jika Lunar tak ingin memeluk ibu kandungnya seperti ini. Ia ingin, namun apa daya ia sama sekali belum bisa berharap apa-apa.

Terkadang, ia berpikir jika dirinya ini terkesan jahat karena mengambil kasih sayang seorang ibu dari anaknya karena semenjak ia mulai mengingat, bibinya itu sudah lebih memprioritaskan dirinya ketimbang putri kandungnya sendiri. Pernah ia ingin mengutarakan hal itu. Pernah ia ingin mengatakan kepada bibinya bahwa ada seorang putri yang masih membutuhkan kasih sayang ibu kandungnya. Namun, ia tak ingin ketika ia mengucapkan hal itu, sikap bibinya nanti akan berubah kepadanya.

Biarlah.

Ia ingin egois untuk hal ini. Lagi pula, bukankah kakak angkatnya itu sudah mendapat kasih sayang penuh dari ayahnya? Dan juga, bibinya tidak benar-benar mengabaikan putri kandungnya. Ia hanya memberi kasih sayang yang lebih kepada Lunar.

Jadi, Lunar tak salah, kan?

Note :

  1. Shift : berubah wujud dari manusia ke serigala atau sebaliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status