“Baiklah....aku menerima lamaranmu...” suara itu begitu merdu terdengar di telingaku. Membuat tubuhku yang sudah merasa menggigil ini tiba-tiba terasa menghangat.
“Benarkah?!” aku melebarkan senyum. Takut jika apa yang baru saja kudengar salah karena deru ombak ditambah angin ini sangat menganggu pendengaranku.
Dia mengangguk, kembali memperlihatkan senyum bulan sabitnya yang mempesona. Aku menarik nafas lega. Akhirnya setelah beberapa kali mengajaknya menikah, tepat sore ini di sebuah pantai di kota Busan, Korea Selatan, dia menerima lamaranku.
Tak menunggu waktu, kuraih jemari lentiknya dan kupakaikan sebuah cincin bermata biru safir itu di jari manisnya. Jari itu tampak terlihat semakin cantik saat cincin itu sudah melingkar di sana.
“Jadilah dari ibu dari anak-anakku.....”gumamku kemudian dan aku melihatnya mengangguk dengan matanya yang basah. Aku tahu dia terharu dengan lamaranku kali ini. Di tepi pantai di musim gugur yang dingin, suara camar, ombak dan gemerisik angin laut seakan ikut menjadi saksi perjanjain kami.
“Aku mencintaimu....” bisiknya setelah aku menghapus air mata di pipinya. Sedetik kemudian, dia sudah mengecup bibirku dengan lembut.
Aku tersenyum, lalu memeluk tubuh mungilnya dengan hangat. Bau lavender yang menenangkan tercium dari rambutnya seperti biasanya. Tubuh yang ringkas dan nyaman sekali saat masuk dalam dekapan tubuhku yang bidang. Setiap kali dia jatuh ke dalam pelukanku, setiap itu pula aku merasajika tubuh mungil itu membutuhkanku agar aku bisa melindunginya dengan baik.
Liburan musim panas telah berlalu, dan malam ini kami berdua akan kembali terbang ke Budapest setelah menghabiskan waktu liburan kami selama hampir dua minggu. Namun sebelum kami kembali ke rutinitas kami, aku ingin mengukir sebuah kenangan manis di sini. Di negara kelahiran mama, di tempat yang sama ketika papa melamar wanita yang dicintainya. Dan akhirnya terwujud, aku bisa melamarnya di sini. Dan dia menerimanya.
“Heiii...bukankah kita akan ketinggalan pesawat jika terus melakukan ini?” dia melepaskan pelukannya.
“Bagaimana kalau kita langsung menikah di sini saja?” tanyaku. Terdengar seperti bercanda namun sebenarnya aku serius. Jika gadisku ini mengangguk, aku pasti akan segera mengajaknya masuk ke gereja. Iya, aku tadi melihat sebuah gereja yang indah di atas bukit.
Dia tertawa dan memperlihatkan arloji yang dipakainya. Mengigatkanku bahwa satu jam lagi pesawat kami akan berangkat.
“Ingat tuan muda, jika aku punya sebuah pameran di Budapest minggu depan.” Decaknya. “Dan aku tidak ingin meninggalkan acara ini dengan alasan apapun.”
“Ya...ya....ya....aku mengerti!” dia tertawa. aku tahu bahwa dia akan sibuk selama seminggu ke depan mempersiapkan acara pameran lukisannya di aula kampus kami. Jadi aku yakin bagaimanapun aku memaksa, dia tak akan mungkin meninggalkan acara itu dengan alasan apapun.
“Mungkin suatu saat aku akan menerima tawaranmu untuk tinggal di sini.”katanya kemudian.
Wajahku berbinar.
“Promise?”
“Yes! I’m promise.”
Sekali lagi kupeluk tubuhnya sebelum akhirnya kami meninggalkan pantai ini dengan tergesa untuk mengejar pesawat.
Aku memacu mobilku sedikit kencang karena diburu waktu. Disampingku, dia duduk dengan tenang sambil sesekali menatap jari manisnya yang terpasang cincin bermata biru safir itu. aku yakin jika dia sedang mengaguminya diam-diam karena terpesona akan keindahan warna biru tersebut.
Jalanan sepi, langit sudah mulai gelap. Bulan penuh diatas sana bertenger indah, mebiaskan sinar keemasan pada air laut di bawah tebing sana. Menciptakan pemandangan indah nan menakjubkan di musim gugur ini.
Aku sama sekali tak bisa konsetrasi. Berkali-kali ku curi pandang wajahnya diam-diam. Dia begitu cantik di bawah sinar bulan seperti ini, dan aku tak ingin melewatkan moment ini begitu saja. Akh, betapa beruntungnya aku dipertemukan dengan gadis secantik dan sebaik dirinya. Aku yakin, dialah wanita yang tepat, yang akan menjadi ibu dari anak-anakku nanti dan juga yang akan mengurusku. Aku tak sabar menghabiskan hari-hari indah bersamanya setelah pernikahan kami nanti. Tinggal di sebuah rumah munggil, setiap pagi ia akan menyiapkan sarapan untukku dan menghabiskan sepanjang hari dengan melukis, sedangkan ketika malam tiba, kami akan tidur saling memeluk di bawah selimut yang sama. Sebuah hal yang membahagiakan, yang sebentar lagi benar-benar akan terwujud.
“Awas!” tiba-tiba monolog di kepalaku menghilang seiring dengan jeritnya yang melengking nyaring. Buru-buru aku memfokuskan pandanganku, namun telat. Sebuah truk besar tiba-tiba sudah berada di depan kami dan mencuri jalan.
Aku panik. Tanpa berfikir untuk kedua kali, kubanting stirku ke arah kiri. Mobil yang ku kemudikan oleng dan menabrak pembatas jalan dengan sentakan yang begitu dahsyat. Aku mencoba menginjak rem, namun sia-sia. Tubuhku menubruk bodi mobil beberapa kali, begitu juga dia. aku masih mendengarnya menjerit-jerit sebelum suara sunyi membelenggu kami.
Kepalaku sakit, sangat sakit dan semakin sakit. Berulang kali aku mencoba membuka mataku untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Dalam pandanganku yang mengabur, aku melihatnya memejamkan mata di sisiku. Ada darah yang mengalir di wajahnya. Perlahan, aku melihat jemarinya yang bergerak-gerak pelan. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba meraih jari dengan cincin biru safir itu. Namun percuma, seiring dengan kepalaku yang berdenging hebat tiba-tiba mataku menutup dan aku tak ingat apa-apa.
*******
Hawa dingin langsung menyapaku tatkala aku baru saja turun dari pesawat pagi ini. bandara Budapest Ferihegy terlihat megah dan bersih, tak banyak berubah dari kedatanganku setahun yang lalu. Ya, biasanya aku akan datang kemari setahun sekali, untuk memperingati ulangtahun mama dengan Andreas—papa tiriku. Namun belum genap setahun, aku sudah haru kembali ke sini dan meninggalkan semua aktifitasku di Jakarta. Itu dikarenakan mamaku sakit. Itulah kabar yang aku dapat dari Rebecca—sepupuku kemarin. “Ada penyumbatan di jantung tante Lita. Dia membutuhkan operasi segera.” Kata gadis itu dari balik tetepon dan tentu saja
Adrian pov. Apa kalian pernah mendengar bernafas tapi tak hidup? Mungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedang menunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu berusaha untuk mengakhiri ini semua, namun mungkin Tuhan terlalu baik padaku. Karena semakin aku mencoba, jiwaku selalu terselamatkan. Jika nenek selalu merapal doa tiap malam di kamar dinginnya nan gelap agar aku sembuh, aku juga melakukan hal yang sama namun dengan permintaan yang berbeda, yaitu aku selalu memohon pada Tuhan jika hidupku tak berarti, ambil saja karena aku sudah tak butuh itu semua. Aku tahu jika aku sakit, tapi bukan ragaku. Melainkan is
Elisabeth pov. Pertemuanku dengan pria bernama Justin tadi tak mudah aku lupakan begitu saja. Pria itu mengusikku, mengusik pikiranku tentu saja. Anggap saja dia seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari hidupku. Tidak...aku tidak menyebutnya jahat, aku tahu dia sedang menjalankana perintah. Tapi aku merasa jika timming-nya tepat sekali. Bagaimana dia tahu jika ibuku sekarang sakit, bagaimana dia tahu jika papa tiriku membuat pinjaman dengan rumah dan toko sebagai jaminan dan kami kini sedang kesulitan, bagaimana dia tahu bahwa aku dulu kuliah sebagai perawat meskipun pada akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Bagaimana? Bukankah timming-nya pas saat dia menawariku untuk bekerja pada keluarga Smith dengan iming-iming membayar semua pinjaman yang ayah tiriku lakukan yaitu dengan Membantu cucu mereka untuk sembuh dari penyakit PTSD dan gangguan paniknya hanya karena kemarin di rumah sakit, pria yang duduk di atas kursi roda itu bisa menyebutkan s
Adrian POV. Elisabeth Soedarjo. Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik. Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tid
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan