Share

Mau Meniduriku?

Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagi Rayna. Karena apa, hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Tandanya dia akan menghabiskan waktu bersama Zidan, kekasihnya. Pria itu sudah berjanji akan mengajak Rayna ke suatu tempat. Katanya spesial, dan Rayna tidak boleh tahu, Zidan ingin Rayna melihat tempat itu dengan mata kepala wanita itu sendiri.

Rayna sudah bersiap-siap dandan, beberapa kali dia tampak menghapus make-upnya karena menurutnya kurang cocok. Bukan hanya make-up, tapi pakaian juga dia melakukan seperti itu.

Sekarang kamarnya tampak begitu berantakan karena tumpukan baju-baju itu, Rayna yang melihatnya hanya bisa meringis pelan.

"Gampanglah diberesin. Nanti habis pulang senang-senang baru aku rapihin kamar ini," gumamnya pelan.

Drrttt ... drrrtttt ...

Ponsel Rayna tiba-tiba bergetar, dia kembali tersenyum, dia menduga jika Zidanlah yang mengirimi dia pesan.

Terbukti, pesan itu memang dari Zidan, Rayna membaca pesan itu dengan teliti.

[Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga dengan bertambahnya usia kamu, kamu semakin berpikir dewasa, semoga apa yang kamu impikan disegerakan, dan semoga cinta kamu selalu ada untukku, hehehehe. Rayna, hari ini adalah hari yang spesial untuk kamu dan juga untukku. Aku ingin menghabiskan waktu hanya berdua denganmu, aku sangat menginginkan hal itu. Hanya saja ... lagi-lagi aku tidak bisa mendampingimu, aku harus mengurus pekerjaanku karena banyak karyawan yang off. Maaf ya, Sayang. Aku akan mengganti hari ini dengan hari yang lain. Jangan marah ya, aku janji untuk kali ini pasti tidak akan gagal lagi.]

Mata Rayna seketika memanas, dia mencengkram ponsel itu dengan erat. Lagi-lagi Zidan mengabaikannya hanya demi pekerjaannya. Lagi-lagi Zidan menyakiti hati Rayna. Hati Rayna seketika patah.

Dia tersenyum miris, memandangi dirinya dari pantulan cermin, dia sudah bersusah payah berdandan, rela mengacak-acak lemarinya demi penampilan terbaiknya, akan tetapi hasilnya mengecewakan. Sungguh sangat mengecewakan.

Sudah beberapa kali Zidan memberikan harapan palsu, tapi untuk kali Zidan benar-benar keterlaluan.

Ponsel Rayna berdering, dia mengambil ponsel itu dengan cepat lalu mengangkatnya.

"Selamat ulang tahun, Sayang," sapa pria itu dari ujung sana.

Rayna tidak menjawab, dia mengepalkan tangannya erat.

"Halo, Sayang. Kamu dengar suaraku, kan?"

"Ngapain kamu menghubungiku?" tanya wanita itu dingin.

"Loh, emangnya aku nggak boleh nelepon, aku--"

"Aku apa? Bukannya kamu bilang lagi sibuk? Terus kenapa masih bisa nelepon?" tanya wanita itu sinis.

"Aku beneran sibuk, Sayang. Ini aja aku sempat-sempatin buat nelepon kamu. Beneran, aku nggak bohong."

Rayna tertawa sinis. "Kamu nggak bohong, tapi banyak alasan. Emang berat banget ya ada waktu buat aku walau cuma lima menit aja? Sebenarnya aku ini siapa kamu sih, kita itu perlahan kayak orang asing tau nggak."

"Kamu kok ngomongnya kayak gitu sih, aku minta maaf karena nggak bisa nepatin janji."

"Maaf, maaf, maaf aja terus. Tapi ujung-ujungnya diulang terus, aku capek lama-lama sama kamu, Zidan. Saat ini yang jadi prioritas kamu itu hanya uang, uang dan uang. Kenapa nggak pacaran sama uang aja?"

"Rayna, please. Jangan kayak gini."

"Aku nggak bakal kayak gini kalau kamu nggak mulai duluan. Udah, matiin aja teleponnya. Aku males ngomong sama kamu."

"Rayna--"

"Satu lagi, Zidan. Dengan sikap kamu yang terus-terusan kayak gini, aku semakin berpikir kalau kita sepertinya udah nggak ada kecocokan lagi. Aku butuh kamu, sedangkan kamu hanya membutuhkan uang, pikiran kita udah nggak sejalan lagi."

Setelah berkata seperti itu, Rayna mematikan sambungan teleponnya, disertai air mata yang mengalir begitu deras di pipinya.

"Sakit sekali," gumam wanita itu sambil memukul dadanya yang terasa sesak.

***

Tak tahu ke mana dia harus melangkah, Rayna memutuskan untuk berjalan ke arah gedung bernuansa lampu kerlap-kerlip.

Sebelumnya dia sama sekali tidak tahu itu tempat apa, karena dia tertarik dengan banyaknya lampu berwarna-warni, maka dari itu dia memutuskan untuk masuk ke sana. Hitung-hitung menghilangkan rasa galau, itulah pikirnya.

Rayna mengerutkan keningnya ketika semakin masuk ke ruangan itu, dia mendengar musik yang begitu memekakkan telinga disertai jedag-jedug, ditambah lagi sorotan lampu yang sangat menyakiti mata.

"Ini tempat apa sih, tapi kayaknya asik juga kalau ikut joget-joget di sana. Biar beban yang ada dipikiran ini hilang."

Rayna memperhatikan keadaan sekitar, banyak sekali manusia-manusia yang asyik tengah berjoget ria. Namun bukan itu yang menjadi fokus Rayna, dia memperhatikan ada seorang pria yang tengah memberikan minuman pada orang-orang. Karena kebetulan dia merasakan kerongkongannya kering, dia pun memutuskan untuk mendekati pria itu.

"Mas, saya pesan satu botol ya," pinta wanita itu.

"Oke." Pria itu pun menyodorkan satu botol minuman itu ke arah Rayna. "Sendiri aja, pasangannya ke mana?" tanya pria itu.

"Sibuk," jawab Rayna singkat. "Bisa minta tolong bukain?"

Pria itu mengangguk. "Kamu baru datang ke tempat ini?"

"Iya, emangnya ada yang salah?" tanya Rayna dengan dahi berkerut. "Baru pertama kali malah," lanjutnya.

"Nggak sih, cuma kayak asing aja sama wajahnya. Aku sudah hapal sama wajah orang-orang yang ada di ruangan ini," kata pria itu. "Nih, diminum."

"Terima kasih."

Rayna pun menenggak minuman itu, tiba-tiba saja dia mengerutkan dahinya karena merasa minuman itu rasanya sangat aneh.

"Ini minuman apa sih?" tanya wanita itu.

"Kamu nggak tahu?"

Rayna menggeleng cepat.

"Coba baca dengan teliti."

Rayna membaca tulisan yang ada di botol itu cukup lama, karena sejujurnya juga dia merasa asing dengan merk minuman itu.

"Aku nggak tahu, emangnya ini minuman apa sih, kok rasanya aneh."

"Bir," jawab pria itu singkat.

Seketika mata Rayna terbelalak. "Bir?" ulangnya.

'Aduh, mampus aku. Kenapa aku bisa berakhir di tempat ini sih,' gerutu Rayna dalam hati.

Rayna kembali memandang ke arah sekitar, dia tidak sengaja melihat ada sepasang manusia tengah bercumbu panas, membuat wanita itu menelan salivanya dengan susah payah.

'Aku benar-benar menyesal karena sudah masuk ke dalam sini, harusnya aku nyadar dari tadi. Gara-gara Zidan otakku sampai nggak bisa berpikir jernih.'

"Iya, harusnya kalau kamu mau ke sini bawa teman."

"Memangnya kenapa kalau sendiri?"

"Di sini tempat yang nggak aman, bahaya."

Rayna membenarkan ucapan pria itu, dia menatap botol itu yang saat ini tengah digenggamnya.

'Udah terlanjur juga, biar aja dah. Lagian minum sekali-kali juga nggak apa-apa. Yang penting nggak ada yang tahu.'

Rayna pun meminum bir itu sampai tersisa setengah. Sepertinya wanita itu sudah setengah mabuk, sesekali wanita itu meringis karena merasakan kepalanya terasa sakit.

"Wow, ada cewek cantik nih. Boleh kenalan nggak?"

Rayna menoleh ke samping, dia tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah pria yang baru saja mengajaknya berkenalan. Dia ingin menjawab, tapi dia urungkan karena kepalanya terasa begitu sakit.

"Bro, gue bawa cewek ini ya, kasihan tuh sudah mulai teler," kata pria asing pada bartender itu. Namun bartender itu tak memberi jawaban.

Rayna mencoba melepaskan tangannya dari pegangan pria itu.

"Lepas," sentak wanita itu.

"Ayo ikut aku. Malam ini akan aku temani kamu sampai puas."

Rayna menggeleng, dia mencoba menolak akan tetapi pegangan tangan pria asing itu cukup erat.

"Berhenti! Siapa yang mengizinkan kamu menyentuh wanitaku!"

Pria asing itu terkejut dengan kedatangan Alden, dia langsung melepaskan tangan Rayna lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Alden menatap bartender itu dengan tajam. "Dengan siapa dia datang ke sini?"

"Sendiri, Bos."

Alden menatap Rayna dengan kesal. Beruntung sekali dia datang tepat waktu, jika tidak dia tidak tahu harus berkata apa.

Alden membawa tubuh Rayna untuk keluar dari sana, membopong tubuh wanita itu dengan susah payah.

"Hai," bisik wanita itu lirih. "Kamu siapa?"

Alden menggeram tertahan karena Rayna menyentuh pipinya, apalagi gerakannya begitu sensual.

Cup.

Alden seketika berhenti melangkahkan kakinya, tubuhnya seketika menegang karena ciuman yang Rayna berikan.

"Hihihi, lucu sekali."

Lagi-lagi Alden menggeram. "Sialan! Kamu benar-benar menguji imanku, Rayna. Jangan salahkan aku jika aku memperlakukanmu di luar batas."

Setelah berkata demikian, Alden cepat-cepat membawa Rayna ke dalam mobilnya, menaruh wanita itu di kursi belakang, lalu Alden menindih tubuh wanita itu. Mencium bibir wanita itu dengan brutal.

Alden lupa siapa wanita yang saat ini berada di bawah tubuhnya. Hasratnya benar-benar telah membutakannya.

"Apa kamu mau meniduriku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status