Share

Pikiran Liar

Alden menggeram kesal ketika ada yang mengusik tidurnya.

Ponselnya beberapa kali berdering. Awalnya pria itu mengabaikan, akan tetapi deringan ponsel itu terjadi berulang kali, membuat pria itu dengan berat hati mengangkatnya.

"Ya?" jawabnya dengan suara serak.

"Den, aku bisa minta bantuanmu?"

"Nggak bisa, aku sedang sibuk!" jawab pria itu ketus.

Terdengar helaan napas dari ujung sana.

"Dengan wanita?"

Alden tertawa pelan. "Oh, ayolah. Kamu pasti sudah tahu kebiasaanku seperti apa."

"Kapan kamu akan berubah, Den. Tiap hari begitu terus. Nggak takut terkena penyakit karena sering gonta-ganti wanita?" tanya Zidan dari ujung sana. Sepertinya pria itu tampak lelah untuk menasehati temannya itu.

"Entahlah, aku happy seperti ini," kata Alden. Namun, dari nada bicaranya terdengar begitu putus asa.

"Katakan padaku, wanita seperti apa yang kamu inginkan. Aku akan membantumu mencarikannya, agar kamu berhenti untuk bermain-main, Alden."

Lagi-lagi pria itu tertawa. "Yang pasti ketika aku di dekatnya, aku selalu merasa nyaman."

Tiba-tiba saja pikiran Alden kembali tertuju pada Rayna. Lagi-lagi dia menelan salivanya, pria itu langsung menggeleng cepat, lalu berdeham keras.

"Jadi, kamu ingin meminta bantuan apa?" tanya Alden, mengalihkan pembicaraan.

"Jadi gini, kemarin aku meminta Rayna untuk menjemputmu, dan saat ini kondisinya sedang drop. Aku tidak bisa datang menemuinya karena akhir-akhir ini Kafe lagi ramai. Rasanya tidak mungkin aku pergi dari tanggung jawab. Kamu tahu sendiri, kan? Susah payah aku bangun usaha ini sampai pada akhirnya bisa jadi seperti ini--"

"Kamu dari tadi ngomongin apa, sih? Langsung pada intinya aja," sela Alden cepat.

"Oke, oke. Sabar dikit, kenapa. Aku ingin meminta bantuanmu, bisa datang ke rumah Rayna sebentar?"

Alden mengerutkan keningnya. "Calon istri kamu?"

"Iya. Tadi dia mengatakan ingin makan bubur ayam, tapi aku tidak bisa mengantarnya."

Alden mendengkus keras, pikiran liar Alden dari wanita itu saja belum lepas, sekarang Zidan malah menyuruhnya untuk kembali bertemu dengan dia? Alden bisa gila.

"Kamu calon suaminya, kenapa jadi nyuruh aku?"

"Aku hanya meminta bantuan. Lagian dia sakit juga karena habis mengantar kamu."

"Aku nggak ada nyuruh dia buat jemput," ujar pria itu tak terima.

"Oke, aku ngerti. Tapi nggak ada salahnya, kan, kalau kamu bantu? Kamu nggak kasihan sama aku? Kali ini aja kamu membantuku, please," mohon Zidan.

"Aish! Kamu ini, menyusahkan saja. Baiklah, aku akan membantumu, kirim alamat rumah wanita itu," sahut Alden dengan nada ogah-ogahan.

"Baiklah, aku akan mengirimkan alamatnya melalui pesan."

Alden mematikan sambungan teleponnya. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, ketika dia ingin bangun dari ranjang itu, tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya.

"Mau ke mana?" tanya wanita itu dengan suara serak.

"Bukan urusanmu! Sebaiknya kamu kemas-kemas, pakai pakaianmu lagi, aku akan pergi, dan ini bayaran untuk kamu," ucap Alden sambil menyodorkan sebuah cek untuk wanita itu.

Wanita itu mengambil cek itu dengan penuh semangat.

"Senang bekerja sama denganmu, telepon aku kalau kamu kembali membutuhkanku, aku siap melayanimu kapan pun."

Alden tersenyum, senyuman jenis ironi. Pria itu langsung membalikkan tubuhnya membelakangi wanita itu.

"Cepatlah, pergi dari sini!" ujar pria itu dingin.

Wanita itu menurut, dia kembali memakai pakaian yang berserakan entah ke mana. Lalu pergi meninggalkan Alden seorang diri.

Ucapan Zidan tiba-tiba terngiang di kepala Alden. Pria itu menghela napas berat.

"Sampai aku menemukan wanita yang benar-benar menggetarkan hatiku. Jika memang ada, pasti akan aku perjuangkan, sekalipun dia sudah menjadi milik orang lain," desis pria itu sambil mengepalkan tangannya dengan erat.

***

Alden menghela napas berat, dia melihat plastik yang saat ini tengah dipegangnya, yaitu bubur pesanan Rayna.

"Berasa lagi punya pacar, dan lagi bucin," gumam pria itu.

Alden mengedikkan bahunya acuh, dia mendekati rumah wanita itu, lalu mengetuk pintu dengan agak keras.

Beberapa kali dia ketuk, akhirnya pintu itu pun terbuka. Kepala Rayna menyembul dari balik pintu, lalu matanya terbelalak ketika melihat Alden ada di depan rumahnya.

"Kamu? Ngapain di sini?" tanya wanita itu heran.

Alden mengusap tengkuknya secara perlahan. "Disuruh Zidan nganterin bubur pesanan kamu, nih."

Rayna menatap plastik yang disodorkan oleh Alden, bukannya langsung diambil, Rayna malah menatap plastik itu dengan tatapan kosong, membuat Alden mengerjap bingung.

"Halo," ucap Alden sambil mengibaskan tangannya berkali-kali.

Rayna tersentak, kemudian tersenyum kikuk. "Ah, ya, terima kasih," kata wanita itu.

Alden tahu bahwa saat ini Rayna tampak kecewa, kentara sekali dari raut wajah wanita itu. Mungkin wanita itu sedang mengharapkan kedatangan Zidan, tapi nyatanya orang lain yang datang, begitulah pikirnya.

"Kamu sakit?" tanya Alden, tanpa sadar tangan pria itu refleks memegang kening Rayna. "Ya ampun, kamu demam!" kata Alden panik.

"Ini udah biasa," jawab Rayna seraya melepaskan tangan Alden dari keningnya. "Omong-omong, makasih ya untuk buburnya, dan juga maaf karena sudah merepotkanmu."

Alden meringis pelan, entah kenapa dia merasa lancang sudah memegang kening wanita itu tanpa izin.

"Oh, nggak, nggak apa-apa kok, hitung-hitung bantu teman. Kamu sudah berobat?"

Rayna mengangguk. "Udah minum obat."

"Oh, bagus deh."

Tiba-tiba saja suasana menjadi canggung, cukup lama mereka saling terdiam, hingga pada akhirnya Alden berdeham sedikit keras.

"Sepertinya aku harus pulang, karena tugasku sudah selesai," pamit Alden.

"Eh, tunggu dulu!" cegah Rayna. "Ini bubur ayamnya ada dua porsi, kayaknya aku nggak bakalan habis untuk makan semuanya, gimana kalau kita makan bersama?" tawar Rayna.

Mana mungkin Alden akan menyia-nyiakan kesempatan itu, kepalanya ingin dia anggukkan namun entah mengapa terasa berat. Jiwa gengsinya tiba-tiba saja muncul.

"Sepertinya tidak bisa," tolak pria itu halus.

"Oh, begitu, ya. Ya udah deh, nggak apa-apa."

Alden memerhatikan raut wajah sendu Rayna, membuat pria itu menghela napas pelan.

Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Alden mempunyai rasa kasihan, padahal pria itu terkenal tidak pernah peduli dengan orang lain, terkecuali dengan Zidan, temannya.

"Aduh, sepertinya ucapanku tadi aku tarik lagi deh, kebetulan banget aku belum makan. Apa tawaran itu masih berlaku?" tanya Alden sambil nyengir lebar.

Rayna tertawa kecil, membuat Alden tertegun. Sialnya, jantungnya berdebar tak karuan.

'Sial! Apa ini. Apa iya aku punya riwayat penyakit jantung, kenapa jadi seperti ini?' batin pria itu.

"Silakan masuk, aku akan siapkan buburnya dulu."

Rayna pergi dari hadapan Alden, membuat pria itu sedikit bernapas lega.

'Ingat, Alden. Dia bukan wanita yang sering kamu sewa, dia adalah calon istri Zidan. Jadi stop berpikir yang tidak-tidak. Come on, kali ini aja berpikirlah sedikit waras,' batin pria itu mengingatkan dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status