Elisabeth pov.
Pertemuanku dengan pria bernama Justin tadi tak mudah aku lupakan begitu saja. Pria itu mengusikku, mengusik pikiranku tentu saja. Anggap saja dia seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari hidupku. Tidak...aku tidak menyebutnya jahat, aku tahu dia sedang menjalankana perintah. Tapi aku merasa jika timming-nya tepat sekali.
Bagaimana dia tahu jika ibuku sekarang sakit, bagaimana dia tahu jika papa tiriku membuat pinjaman dengan rumah dan toko sebagai jaminan dan kami kini sedang kesulitan, bagaimana dia tahu bahwa aku dulu kuliah sebagai perawat meskipun pada akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Bagaimana? Bukankah timming-nya pas saat dia menawariku untuk bekerja pada keluarga Smith dengan iming-iming membayar semua pinjaman yang ayah tiriku lakukan yaitu dengan Membantu cucu mereka untuk sembuh dari penyakit PTSD dan gangguan paniknya hanya karena kemarin di rumah sakit, pria yang duduk di atas kursi roda itu bisa menyebutkan sesuatu setelah dua tahun hidup dalam kebisuan? Woow...apakah aku seorang penyelamat? Aku merasa menjadi Florence Nightingale edisi kedua sekarang.
“Apa kamu tadi tidak tidur El?” Rebecca menyenggol lenganku, aku terkejut. Kulirik kamar operasi yang masih tertutup dengan rapat.
“Kok kamu tau?” memang benar aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata setelah kedatangan pria bernama Justin tadi.
“Lingkaran di bawah matamu tak bisa membohongiku.” Rebecca menggigit burgernya. “Mau?” Dia menawariku yang langsung ku tolak dengan gelengan.
“Aku lapar. Ini makanan pertamaku hari ini.” desisnya.
Aku tidak peduli. Karena aku rasa operasi masih butuh waktu lama, aku memilih beranjak dari dudukku dan berjalan keluar ruang tunggu untuk sekedar mencari udara segar.
“Aku berjanji akan membayar uang mukanya..” Tegas Andreas yang berdiri di depan pintu tangga darurat. Dia sedang bertelpon dengan seseorang dan tak menyadari aku datang.
“Istriku sedang operasi. Beri aku keringanan waktu. Aku berjanji akan membayar cicilan pertama minggu depan. Bagaimana?”
“Aku mohon.....”
“baiklah....baik.....jum’at sore. Akan kuusahakan.” Kulihat Andreas menutup teleponnya dan bersandar pada tembok dengan muka kusut.
Aku menunduk. Melihat raut muka Andreas yang keruh membuatku iba. Apa yang harus aku lakukan ketika ibu kandungku kini sekarat? Apakah pantas aku hanya berdiam diri seperti ini dan melihat Andreas pontang-panting sendirian?
Jadi, haruskah aku berkorban demi keluargaku lalu menemui Justin sekarang?
Aku menyandarkan tubuhku di tembok, memikirkan satu dan lain hal sampai aku menemukan kesimpulan untuk semuanya.
Ya, aku rasa itu yang harus kulakukan.
Aku harus menemui Justin sekarang.
*****
Tentu saja Anna Smith menerima kedatanganku dengan senyum ramahnya. Bagaimana tidak, setelah menimbang selama dua hari akhirnya aku datang ke rumah ini, dan mungkin membawa harapan baru baginya, yaitu aku akan membawa sebuah keajaiban pada cucu tercintanya.
Sebuah rumah ber-arsitektur Eropa klasik yang sangat besar. Rumah itu memiliki taman yang luas dengan bunga-bunga cantik di sekelilingnya. Di depan rumah utama, ada sebuah air mancur yang airnya mengalir ke kolam ikan di bawahnya. Banyak ikan di sana, selain ikan mas aku tak tahu jenis ikan apalagi itu.
Rumah utama terletak di bagian paling depan dengan dua lantai, sedangkan di belakangnnya dibatasi dengan kolam renang dan taman kecil ada dua buah pavilliun yang terpisah. Yang satu adalah pavilliun milik Adrian, dan yang satu digunakan untuk kerabat dan saudara jika berkunjung. Anna menempati rumah utama di lantai dua.
Margareth sang kepala pelayan memberikan aku tour singkat tentang rumah ini, memperkenalkanku pada satu persatu pelayan, tukang kebun dan bahkan supir. Aku rasa jika Anna Smith bukanlah orang sembarangan. Terlihat bagaimana dia sangat disegani di rumah ini dan kharismanya yang luar biasa meskipun dia sudah tua.
“Terimakasih Elisabeth...” Anna Smith menggengam tanganku dengan erat.
Aku tersenyum kaku. Kulihat sebuah harapan di balik wajah keriputnya itu.
“Saya rasa, saya yang harus berterimakasih karena anda menyelamatkan keluarga saya nyonya.” Jawabku merendah.
“Jangan panggil nyonya.” Ucapnya. “Panggil aku nenek saja.”
“Ba....baiklah... Nenek....” ucapku terbata, lidahku masih terasa kaku dengan panggilan ini.
Setelah ngobrol beberapa saat, aku minta ijin pulang. Dan besok, Justin akan menjemputku dan aku bisa mulai bekerja.
*****
“Darimana saja kamu?” Rebecca menghadangku di depan pintu. dilirknya mobil hitam yang mengantarku tadi.
Aku tak segera menyahut, hanya menerobosnya lalu berjalan menuju dapur. Meletakkan mantel dan tasku diatas meja makan sedang aku membuka kulkas dan mengambil sebotol air dari sana.
“Mulai besok aku akan bekerja.” Jawabku sambil menuang air itu ke dalam gelas.
“Bekerja?” Tanya Rebecca heran. “Bekerja apa? Dimana?”
Aku mengangguk, lantas menyelesaikan minumku.
“Bekerja di keluarga Smith, menjaga cucunya yang sakit.”
Rebecca menautkan alisnya. “Cucu yang kamu maksud itu adalah Adrian Smith?” tanyanya kemudian menerka-nerka.
“Bagaimana kau tau?” Aku meletakkan gelasku di atas meja.
Rebecca terkekah. “Siapa yang tak tahu cerita keluarga Smith di sini? Dia wanita kaya raya yang memiliki seorang cucu yang sangat tampan, tapi sayangnya dia gila.” Dia menunjuk kepalanya.
“Hust!” kataku. “Dia tidak gila. Dia depresi.”
“Apa bedanya?” Rebecca mengangkat bahu. “Dia gila karena kekasihnya meninggal saat kecelakaan bersama dirinya. Tapi aku dengar-dengar dia amnesia dan keluarga Smith sepakat untuk tak mengingatkannya dengan hal itu. Benarkah?”
Aku menggeleng. Belum tahu secara detail mengenai latar belakang Adrian Smith bisa sampai seperti itu. yang aku tahu jika beberapa pelayan sudah merombak kamar Adrian dan menyingkirkan beberapa lukisan karena mereka tak mau Adrian mengenang tentang masa lalunya yang buruk.
“Jadi kenapa kamu bisa mengenal keluarga itu?” tanya Rebecca kemudian.
“Kamu ingat pria diatas kursi roda di rumah sakit waktu itu?” Aku balik bertanya.
“Ya.”
“Dia Adrian Smith.”
Rebecca melongo. “Oh Tuhan....kau sangat beruntung bisa bertemu pria tampan itu El. Dia tampan, sangat tampan!”
“Tapi katamu dia gila kan?” Aku mengangkat salah satu alis, mengingatkannya tentang ucapannya beberapa saat yang lalu.
Rebecca hanya menjawabnya dengan cengiran.
“Lupakan. Gila tapi tampan itu pengecualian.” Gumamnya kemudian.
Aku terkekah, menyudahi pembicaraanku dengan Rebecca siang ini. aku harus segera ke kamar dan bersiap untuk memasukkan baju-bajuku ke dalam koper sedangkan Rebecca akan bekerja.
*****
Adrian POV. Elisabeth Soedarjo. Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik. Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tid
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku. “Kapan hari liburmu El?” tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt. “Setiap hari minggu aku libur.” Jawabku acuh tak acuh. “Bagus!” soraknya girang. “Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini.” Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipula apakah ia adalah orang yang banyak wakt
Elisabeth pov. Aku menggeliat bangun saat ponsel di sampingku berdering nyaring. Jidatku berkerut, sebuah nomor baru di pagi hari sudah menyapaku. “Haloo...” suaraku masih terdengar serak. “Ini aku.” Suara itu tidak asing, dan tentu saja berhasil membuat bibirku melengkungkan senyum padahal ini masih sangat pagi. “Adrian?” “Simpanlah. Ini nomorku.” “Kamu punya ponsel sekarang?” aku menegakkan badanku. Kantukku tiba-tiba sirna ketika mendengar suaranya yang lembut di pagi ini.