Share

Cari Kesempatan dalam Kesempitan

Rayna mendelik tajam karena sedari tadi Alden terus saja menatapnya. Dia bukan percaya diri karena pria itu naksir padanya, tapi sudah pasti pria itu terus menatapnya karena ingin melihat bagaimana cara kerjanya. Tetap saja hal itu membuatnya risih, apalagi dengan tatapan Alden yang begitu intens.

Rayna mendekati Alden, menggebrak meja itu dengan keras membuat lelaki itu terperanjat kaget.

"Bapak ngapain ngeliatin saya seperti itu?" tanya wanita itu dengan mata melotot.

Alden menatap sekitar, jelas saja saat ini mereka tengah menjadi bahan tontonan banyak orang, terutama pelanggan.

"Siapa juga yang ngeliatin kamu, jangan Geer," geramnya kesal.

"Itu dari tadi mata Anda selalu saja mengarah pada saya, pasti Anda berpikir mesum ya?"

Alden mengusap wajahnya dengan kasar. Memang benar yang Rayna katakan, bahwa sedari tadi dirinya menatap wanita itu.

Entah mengapa matanya selalu tertuju pada Rayna. Tapi kalau dibilang mikir mesum? Bisa jadi iya bisa jadi juga tidak.

Alden melipatkan kedua tangannya di dada, dia tersenyum sinis.

"Kamu baru aja kerja di sini, sudah berani berpikir yang tidak-tidak. Saya ini atasan kamu loh, wajar saja kalau saya dari tadi ngeliatin kamu terus. Selain karena saya punya mata, saya juga berhak melihat bagaimana cara kinerja kamu. Mata punya siapa? Kenapa Anda sewot. Bukan begitu?" tanya Alden sambil menatap sekitar.

Yang merasa ditatap oleh Alden mengangguk serempak.

"Nah, mereka aja setuju kok, masa kamu keberatan. Wajar 'kan kalau saya menilai kinerja orang?" tanya Alden lagi sambil menatap orang-orang yang ada di sana.

Lagi-lagi yang ditatap Alden mengangguk.

Rayna mengepalkan tangannya karena dia dibuat malu oleh pria itu.

'Sialan, bisa-bisanya dia membalikkan sebuah fakta. Kenapa Zidan bisa punya teman nyebelin kayak dia sih. Jadi selain jadi pria mesum, dia juga pria yang paling menyebalkan,' gerutu Rayna dalam hati.

"Rayna, sebaiknya kamu cuci piring di belakang, sungguh, tingkah kamu ini sungguh memalukan. Bahkan kamu sudah berani membentak bos di depan umum. Meminta maaflah, jika tidak kamu akan berakhir dipecat," peringat manager tersebut.

Nasib Rayna hari ini benar-benar apes. Sudah dipermalukan di depan umum, sekarang malah pekerjaannya berada di ujung tanduk, belum ada sehari dia kerja di sini, sudah mau dipecat. Yang benar saja.

'Double malu sih ini namanya,' gerutu wanita itu dalam hati.

Rayna menatap Alden dengan tajam, dia sempat melihat pria itu tersenyum menyeringai.

'Tuh, kan, benar-benar sial aku hari ini. Apalagi lihat dia kayak ngejek aku gitu, dasar laki-laki mesum bin nyebelin. Nggak lagi-lagi deh aku deketan sama kamu."

"Rayna, apa kamu dengar suaraku?"

Rayna terperanjat, dia menatap Pak Harun, selaku manager di restoran itu dengan senyum kikuk, lalu pandangannya mengarah pada sekeliling restoran tersebut. Semua para pengunjung tengah menatapnya, Rayna juga melihat ada yang berbisik-bisik. Ah, sudah pasti tengah mencibirnya.

'Ah, udah terlanjur basah. Ya udah deh, nyemplung aja sekalian.'

"Pak Alden, maafkan atas kesalahan saya. Saya janji kejadian ini tidak akan terulang kembali, tolong jangan pecat saya, Pak. Saya mohon," kata wanita itu dengan kepala menunduk.

Alden tersenyum tipis. "Janji tidak akan terulang kembali?"

Rayna mengangguk cepat. "Janji, Pak." Rayna menjawab dengan mantap.

"Apa jaminannya?"

Rayna mengerjapkan matanya secara perlahan. "Jaminan?" tanya wanita itu bingung.

"Iya, apa jaminannya supaya kejadian seperti ini tidak kembali terjadi?"

"Saya nggak punya jaminan apa-apa, Pak. Tapi saya janji akan melakukan apa saja demi kelangsungan pekerjaan saya."

Alden lagi-lagi tersenyum, membuat Rayna tak nyaman, terutama dengan perasaannya.

'Eh, aku nggak salah ngomong, kan?' tanyanya dalam hati.

"Ya sudah, karena masalah ini sudah diselesaikan secara baik-baik, semuanya bisa bubar. Lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing, dan untuk para pengunjung, mohon maaf karena sudah membuat keributan, silakan lanjutkan rutinitas kalian. Kecuali untuk kamu, Rayna. Kamu ikut saya ke ruangan," titah Alden.

"Tapi, Pak. Pekerjaan saya--"

"Bisa digantikan dengan yang lain."

Selepas mengatakan seperti itu, Alden pergi.

"Udah sana, jangan buat masalah dengan dia. Nanti kamu punya masalah lagi, pekerjaanmu biar aku yang urus," tegur teman Rayna yang bernama Tika.

Rayna mengangguk, dia pun akhirnya mengikuti Alden dari belakang.

"Ngapain dia nyuruh aku ngikutin dia. Curiga nih aku."

Tepat di depan pintu ruangan Alden, Rayna menghirup napas banyak-banyak, lalu mengeluarkannya dengan kasar.

"Semoga nggak apes lagi," gumamnya pelan.

Rayna mengetuk pintu itu pelan, setelah mendapat sambutan dari dalam Rayna akhirnya membuka pintu itu dan masuk ke dalam ruangan itu.

'Cih, sok sibuk,' batin wanita itu, ketika melihat Alden tampak membolak-balikkan kertas. 'Halah, paling juga itu kertas kosong, nggak ada tulisannya,' cibirnya lagi, dalam hati.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Rayna sopan, padahal dalam hatinya sangat dongkol.

"Jelas ada. Makanya saya memanggilmu ke sini."

"Kalau boleh tahu, apa yang bisa saya bantu, Pak?"

"Saya cuma mau mengingatkan dengan ucapanmu tadi, bahwa ingin melakukan apa pun yang aku inginkan asalkan jangan pecat kamu, betul begitu?" tanya pria itu sambil menatap Rayna tajam, tak lupa juga dia menaruh tangannya di dagu, supaya terlihat cool, sayangnya di mata Rayna tidak sama sekali.

"Iya betul, Pak. Saya memang mengatakan seperti itu."

Alden manggut-manggut. "Berarti kamu akan menuruti apa yang saya perintahkan?" tanya pria itu sekali lagi.

Tangan Rayna mengepal, sepertinya Alden mencari kesempatan dalam kesempitan. Sial, sepertinya tadi wanita itu benar-benar salah berucap.

"Y--ya, asalkan menyangkut pekerjaan, pasti akan saya lakukan."

"Nah, itu dia. Kalau begitu saya minta kamu buatkan saya kopi. Tidak terlalu pahit dan juga tidak terlalu manis. Sekarang!"

Rayna menghela napas panjang, lalu memberikan sebuah senyuman lebar, tapi penuh dengan keterpaksaan.

"Baik, Pak."

Rayna keluar dari ruangan tersebut, tak lama kemudian dia kembali lagi dengan membawa secangkir kopi pesanan Alden.

"Silakan diminum, Pak."

Alden menatap kopi itu sekilas. "Ini sesuai pesananku, kan? Tidak terlalu manis dan juga tidak terlalu pahit?" tanya pria itu dengan tatapan menyipit.

"Iya, Pak."

Alden menyeruput kopi itu secara perlahan, tak lama kemudian pria itu mengernyitkan keningnya. Rayna yang menangkap raut wajah Alden hanya bisa meringis pelan.

'Kalau dilihat dari wajahnya, kayaknya aku bawal kena semprot deh.'

"Ini mah kemanisan, kamu itu sebenarnya bisa bikin kopi nggak sih?"

'Tuh, kan, aku bilang juga apa.'

"Jujur saja ya, Pak. Saya sebenarnya nggak bisa bikin kopi, harusnya Anda bilang kalau ingin rasa yang manis, manis sekalian, pahit, pahit sekalian. Biar nggak bikin pusing, saya mana tahu takaran seperti yang Anda bilang."

'Syukur-syukur nggak saya kasih garam, Pak. Hitung-hitung buat balas dendam,' batin wanita itu melanjutkan.

"Jangan banyak omong deh, sekarang kamu bikin kopi itu lagi, pokoknya harus pas. Nggak boleh pahit dan nggak boleh manis, titik!"

Baru saja Rayna ingin membuka mulut, Alden sudah lebih dulu menyela.

"Tidak ada bantahan!" tegas pria itu, membuat Rayna langsung kicep seketika.

Mau tak mau dia kembali membuatkan pria itu kopi, tak tanggung-tanggung Rayna langsung membawakan 5 cangkir kopi itu sekaligus di hadapan Alden.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status