Berkali-kali Alden membasuh wajahnya di wastafel tersebut. Wajah Rayna yang tengah mabuk itu selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya."Sial! Lupakan Alden, lupakan. Dia bukan untuk dijadikan bahan fantasi, dia adalah tunangan temanmu. Ingat itu, Alden," ucapnya dalam memperingati dirinya sendiri.Alden masih ingat betul kejadian malam itu, ketika Rayna menggoda dirinya. Alden tahu jika Rayna baru pertama kalinya bertindak seperti itu, terbukti dari caranya yang begitu amatir. Kendati demikian, Alden begitu bergairah dengan sentuhan-sentuhan yang Rayna berikan."Argghhh!" Alden berteriak, dia frustrasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Pikiran itu sangat mengganggunya.Drrttt ... drtttt ... drtttt ...Alden melirik ponsel yang ada di meja, dia langsung menyambar ponsel itu, dia melakukan seperti itu agar pikirannya tentang Rayna segera hilang.Zidan is calling.Alden tersenyum sinis. "Mau apa lagi nih orang, selalu menyusahkan diriku saja," gerutunya pelan."Halo, kenapa?" tany
Rayna mendorong tubuh Alden sekuat tenaga."Maksud kamu apa, Alden?" tanya Rayna tak percaya, dia masih begitu syok dengan tindakan Alden barusan. Bukankah itu tindakan yang sangat kurang ajar? Alden telah melecehkan Rayna."A--aku hanya mencontohkan apa yang kamu lakukan padaku tadi malam," jawab pria itu gugup.Rayna menggeleng cepat, dia tidak mungkin percaya dengan ucapan yang pria itu berikan. Bukankah pria itu penjahat wanita? Bisa saja itu adalah sebuah trik agar Rayna jatuh dalam permainannya. Tapi sayangnya Rayna masih mempunyai akal sehat. Semarah-marahnya dia dengan Zidan, tidak mungkin segampang itu cintanya goyah."Kamu pikir aku percaya?" tanya Rayna sinis."Untuk apa aku berbohong padamu," kata Alden tak terima. "Nggak ada untungnya," lanjutnya kemudian."Bukankah seperti itu untuk menjerat wanita? Itu kan trik yang selalu kamu lakukan agar para wanita bertekuk lutut padamu?""Kamu nggak usah ngalihin pembicaraan, memang kenyataannya kamu memang seperti itu, mencoba mera
Alden tersenyum tipis ketika melihat Rayna sudah terlihat mabuk, wanita itu juga beberapa kali cegukan serta mengoceh tidak jelas. Hal itu membuat Alden sangat gemas, tidak sabar ingin mengecup bibir wanita itu, sayangnya ada kamera, jadi Alden harus tahan untuk bertindak, biar Rayna dulu yang memulainya."Kamu tahu, sampai saat ini aku belum mabuk," celoteh wanita itu, diiringi tawa lirih."Oh ya?" tanya Alden."Iya, coba kamu lihat aku, aku masih waras, kan?"Mana berani Alden melakukannya, yang ada nanti malah dia hilang kendali."Kamu tidak berani menatapku? Atau jangan-jangan kamu duluan yang mabuk?" tanya Rayna sambil tertawa pelan.Alden tak menjawab, dia terus saja menatap wajah cantik Rayna, wanita itu saat ini benar-benar mabuk, dan bagi Alden wanita itu begitu sangat seksi. Dan tanpa dirinya duga, dia juga saat ini sudah setengah sadar."Kamu cantik," puji pria itu dengan tulus."Aku tahu itu, Zidan juga mengatakannya. Apa kamu tertarik juga denganku?"Alden mengangguk. "Ya,
Rayna meringis pelan ketika dia membuka matanya tiba-tiba saja merasakan pusing yang luar biasa."Ya Tuhan, ini kepalaku kenapa mendadak pusing kayak gini sih. Sejak kapan aku punya penyakit seperti ini," keluh wanita itu sambil memejamkan matanya.Tiba-tiba saja dia merasa jika tubuhnya terasa tertiup angin, hal itu membuat dahi wanita itu mengernyit."Masa iya aku mau sakit?" gumamnya pelan, pasalnya dia benar-benar merasakan kedinginan.Rayna membuka kedua matanya, ia mencoba untuk duduk, tiba-tiba saja dia memekik tertahan karena merasakan sekujur tubuhnya remuk redam, apalagi di daerah kewanitaannya, rasanya sakit sekali."Kenapa badanku pada sakit kayak gini? Kayak habis digebukin?"Rayna membuka selimut yang menutupi bagian tubuhnya itu, matanya membola ketika dia tidak memakai sehelai benang pun."Apa yang terjadi?" Wanita itu benar-benar syok dengan apa yang baru saja dilihatnya."Kamu sudah bangun?"Rayna langsung menoleh ke arah sumber suara, lagi-lagi matanya membulat keti
Semenjak kejadian itu, Rayna selalu menghindari Alden. Bahkan di tempat kerja pun seperti itu.Rayna masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Hubungannya dengan Zidan pun sama seperti biasa, tidak ada kemajuan atau semakin renggang. Hubungan mereka selalu jalan di tempat.Entah hubungan apa namanya, Rayna menamakannya hubungan nggak jelas. Mungkin setelah dia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dia akan memutuskan hubungan pada pria itu, dia tidak ingin hidup penuh egois.Zidan pantas mendapatkan yang lebih baik dari dirinya, apalagi saat ini dirinya sudah kotor, sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan pria sebaik Zidan."Rayna, dipanggil sama Pak Alden, kamu disuruh menghadap ke ruangannya," panggil temannya itu, Riska namanya.Rayna menghela napas berat. "Nggak deh kayaknya, aku lagi ... lagi sakit perut, bisa nggak kalau kamu yang gantiin aku?" pinta wanita itu.Riska tampak menimbang-nimbang jawaban, tak lama kemudian dia mengangguk mengiyakan."Iya deh,
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, menurut Rayna. Usai bertemu dengan Alden tadi, pikirannya mulai berkecamuk.Alden menunjukkan sisi lain dari kehidupannya, yang Rayna pikir jika Alden itu tipe pria penggoda, suka merayu sana-sini, penolong tapi pamrih. Namun tadi dia melihat sendiri bagaimana Alden sedang marah, hal itu sukses membuatnya merinding.Bagaimana kalau sampai ancamannya itu bukan hanya sekadar omongan belaka? Apa yang harus dia lakukan? Apakah Rayna akan tetap mengandung benih dari pria itu? Apa yang akan orang lain pikirkan tentangnya?Rayna bergidik ngeri. "Ngapain mikir yang jauh-jauh sih, belum tentu juga aku hamil, kan? Ngapain juga ancamannya terlalu dipikirin, mungkin itu hanya gertakan saja," gumam wanita itu."Ini udah waktunya pulang, kamu nggak pulang?"Rayna terlonjak kaget, dia melihat ke samping, dilihatnya Riska tengah menatapnya sambil nyengir."Ngagetin aja kamu itu!" seru Rayna."Hehehe, lagian dari tadi aku lihat kamu itu melamun terus. Mikir
"Alden, jangan seperti ini. Nanti ada yang lihat," kata Rayna lirih.Saat ini posisi mereka begitu dekat. Entah apa yang Alden pikirkan, pria itu terus mendekati Rayna, dan Rayna sebisa mungkin menjauh dari pria itu, sayangnya saat ini dirinya malah terpojok, kini dia berada di kungkungan pria itu."Nggak ada orang, di sini sepi."Rayna mendorong pria itu, sayangnya tenaganya tidak terlalu kuat, Alden sama sekali tidak bergerak dengan dorongannya itu."Kenapa pertanyaanku tidak dijawab?""Pertanyaan apa? Lagian kamu itu salah paham. Aku cuma--""Cuma apa? Jelas-jelas aku dengar sendiri kalau kamu cari tahu tentang kehidupanku, tanya dengan siapa saja aku tidur, dan juga siapa saja wanita yang minta tanggung jawab padaku. Apa itu disebut salah paham, Rayna? Aku tidak tuli ya," dengkus pria itu."Maaf kalau kamu keberatan, aku tidak akan mengulanginya lagi.""Lagian kamu ngapain tanya seperti itu. Apa yang bikin kamu penasaran, kita sudah pernah melakukannya, kan? Aku rasa kamu menginga
"Nggak mau mampir dulu, Den?" tawar Zidan.Setelah mengalami kejadian menegangkan, akhirnya Zidan membuka kembali obrolan itu, walau sebenarnya di dalam hatinya selalu dipenuhi dengan pertanyaan."Kayaknya langsung aja deh, Dan. Sibuk soalnya," ucap Alden beralasan."Kok gitu, ayo mampir dulu, sekali-kali juga, kan? Ya, ngopi-ngopi dulu lah buat lepas penat, kapan lagi kita kumpul," desak pria itu.Alden menghela napas. Dalam lubuk hatinya, sejujurnya dia tidak mau mengganggu waktu mereka berdua. Selain karena takut mengganggu, dia juga harus mengamankan hatinya, kalau-kalau nanti tiba-tiba dadanya berdenyut nyeri.Setelah berpikir panjang, akhirnya pria itu mengangguk lemah, sebagai tanda rasa menghargai temannya itu."Oke deh," ucapnya sambil turun dari mobil."Omong-omong kalian habis dari mana?" tanya Zidan penasaran."Dari mana katamu? Jelas aja dari restoran, kamu lupa kalau Rayna kerja di restoranku?" tanyanya pura-pura merajuk.Bukannya menjawab, Zidan malah nyengir. "Aku kira