"Ada apa kamu ke sini? Tumben," kata Zidan datar."Emangnya nggak boleh?" Alden balik bertanya."Bukannya nggak boleh, tumben aja gitu loh. Biasanya juga jarang. Gimana soal bisnis? Lancar?"Alden manggut-manggut. "Lancar-lancar aja, gimana punya kamu?""Kamu lihat sendiri," sahut Zidan sambil memperlihatkan sekitar.Alden tersenyum tipis, melihat kafe Zidan yang begitu ramai membuat dia bernapas lega. Alden tahu betul perjuangan Zidan ketika merintis usahanya dulu, dialah yang selalu mensupport pria itu, ketika Zidan mengeluh, dia juga yang menyemangati pria itu agar berusaha untuk sabar.Dan sekarang, berkat buah kesabaran Zidan, usahanya akhirnya sukses."Aku senang melihatnya, akhirnya apa yang kamu impikan tercapai juga," gumam pria itu.Zidan ikut tersenyum. Ini yang membuat dia tidak bisa marah pada Alden. Karena Alden lah yang membuatnya semangat membangun bisnis ini. Banyak sekali bantuan yang Alden berikan padanya, rasanya tidak etis jika tiba-tiba saja Zidan menghindarinya
Akhirnya Alden menyetujui permintaan Rayna bahwa dia tidak akan mengganggu wanita itu lagi, tetapi pria itu tetap tidak menyetujui kalau Rayna akan berhenti bekerja, dan beruntungnya Rayna menyanggupi permintaannya.Karena menurutnya dia bisa memperhatikan wanita itu ketika sedang bekerja meskipun secara diam-diam.Hari ini Alden berangkat ke restoran cukup pagi, entah kenapa tiba-tiba saja tingkahnya seperti itu. Dia tidak sabar untuk melihat Rayna. Tapi sepertinya dia datang cukup kepagian."Sial! Kurang kerjaan banget aku ke sini pagi-pagi. Cuma mau ketemu wanita itu kenapa aku tampak bersemangat sekali," dengkus pria itu tak suka.Memang tindakan kadang bisa saja menipunya, tapi tidak dengan hatinya. Dan dugaan Alden semakin kuat kalau dirinya memang benar-benar mencintai wanita itu."Kamu ini kenapa sih kok dibilangin ngeyel banget. Aku bilang, kan, nggak usah kerja, bentar lagi kita itu mau nikah, masalah uang biar aku yang urus, tugas kamu itu di rumah aja."Alden langsung meno
Sedari tadi Alden terus saja memperhatikan Rayna, dia tersenyum kecil ketika melihat wanita itu tampak tidak fokus. Sebenarnya apa yang sedang ada dipikiran wanita itu, bisa-bisanya selalu membuat kesalahan ketika bekerja. Apa mungkin yang ada dipikirannya itu selalu Zidan? Atau Rayna sengaja mencuri perhatian Alden supaya Alden menghukumnya?Alden menggeleng cepat. Bukankah wanita itu tidak suka jika dirinya dekat-dekat dengan wanita itu? Jadi, Alden harus berusaha keras atau menahan diri agar tidak dekat-dekat dengan wanita itu, walau sebenarnya dia sangat ingin.Alden mencoba mendekati wanita itu, dia pura-pura ingin melihat cara kinerja para karyawan, setidaknya seperti ini saja sudah cukup, mencium aroma parfum wanita itu membuatnya terasa nyaman. Karena tak ingin kepergok sedang memperhatikan wanita itu, akhirnya Alden mencari alasan lain."Hei, kamu!" tunjuk Alden pada Riska.Baik Riska dan Rayna langsung menoleh ke arah sumber suara. Tatapan Rayna begitu tajam ketika Alden men
"Rayna?" panggil Alden sekali lagi, karena melihat wanita itu tampak diam saja. "Kamu baik-baik aja, kan?"Rayna mengusap tengkuknya yang tidak gatal, sebelumnya dia sama sekali tidak mempunyai persiapan, jawaban apa yang akan dia kasih ketika Alden bertanya seperti itu."Hem, itu ... tadi katanya temanku lagi sakit perut, makanya dia yang nyuruh aku buat antar kopi ini," kata wanita itu beralasan.Alden manggut-manggut, dia menyuruh Rayna agar segera menaruh kopi itu di atas meja. Dia tidak mau melihat tangan Rayna kepanasan akibat memegang kopi tersebut.Alden mencicipi kopi itu, dia mengernyitkan keningnya ketika rasa itu tidak sama seperti buatan Rayna. Dia sangat hapal rasa buatan Rayna seperti apa."Bukan kamu yang buat?" tanya pria itu.Rayna menggeleng pelan. "Bukannya tadi kamu nyuruh orang lain?" tanya wanita itu balik, nada bicaranya seperti tidak suka."Karena aku nggak mau ngerepotin kamu lagi, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau aku nggak boleh dekat-dekat kamu lagi?
"Zidan? Kamu ada di sini?" tanya Rayna, wanita itu tampak terkejut ketika melihat kedatangan Zidan ke rumahnya."Iya, kenapa tadi nggak mau dijemput?" tanya pria itu tanpa basa-basi. Jelas saja dia curiga dengan penolakan Rayna. Pasalnya ketika pria itu mengantar Rayna, Rayna menyetujui jika akan dijemput oleh Zidan."Oh, itu ... tadi aku lagi sama teman, aku diajak belanja sama dia. Jadi ya, nggak enak aja nolaknya. Maaf ya," kata Rayna, dia merasa bersalah karena telah berbohong pada pria itu.Zidan manggut-manggut. "Oh, aku kira kenapa. Aku menginap di sini ya?"Mata Rayna terbelalak ketika Zidan bertanya seperti itu.'Menginap? Kenapa tiba-tiba sekali. Kenapa waktunya tidak pas. Nanti malam, kan, Alden akan datang ke sini, lantas apa yang harus aku lakukan? Kira-kira alasan apa yang harus aku katakan?' Batin Rayna bertanya-tanya, dia menjadi gusar."Rayna?""Eh, ya?" Rayna tersentak kaget. "Apa tadi?""Aku ingin menginap di sini, boleh, kan?""Kenapa? Kok tumben banget?" tanya wan
Sudah tiga hari ini Alden maupun Rayna saling tak bertegur sapa. Alden masih jengkel dengan wanita itu karena menurutnya Rayna tidak tegas, dan selama tiga hari itu pula Alden selalu uring-uringan tak jelas. Selain dia marah dengan Rayna, dia juga marah dengan Zidan karena tanpa sebab tiba-tiba saja pria itu menginap di rumah Rayna.Sebenarnya bukan itu yang dia pikirkan, masalahnya adalah selama Zidan menginap di rumah wanita itu, apa saja yang mereka lakukan. Itulah yang selalu ada dipikiran Alden.Tidak mungkin, kan, kalau mereka berdua hanya melakukan hal yang positif? Pikiran Alden sudah berkelana ke mana-mana."Ini kopinya, Pak."Alden tersentak kaget, karena terlalu memikirkan Rayna, dia sampai tidak tahu jika ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya.Alden mengernyitkan dahinya ketika melihat salah satu karyawannya itu."Kamu yang antar?" tanya pria itu tiba-tiba.Riska menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tampaknya wanita itu bingung."Bukankah tadi Anda yang menyuruh s
"Aku tidak bisa makan malam denganmu.""Kenapa?" tanya Alden dari ujung sana, padahal pria itu sudah tahu jawabannya apa."Di sini ada Zidan, aku tidak bisa meninggalkannya, karena dia sedang mabuk," jelas wanita itu."Please, Rayna, untuk kali ini saja kamu harus tega. Mulailah menjadi egois," geram Alden."Aku kasihan sama dia, Alden. Dia lagi mabuk, selama aku bersamanya, aku nggak pernah lihat dia seperti ini. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia mabuk, aku khawatir kalau dia kenapa-kenapa." Rayna berusaha meyakinkan Alden, agar pria itu bisa mengerti posisinya."Justru itu yang aku khawatirkan, kalau kamu ada di dekat dia, aku takut kalau kamu juga ikut-ikutan mabuk juga. Kalau kamu udah mabuk, itu bahaya," sungut Alden, pria itu sepertinya kesal. "Sebaiknya aku datang menjemputmu.""Jangan!" bantah Rayna."Kenapa lagi sih, Rayna. Katanya kamu suka sama aku, tapi kenapa kamu terus-terusan dipihak Zidan? Kenapa kamu selalu merasa kasihan sama Zidan. Padahal aku juga terluka,
Rayna mengerjapkan matanya berkali-kali, sepertinya wanita itu sudah bangun dari tidurnya. Wanita itu meringis pelan karena merasakan kepalanya sakit.Wanita itu pun kembali memejamkan matanya seraya menghela napas berat. Ketika sakit di kepalanya sudah terasa mendingan, barulah dia kembali membuka mata."Sudah bangun, Sayang?" tanya Zidan dengan suara lembut.Rayna terperanjat ketika mendengar suara lelaki, wanita itu pun langsung menoleh ke samping, dilihatnya Zidan tengah tersenyum manis ke arahnya. Namun yang membuat Rayna memelototkan matanya adalah pria itu tidak memakai baju."Zidan, ngapain kamu ada di sini?" tanya wanita itu gelagapan. Kentara sekali jika dia tengah resah.Zidan mengerutkan keningnya. "Ngapain? Kamu lupa sama yang kita lakukan tadi malam?" tanya pria itu heran.Rayna menahan napas, apakah kejadian waktu itu ketika dia bersama Alden terulang kembali dengan pria berbeda? Rayna langsung menggeleng cepat, menyangkal sekuat tenaga, dia yakin tadi malam tidak terja